BAB 18

145 9 11
                                    

"Ummi, Aisha. Saya pergi dulu. Mengingat semuanya sudah selesai. Dan meski kami sudah berpisah. Saya harap tidak ada rasa kebencian di antara kita dan juga kita masih bisa seperti keluarga," ucap Mas Amran. 

Tahukah hatiku begitu berat saat dirinya hendak pergi dari rumahku. Itu artinya ini benar-benar terakhir kalinya aku melihat wajahnya. Wajah yang selalu aku rindukan setiap saat. 

Kepalaku semakin pusing. Namun aku berusaha untuk menahannya. Entah kenapa kondisi tubuhku akhir-akhir ini begitu lemah. Mungkin karena terlalu banyak hal yang membuatku tertekan dan mengganggu pikiranku hingga akhirnya berakibat pada kesehatan tubuhku.

"Baiklah nak Amran. Mungkin ini yang terbaik untuk kalian Ummi ridha. Dan hanya bisa mendoakan ynag terbaik untuk kalian berdua. Semoga nak Amran bisa mendapatkan yang lebih dari Aisha. Begitipun juga dengan Aisha." ucap Ummi legowo.

"Iya Ummi. Terimakasih atas doanya. Dan  terimakasih banyak juga untuk selama ini selalu menjadi mertua yang baik. Menjadi panutan bagi  Amran. Sampai kapanpun Ummi akan selalu menjadi Ibu Amran."

"Terimakasih nak."

Air mataku semakin banjir mendengar pembicaraan mereka. Mas Amran kini berjalan mendekatiku. Membuat hatiku begitu berdebar semakin kencang. 

"Aisha Rumania. Aku telah mengembalikanmu pada orang yang berhak atas dirimu. Terimakasih banyak untuk delapan tahun ini telah menemaniku. Aku akan selalu berdoa untuk kebaikan mu. Semoga kamu mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari padaku. Dan semoga kamu mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari pada saat bersamaku."

Duh gustiii. Mendengar perkataannya membuat hatiku semakin sakit tak berdarah. Membuatku tak ingin berpisah dengannya. Saat ini jika aku harus memilih. Aku lebih baik hidup menderita karena Ibu mertuaku dan di duakan oleh Mas Amran dari pada aku harus berpisah dengannya.  Yang aku inginkan saat ini hanyalah selalu dekat dengannya. Setidakya aku ingin menandang wajahnya setiap hari. Di peluknya setiap malam sebelum tidur. Dan di cium keiningku sebelum Mas Amran berangkat kerja seperti dulu.

Namun semua harapan itu tak mungkin terjadi. Keputusan Mas Amran sudah bulat. Kini ku menghela nafas. Mencoba menenangkan diri ini.

"Terimakasih Mas atas doanya. Aisha juga doakan semoga Mas bisa bahagia menjalani hidup dengan Bella. Dan segera memiliki keturunan yang soleh dan salihah. Terimakasih juga atas delapan tahun ini. Telah membuat hari-hariku begitu berwarna. Telah mengajarkan aku banyak hal. Telah membimbingku dalam hal kebaikan. Maafkan jika selama delapan tahun itu aku belum bisa menjadi istri yang baik untukmu."

Aku berbicara dengan bibir yang bergetar. Pelan bahkan hampir tak terdengar. Karena tubuhku terasa semakin lemas tak bertulang.

"Terimakasih Aisha. Ummi. Saya pamit. Karena hari ini ada meeting penting di kantor," ujar Mas Amran seraya salam pada Ummi. Lalu melihatku sejenak dengan raut wajah yang tak bisa aku pahami. Namun tatapannya mampu membuat hatiku bergetar. 

"Assalamualaikum." ucap Mas Amran seraya melangkahkan kakinya menuju keluar rumah. 

"Waalaikumsalam." ujar Ummi yang tampak terpukul.

Ah rasanya kilat menyambar tubuhku. Semua ini terasa mimpi buruk bagiku. Ingin rasanya aku bersujud kembali di kakinya agar Mas Amran tidak jadi meninggalkanku. Namun talak sudah terucap. Dan kini kami sudah bukan suami istri lagi. 

Mas Amran kini sudah menaiki mobil. Aku tak bisa lagi menahan rasa sakit dan lemah tubuhku ini. 

***

Sayup-sayup ku dengar suara. Aku mencoba membuka mataku. Mengedarkan pandanganku ke setiap sudut ruangan yang kini terlihat begitu asing bagiku. Namun yang pasti sepertinya aku kini tengah berada di rumah sakit. Tubuhku terasa sangat lemas. Selang infus terpasang di tanganku. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku. 

"Alhamdulilah nak. Akhirnya kamu sadar," ujar Ummi seraya mengelus pipiku. Memperlakukanku sama seperti dulu. Menganggapku sebagai putri kecilnya meski aku sudah beranjak dewasa. Terlihat matanya begitu sembab dan merah. Bisa ku pastikan Ummi sejak tadi tak henti menangis. 

"Aisha dimana ini Ummi? Ada apa dengan Aisha?" tanyaku yang penasaran. 

Ummi kini duduk di sampingku. Menggenggam erat tanganku. "Tadi kamu pingsan Nak. Dan kamu pendarahan."

"Kenapa Aisha pendarahan Bu? Apa kata dokter?" 

Ibu berlinang air mata. Lalu beliau kembali mengusap pipiku. 

"Kenapa Ibu? Apa terjadi sesuatu pada Aisha?" tanyaku khawatir. 

"Kamu hamil nak. Namun kandunganmu sangatlah lemah. Untung saja ketika kamu pendarahan. Ummi dan juga Bang Rio segera membawamu ke rumah sakit. Alhamdulilah janinnya masih bisa di selamatkan."

Deg

Tubuhku terasa semakin lemas. Dadaku begitu bergetar hebat. Tak terasa air mata kini membasahi pipi. Aku tak menyangka bisa hamil. Semua ini terasa mukjizat. Allah mempercayaiku untuk menjadi seorang Ibu.

Namum perasaanku kini begitu campur aduk. Aku menyayangkan kenapa aku tidak menyadari bahwa aku tengha hamil. Padahal sudah ada tanda-tandanya tubuhku selalu pusing dan lemas. Namun karena sering kecewa aku bertekad ketika tiga tahun yang lalu bahwa tidak akan lagi menggunakan tes pack. Mungkin jika kehamilan ini di ketahui saat aku masih bersama Mas Amran hubungan kami akan baik-baik saja. Mengingat inti dari permasalahan ini semua adalah aku tidak bisa hamil. 

Allahuakbar. Maha besar Allah. Tapi aku tetap bersyukur. Mungkin ini semua sudah jalan takdirku. Aku dan Mas Amran harus berpisah. Meski begitu aku sangat-sangat bersyukur di beri kesempatan untuk mengandung seorang anak dari rahimku sendiri. Yang awalnya aku hampir putus asa tidak akan bisa hamil seperti wanita lainnya.

Air mataku mengalir deras. Ku usap perutku yang masih terlihat datar. Tak menyangka kini ada satu nyawa bersemayam dalam rahimku. Darah dagingku bersama dengan Mas Amran. 

"Ummi!" Aku tak bisa berkata apa-apa. Langsung ku peluk Ummi. Wanita yang sama bahagianya mendengar kabar ini. Kami berdua menangis tersesu-sedu. Bahkan Ummi kini bersujud di lantai. Sebagai rasa syukur pada Allah atas karunia ini. 


Duri Dalam PernikahankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang