BAB 21

286 11 3
                                    

Keesokan harinya. Aku memutuskan untuk datang ke rumah Mas Amran. Tadinya aku akan memberitahu Mas Amran lewat telepon saja. Namun entah kenapa Mas Amran tidak bisa di hubungi. Bahkan kontak WA nya pun saat ini memblokir nomorku. 

Mengetahui itu hatiku semakin sakit. Sebegitu bencinyakah dirimu padaku Mas. Padahal beliau sendiri yang meminta untuk kami jangan sampai memutuskan tali silaturahmi. Tapi pada kenyataannya malah sebaliknya.

Dan akhirnya atas saran Padhe. Sekarang kami memutuskan untuk pergi ke rumah Mas Amran. Karena bagaimanapun kehamilan ini harus segera di ketahui oleh Mas Amran. Di temani Ummi tentunya. Padhe, budhe serta Mas Abdullah. 

Aku yang kini duduk di belakang beserta Ummi dan juga Budhe tampak gemetaran. Rasanya aku tak akan sanggup menatap wajah Mas Amran. Wajah yang setiap detiknya selalu terbayang di benakku. Bahkan perjalanan masih lumayan jauhpun jantung ini rasanya akan jatuh seketika. Sebegitu cinta matinya aku padanya. Hingga rasanya mengingatnya sajapun sudah membuat diri ini tersiksa karena tak bersama.

"Tenang Nak. Inshaallah semuanya akan baik-baik saja," ujar Ummi menenangkan. Beliau pasti tahu apa yang aku rasakan saat ini. 

"Iya Nduk. Berdoalah. Amran adalah pria soleh dan mengerti agama. Inshaallah dia akan menerima kehadiran kita serta calon bayimu itu dengan suka ria," sahut Budhe seraya mengusap lembut bahuku.

Aku menganggukan kepala seraya tersenyum. "Iya Ummi, Budhe."

Setelah beberapa saat kemudian. Mobil yang di setiri Mas Abdullah pun kini sudah sampai di halama rumah Mas Amran. Rumah yang selama ini aku huni dengan penuh cinta bersama Mas Amran. Namun kini hanya tinggal kenangan. 

Dulu rumah ini selalu aku rindukan. Bahkan ketika menginap di rumah Ummipun aku selalu ingin segera pulang karena ada sang pujaan tengah menungguku disini. Pria yang selalu menyematkan senyuman hangatnya saat bersamaku. Memberikanku kasih sayang dan cintanya yang tulus. Namun kini semuanya sirna tak tersisa. 

Tubuhku kembali lemas rasanya. Aku tak akan sanggup bertemu dengan Mas Amran. Namun ku usahakan untuk kuat. Demi anakku. Demi haknya untuk mendapatkan kasih sayang sang ayah. Meski orang tuanya sudah berpisah. 

Ummi memegang bahuku. Seperti tahu bahwa aku kini tengah begitu lemas. 

Disana biasanya terdapat Pak Seno yang menjadi satpam. Namun kali ini tidak ada. Rumah ini terlihat kosong tak ada siapa-siapa. 

"Ummi kenapa ko terlihat sepi yaa?" tanyaku pada Ummi. 

"Mungkin pada pergi kali ya nak."

"Tapi satpamnya juga gak ada!"

"Kita coba aja tekan belnya lagi Nduk!" ujar Padhe. 

Namun tak lama kemudian datanglah seorang wanita berjilbab yang merupakan tetangga sebelah rumah ini.

"Eh neng Aisha? Apa kabar? Dari mana aja udah beberapa hari ini gak keliatan keluar?" tanya Bu wati. Wanita berumur 45 tahun yang selalu menyapaku ketika keluar rumah.

"Ah Aisha nginep di rumah Ummi Bu. Oh iya Ibu tahu gak Mas Amran sedang kemana?"

"Oalah neng gak tahu? Neng kan istrinya? Kemarin Ibunya Nak Amran datang kemari berpamitan. Katanya mau pindah keluar kota!"

Deg

Saat itu juga jantungku terasa jatuh. Tubuhku kembali bergetar. Kenyataan ini sungguh membuatku terkejut. Mas Amran bahkan tak mengabari jika dirinya akan pindah rumah. Itu artinya aku tak akan bisa lagi bertemu dengannya. 

Semua ini membuatku semakin yakin bahwa Mas Amran benar-benar ingin melupakanku. Mengubur masa lalu kami hingga memutuskan untuk pergi dari kota ini.

Aku tak menyangka jika Mas Amran akan begitu tega padaku. Dia mengajakku melayang ke angkasa namun menjatuhkanku secara tiba-tiba.  Rasanya semua ini terlalu mengejutkan bagiku  Dan terlalu sulit untukku menerimanya. Sekarang di sisi lain perasaanku. Yangaku pikirkan adalah bagaimana nasib anakku nanti. Apa yang harus aku katakan jika dia menanyakan ayahnya dimana? Apa yang harus aku lakukan jika dia menangis meminta ayahnya ada di sampingnya. Ya Rabb. Kumohon beri aku kekuatan.

Tubuhku kini limbung. Ummi yang melihatku langsung menopang tubuhku agar tidak terjatuh. 

"Istigfar Nak!" ucapnya. Aku yang masih dalam mode terkejut. Kini menghela nafas agar sedikit tenang. 

"Oh seperti itu ya Bu. Makasih Ya bu!" ujarku pada Bu Wati dengan nada suara yang pelan.

"Iya neng sama-sama. Masuk dulu atuh yuk ke rumah. Bapak, Ibu!" tawar bu Wati padaku dan semuanya.

"Ah iya terimakasih Ibu. Kami mau pamit pulang saja." Kata Ummi ramah.

"Oh iya mangga. Hati-hati di jalan." 

Aku yang tak bisa berkata apa-apa lagi kini masuk ke dalam mobil dengan di papah oleh Ummi dan Budhe. Sata ini aku benar-benar menjadi orang yang sakit. Sakit jiwa dan raga. 

Di dalam mobil aku masih menahan tangis. Namun tanganku kini terasa dingin karena menahan semuanya sendirian. 

"Menangislah Aisha. Tidak apa-apa. Jangan memendam semuanya sendirian. Agar tidak berdampak pada kandunganmu dan juga kodisi tubuhmu," ujar Mas Abdullah mengingatkanku. 

Mendengar kata itu. Aku langsung saja menangis memeluk Ummi. Mengeluarkan segala rasa sedihku. Ku susupkan wajahku ke dada Ummi yang selalu memberiku ketenangan jiwa. Ummi mengusap kepalaku menenangkan. Beliau pasti sangat sakit melihat anaknya bersedih seperti ini. 

"Ummi, Mas Amran kini pindah ke luar kota. Dan aku tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Dia benar-benar sudah melupakanku Ummi. Semudah itukah beliau menghilangkan kenangan kita selama delapan tahun ini. Luka di hati Aisha pun bahkan masih sangat parah. Tapi Mas Amran dengan mudah menyembuhkannya. Sekarang bagaimana dengan nasib anak Aisha Ummi? Dia benar-benar tak akan pernah memiliki kasih sayang dari seorang ayah. Bahkan dari sejak dalam kandungan." tuturku dengan panjang. Entahlah aku sudah tidak  memikirkan lagi rasa malu. Hati ini saat ini benar-benar tengah sakit parah. Bahkan mungkin jika aku tak ingat Allah. Jika aku tak punya iman. Rasanya aku ingin mengakhiri hidup ini. 

Semua orang kini begitu menatap Iba terhadapku. Bagaimana tidak. Untuk pertama kalinya aku terlihat begitu lemah seperti ini. Tak pernah sekalipun aku berlinang air mata karena permasalahan rumah tanggaku di hadapan orang lain. Terutama Ummi. 

"Sabar Nduk. Ini adalah jalan takdir mu. Sekarang dekatkanlah dirimu pada Allah. Karena tidak akan ada orang yang dapat membuat hatimu tenang kecuali kamu mencurahkan segala keluh kesahmu pada pemilik ragamu. Allah maha membolak balikan hati Nduk. Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah menghendakinya. Ambil saja hikmah dari semua ini. Mungkin saat ini Allah sedang cemburu padamu karena kamu terlalu mencintai makhluknya dari pada Allah yang menciptakanmu," ucap Padhe. 

Kata-katanya begitu menusuk jantungku. Menyadarkanku betapa diriku ini begitu hina di mata Allah. Selama ini Allah sudah memberikanku kebahagiaan hidup. Namun aku malah lebih mencintai hambanya di banding ia yang selama ini memberikan nikmat. 

Duh gustii Allah. Ampuni hambamu ini. Aku berjanji akan memperbaiki diri. Mulai saat ini Engkau akan menjadi segalanya di dalam hati ini. 

"Iya Padhe. Aisha memang terlalu mencintai Mas Amran. Hingga Aisha lupa bahwa Aisha terlalu mencinyainya di banding Allah." 

Aku kembali menangis terisak. Tak tahan dengan semua ini. Ya Allah bantu aku. Kumohon sembuhkanlah segera luka ini. Aku tersiksa. Bahkan teramat tersiksa. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Duri Dalam PernikahankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang