BAB 3

153 2 0
                                    

“Itu berarti mas menyetujuinya?” tanyaku yang kembali berlinang air mata. 

Mas Amran mengangguk sebagai jawaban. Aku tak tahan lagi. tangisanku semakin pecah tak bisa di tahan. Ya Allah baru saja seperti ini hatiku sudah sangat sakit. Perih tak berdarah. Bagaimana jika suatu saat nanti saat Mas Amran benar sudah menikah dengan Bella. Wanita cantik yang bahkan melihatnyapun aku menjadi ingin melakukan operasi plastik untuk menyamainya. Bentuk wajahnya begitu sempurna tak ada celah. Badannya langsing dan putih. Seperti bintang film korea yang selalu ku lihat di TV.

Akankah aku bisa bersanding dengannya. Aku yang jauh dari kata sempurna. Tidak bisa memiliki anak. Dan hanyalah ibu rumah tangga saja. Tidak sepertinya yang bahkan ibu mertuaku katakan bahwa dia adalah seorang pengusaha wanita yang bergerak di bidang fashion. Tak hanya itu Bella juga menggeluti dunia model yang menjadi hobbynya.

Ya Allah sebelum ada sainganpun aku sudah merasa bahwa aku tidak berguna. Aku selalu merasa minder dengan diriku. Apalagi kini ada wanita lain yang statusnya jauh lebih baik dari padaku. Aku takut suatu saat nanti Mas Amran mencintai Bella dan rasa cintanya padaku menjadi tiada. Hatiku di lema. Rasanya aku ingin pergi saja dari jeratan ini. Namun rasa cintaku yang besar pada Mas Amran membuatku lemah. Dan lebih baik diam bersamanya meski sakit. Dari pada harus pergi menjauh dari kehidupannya yang malah akan membuat hidupku mati tak bernyawa. Hampa tak ada bahagia. 

“Maafkan Mas sayang. Jika ada pilihan lain tentu saja Mas tidak akan memilih untuk menikahinya. Mas tidak mencintainya sama sekali. Tapi kali ini yang meminta adalah ibu. Wanita yang ketika bersujud di bumi doanya Pasti di kabul oleh langit. Mas takut jika mas membantahnya dan menyakitinya membuat hidup Mas tidak berkah dan tidak bahagia.”

“Baiklah Mas jika sudah begini aku tidak bisa apa-apa. Mungkin ini sudah garis hidupku. Aku tak bisa melawan takdir. Akan ku ikuti saja semuanya bagai air yang mengalir. Mungkin ini adalah yang terbaik,” Aku berkata dengan bibir yang bergetar. 

“Maafkan Mas. Mas berjanji akan berlaku adil pada kalian berdua. Jujur saja mas pun berat melakukan ini semua. Poligami tentu bukanlah hal yang mudah. Ada banyak tanggung jawab di dalamnya. Berlaku adil tentu sangatlah sulit. Apalagi mas tidak mencintai Bella. Namun Mas harus tetap menjaga hatinya agar dia tidak tersakiti dan tidak menjadi dosa bagi Mas. Dan untuk mu sayang. Aisha Rumania sampai kapanpun selama kamu patuh dan sayang pada Mas. Maka Mas akan tetap mencintaimu dan tidak akan meninggalkanmu.”

Duh gustiiii. Kata-katanya begitu manis. Membuat jiwaku terbang melayang. Andai saja kita memiliki anak Mas. Maka semua ini tak akan pernah terjadi. 

“Inshaallah Mas. Doakan saja aku agar bisa melewati ini semua dengan sabar.”

“Tentu saja sayang.”

“ Oh iya Mas. Apakah acara pernikahan kalian sudah di rencanakan?” tanyaku pelan. Tubuhku rasanya sudah tidak bertenaga. 

“Hmmm... sebulan lagi kami akan melangsungkan pernikahan. Hal ini pun atas putusan ibu. Mas hanya mengikuti.”

Aku tersenyum getir mendengarnya. “Baiklah semoga lancar Mas.”

“Mas yakin kamu kuat. Mas doakan semoga kamu bisa menjadi istri yang semakin baik. Hingga bisa menjadi tabunganmu di akhirat kelak. Mas yakin di balik semua ini pasti ada hikmahnya.”

Aku pun mengangguk. Mas Amran tak henti memeluk erat. Seolah kami akan berpisah esok saja. Kami saling mencintai. Namun mengapa selalu ada duri di antara kami. 

***

[Ibu Amran kan sudah menuruti keinginan ibu. Maaf kalau Amran lancang dan tidak sopan. Tapi Amran minta tolong pada ibu jangan terlalu menekan dan memojokan Aisha. Dia juga sama seperti ibu. Dia bahkan lebih menginginkan seorang anak. Aku tidak tega bu jika ibu terus memperlakukannya seperti itu]

[Amran ibu hanya bersikap biasanya saja. Ibu hanya menginginkan dia merestui pernikahan kamu dan Bella. Sampai kapan kamu mau seperti ini Amran. Umur kamu sekarang sudah tiga puluh dua tahun. Mau sampai umur berapa kamu punya anak. Ibu juga sekarang sudah tua. Bagaimana jika besok ibu meninggal. Apa kamu tidak kasihan pada ibu jika meninggal sebelum memiliki cucu]

(Amran mengerti bu. Tapi ibu bisa membicarakannya baik-baik pada Aisha. Bukan seperti tadi. Apalagi di hadapan orang lain bu. Aisha pasti merasa sangat malu]

(Ini yang ibu tidak suka darinya. Kamu lebih mencintai istrimu itu di banding ibu Amran. Padahal ibu lebih mencintaimu. Ibu yang mengandungmu dan merawatmu dari kecil hingga sukses seperti ini. Tapi ibu tidak meminta imbalan apapun. Ibu hanya menginginkan yang terbaik untukmu. Kamu harus segera punya anak untuk melanjutkan perjuangan mu suatu saat nanti Amran]

(Bukan seperti itu maksudku bu. Tentu saja Amran sangat menyayangi ibu. Ibu adalah surgaku. Tapi ah ya sudahlah. Baiklah maafkan Amran jika perkataanku tadi menyakiti hati ibu. Sekali lagi maafkan aku bu]

Tubuhku luruh seketika ke atas lantai saat mendengar perbincangan antara suami dan ibu mertuaku di bawah. Belum juga aku menghela nafas tenang saat Mas Amran mengantar pulang Bella atas permintaan ibu. Kini aku harus mendengar lagi perkataan yang menusuk hati. 

Aku yang hendak berjalan menuju dapur mendengar pembicaraan mereka berdua di ruang tamu. Air mataku mengalir deras. Tak kuasa aku menahannya. Mas Amran memang selalu membelaku. Dia suami yang sangat baik. Tak pernah menyakiti hatiku selama delapan tahun aku bersamanya. Dia yang selalu menjadi pembela saat ibu mertuaku menjahatiku. Karena dia tahu siapa yang benar dan siapa yang salah.

 Tapi mengapa engkau ibu. Tidak sadarkah ibu kita adalah sesama wanita. Mengapa dengan teganya engkau berkata seperti itu. Tentu saja Mas Amran mencintaimu. Karena engkau adalah ibunya. Sungguh aku tak berniat merebut Mas Amran darimu. Jika bisa aku ingin sekali memelukmu. Sejak pertama kali aku menikah aku sudah menganggapmu sebagai ibu kandungku. Tapi engkau malah sebaliknya. Apa salahku bu? Jika saja aku dapat hamil sesukaku. Maka aku juga menginginkan untuk hamil saat ini juga. Akan ku berikan engkau cucu berapapun yang kau mau. Tapi siapalah aku? Nyawapun aku di atur oleh Allah. Apalagi seorang anak. Aku tidak bisa melakukannya kecuali hanya ikhtiar dan berdoa. 

Ku lihat Mas Amran kini memeluk ibu. Meminta maaf atas perkataannya tadi. Sosok pria yang lembut. Pria yang terlihat gagah dan pemberani namun selalu lembut jika sudah berhadapan dengan seorang wanita. 

Sudah tiga tahun belakangan ini ibu mertuaku tinggal bersama dengan kami. karena bapak mertuaku meninggal dan beliau akhirnya sendirian. Mengingat Anisa adiknya Mas Amran kini tengah berkuliah di Turki. 

Saat itulah aku selalu mendapati kesakitan. Setiap hari ibu mertuaku tak pernah absen untuk menyindirku. Memaksaku untuk segera hamil. Bahkan ramuan, obat-obatan dari dokter dan pijitan tradisional sudah ku lakukan atas dasar perintah ibu mertua. Namun apalah daya. Jika Allah belum mengizinkan untukku memiliki anak. Maka semuanyapun tidak akan pernah terjadi. 

Air mataku tak bisa di ajak kompromi. Terus mengalir meski aku sudah menahannya. Tak ingin ketahuan ibu dan Mas Amran. Langsung saja aku melangkahkan kaki untuk ke kamar mandi yang berada di dekat dapur. 

"Ibu kenapa?" tanya mbok inah yang kini sedang mencuci piring di dapur. 

"Ah tidak bi. Saya hanya kelilipan saja." ucapku berbohong. Aku tahu Mbo inah pasti tidak akan sepercaya itu.

Di kamar mandi ku berdiri di pantulan cermin. Wajahku begitu memerah. Mataku sembab karena hari ini aku tak henti menangis. Namun entah mengapa tiba-tiba aku merasa mual dan pusing. Tubuhku juga seketika melemas. Pandanganku kabur dan pendengaranku samar. 

Duri Dalam PernikahankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang