"Ikut aku. Aku mau bicara," ujar Mas Amran.
Perasaan ku tidak enak. Baru kali ini aku melihat Mas Amran benar-benar sangat marah. Mengingat selama delapan tahun bersamanya aku hanya melihat sisi lembutnya saja.
Beliau jalan lebih dulu keluar dari ruangan ini tanpa menoleh kepadaku sedikitpun. Akhirnya aku mengikutinya dari belakang. Ku kejar langkahnya yang begitu cepat hingga kini kami berjalan berdampingan.
"Ada apa Mas? Kenapa Mas seperti marah? Apa aku punya salah?" tanyaku dengan nafas yang memburu karena mengikuti langkahnya yang begitu cepat.
"Kita bicara di mobil saja," ketusnya.
Hanya itu yang dia ucapkan padaku. Astagfirullah aku benar-benar takut melihatnya marah.
Setelah menaiki Lift untuk turun ke lantai bawah. Kamipun bergegas menuju mobil Alphard berwarna hitam yang terparkir di basement rumah sakit itu.
Pak Anto segera keluar. Beliau menunduk menyambut kedatangan kami. Mas Amran menyuruhnya terlebih dahulu untuk keluar. Hingga kini kami hanya berdua di dalam mobil.
"Ada apa Mas? Kenapa Mas seperti ini?" tanyaku tak sabar padanya. Ku pegang tangannya yang besar yang kini terasa begitu panas.
Mas Amran kini menoleh ke arahku. Bibirnya bergetar seolah tak tahan lagi ingin berbicara. "Apa maksudmu ingin mencelakai Ibuku? Aku tahu Ibu tak memperlakukan mu dengan baik. Aku tahu Ibuku ingin menikahkanku dengan wanita lain dan kamu pasti sangat tidak terima hingga membencinya. Tapi haruskah kamu berusaha untuk melenyapkannya dari muka bumi ini? Bagaimanapun dia adalah Ibuku!" Ketusnya.
Deg
Aku terkejut mendengar penuturan dari Mas Amran. Sungguh aku tidak mengerti dengan apa yang di ucapkannya. Apalagi tentang mencelakai Ibu. Sungguh aku sama sekali tidak ada niatan buruk seperti tu. Lalu apa penyebab Mas Amran mengatakan hal ini.
"Aku sungguh tidak mengerti Mas. Karena aku tidak melakukan apa-apa," lirihku dengan raut wajah panik. Bagaimana tidak, aku kini seperti sedang di jebak. Jika Mas Amran sudah marah seperti ini. Berarti masalahnya tidak sepele.
"Mana lihat handphone mu."
"Mas tapi... " ucapku terhenti karena kami tak pernah memeriksa handphone pribadi satu sama lain. Karena aku menghargai privasi seseorang begitupun juga Mas Amran.
"Berikan handphonenya!" ucapnya lagi memaksaku.
"Baiklha Mas."
Akhirnya Ku buka tas berwarna hitamku. Lalu ku ambil handphoneku dengan tangan yang bergetar dan ku berikan padanya.
Mas Amran langsung mengotak-ngatik isi Handphone tersebut. Dan aku hanya terdiam saja dengan mata yang melirik ke arah handphone ku.
Rasanya lututku bergetar melihat kemarahannya. Memang Mas Amran tidak seperti pria lain yang marah selalu menyakiti hati dan juga fisik. Tapi sikap Mas Amran yang berbeda dari biasanya dan baru kali ini marah membuatku takut. Takut jika tiba-tiba kehilangan rasa sayangnya.
"Ini apa? Coba jelaskan padaku ini maksudnya apa?"
Ku lihat isi chat yang di tunjukan oleh Mas Amran padaku. Mata ku terbelalak tak menyangka mengapa ada isi chat pada seseorang yang tak aku kenal tertera disana.
"Tunggu Ibu mertuaku di lokasi yang akan ku share nanti padamu. Jangan sampai dia lolos. Aku percayakan semuanya padamu. Aku hanya minta wanita itu tak ada lagi di dunia ini."
Aku menatap Mas Amran dengan raut wajah bingung. Ku gelengkan kepalaku mencoba untuk meyakinkan bahwa aku tidak tahu apa-apa soal ini.
"A-aku tidak tahu kenapa ada chat ini di hp ku Mas. Demi Allah aku tidak ada niatan untuk berbuat jahat seperti ini apalagi pada Ibu mu Mas," lirihku mencoba untuk meyakinkannya.
"Tapi ini apa buktinya. Mas tahu sendiri kalo handphone mu itu menggunakan face look. Mana mungkin ada orang yang bisa membukanya mengingat handphone mu selalu kamu pegang."
"Tapi aku benar-benar tidak tahu Mas. Demi Allah aku tidak melakukan ini semua. Aku berani bersumpah Mas."
"Kamu masih mengelaknya? Mas bahkan sudah membawa pria yang kamu suruh untuk mencelakai Ibu itu kesini. Untung saja Bella datang di waktu yang tepat. Dia menyelamatkan Ibu karena datang dengan supir dan asistennya. Jika kamu masih tidak mau mengakuinya akan aku pertemukan kamu dengan orang itu!" Cecar Mas Amran dengan wajah yang terlihat memerah. Bisa ku lihat dia begitu marah padaku.
Air mataku kini mengalir membasahi pipi. Ya Allah ujian apa lagi ini. Demi Allah aku tak melakukan ini semua. Aku sangat menyayangi Ibu meski beliau tidak menyayangiku. Aku menghargainya karena beliau adalah Ibu dari pria yang aku cintai. Bagaimana bisa aku tega untuk melakukan kejahatan padanya.
Aku tak tahu mengapa ini terjadi. Namun tiba-tiba saja aku teringat akan Ibu yang tadi tiba-tiba baik padaku. Memasuki kamarku dan aku tertidur terlelap tak mengingat apapun. Akankah dia pelakunya? Memberiku obat tidur dan mengotak-ngatik handphoneku? Mengingat aku tak pernah tidur selelap itu. Jika bukan dia lalu siapa? begitu kejamkah engkau Ibu? Memfitnahku agar Mas Amran membenci dan akhirnya menceraikanku?
Ku lingkarkan tanganku ke lengan Mas Amran. Ku tatap wajahnya memohon. Agar beliau percaya dengan apa yang aku katakan.
"Mas tahu aku kan? Kita bersama selama delapan tahun. Masih menyangka kah Mas bahwa aku yang melakukan ini semua? Selama bersamamu pernahkah aku berbohong padamu Mas? Demi Allah Demi rasulullah aku tidak melakukan ini semua Mas. Allah akan melaknatku jika berbohong Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Duri Dalam Pernikahanku
RomanceYang mau beli buku 'Duri dalam Pernikahan' boleh yaa cek di Ig (author_alin atau di alinafrilian). Pastinya ceritanya sangat berbeda yang berada disini. *** Aisha seorang wanita yang harus rela di madu karena belum juga dapat memberikan keturunan s...