BAB 2

165 2 0
                                    

Aku masih terdiam. Begitupun dengan Mas Amran yang kini mulai tidak nyaman dengan suasana ini. 

Ku hela nafas agar sedikit tenang. Lalu duduk di samping suamiku hendak menyantap makanan yang ada di meja. Ku lihat Bella dengan ekor mataku. Matanya selalu menatap wajah Mas Amran. Lalu bibirnya tersenyum penuh bahagia. Tentu saja hal itu semakin membuat rasa cemburuku menggebu.

“Sama-sama ibu,” ucap Bella pada ibu mertuaku.

“Ibu sudah sangat merindukan seorang cucu Nak Bella. Amran belum juga memiliki seorang anak. Semoga saja denganmu dapat langsung memiliki seorang anak,” ujar ibuku kembali. 

Aku tak tahan dengan sindiran-sindirannya yang sejak tadi di tujukan padaku. Mulai dari membangga-banggakan Bella dan juga keluarganya di hadapanku. Aku tahu aku bukanlah istri dari keluarga terpandang. Tapi setidaknya aku ingin di hargai. Apalagi jika sudah membahas tentang anak. Siapa yang tidak mau memiliki anak. Aku bahkan sudah sangat merindukannya. Tapi aku bukan tuhan. Semua itu atas kehendaknya. Aku tidak bisa apa-apa. Aku hanya bisa berdoa dan pasrah. Lalu mengapa ibu seperti selalu menekanku. 

“Aisha?” tanya ibu padaku. Aku pun langsung menolehnya dengan bibir yang tersenyum. Menyembunyikan rasa sakit di hati. 

“Oh iya bu?” aku 

“Ibu ingin mengatakan sesuatu padamu.”

“Tentang apa bu?”

“Khemm... Maaf bu biar Amran saja yang bicara pada Aisha nanti berdua,” sahut suamiku seperti ada yang di rahasiakan dariku. 

“Tapi ibu ingin mengatakannya sekarang. Agar semuanya beres dan bisa terlaksana secepat mungkin.”

“Tapi bu!” sahut Mas Amran kembali. Bisa ku lihat raut wajah Mas Amran kini terlihat ketakutan dan tidak nyaman. Membuatku semakin penasaran apa yang ingin ibu mertuaku bicarakan padaku. 

“Tidak apa-apa Mas,” kataku seraya menatap Mas Amran mencoba meyakinkannya. 

“Baiklah langsung saja Aisha. Ini Bella anak teman dekat ibu. Mengingat kamu belum juga memiliki anak dan ibu sudah tidak sabar ingin menimang cucu. Ibu ingin menikahkan Bella dengan Amran. Ibu mohon agar kamu mengizinkan Amran untuk menikah lagi. Memberi seorang anak kamu tidak bisa. Setidanya kamu bahagiakan suamimu dengan mengizinkannya untuk menikah lagi.”

Jedder 

Bagai di sambar petir di siang bolong. Aku menganga menatap ibu dan Mas Amran silih bergantian penuh rasa tidak percaya. Tubuhku seketika bergetar dan dingin. Jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Dadaku terasa sesak saat ibu mengatakan hal ini. 

Ya Allah semua ini bagaikan mimpi buruk. Aku sangat mencintai Mas Amran. Bahkan sangat sangat mencintainya. Mas Amran bagaikan jantungku. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Bagaimana bisa aku membaginya dengan wanita lain. Sungguh semua ini rasanya bagaikan kiamat untukku. 

Ya Allah salahkah aku begitu mencintainya? Apakah aku sekarang sedang menuhankan manusia? Aku tahu seharusnya aku tidak mencintai hambamu dengan berlebihan seperti ini. Seharusnya aku tetap bergantung padamu Ya Allah. Tolong aku Ya Allah. Beri jalan yang terbaik untukku. 

“Aisha bagaimana?” tanya kembali ibu mertuaku. “Tapi jika kamu tidak mengizinkanpun ibu tetap akan menikahkan Amran dengan Bella. Setidaknya jika kamu masih mau dengan anak ibu izinkanlah agar Amran tidak merasa bersalah. Jika kamu tidak bisa. Maka kamu boleh pergi dari kehidupannya,”

Astagfirullah. Kata-kata ibu kali ini sungguh menyayat hati. Bahkan menusuk hingga jantung. Tak berfikirkah bahwa beliau juga memiliki seorang anak perempuan. Bagaimana jika itu menimpa Anisa adiknya Mas Amran. Bukan aku mendoakan. Sama sekali tidak. Anisa sudah ku anggap seperti adik kandungku. Hanya saja aku takut Allah membalas perbuatannya kepada orang yang dia sayang. 

“Ibu kumohon cukup. Biar Amran yang bicara dengan Aisha. Kata-kata ibu barusan sudah melukai hatinya,” Mas Amran membelaku. Menghentikan makannya dan langsung berdiri mendekatiku. Mengusap lembut bahuku seolah tengah menenangkanku.

Aku tak tahan lagi. Air mata ini kini menumpuk di pelupuk mata. Seolah siap untuk terjun seketika. Namun aku mencoba untuk menahannya. Aku tak ingin terlihat lemah oleh mereka. terutama oleh Bella. Yang saat ini seolah tengah tersenyum menang. 

“Maaf ibu, Mas, Bella tiba-tiba kepalaku sedikit pusing. Aku izin dulu ke kamar,” ujarku beralasan seraya melangkah pergi dari tempat itu menuju kamarku.

“Sayang!” Mas Amran mengejarku. Mengikuti langkahku dan membiarkan ibu serta Bella disana.  

Di dalam kamar. Aku berbaring di atas ranjang. Menyusupkan wajahku di antara bantal dan guling. Aku menangis terisak. Mengelurkan air mata karena sakit hati yang sudah tidak terbendung sejak tadi. Ku tutup wajahku dengan jilbab panjang berwarna hitam yang ku pakai. 

Ya Allah aku tak pernah merasakan sakit hati dan rasa gundah yang berlebihan seperti ini. Aku tak bisa membagi suamiku dengan wanita lain. 

 Tak lama kemudian terdengar suara pintu kamar terbuka. Aku sudah tahu siapa yang datang. 

“Jannah,” panggil Mas Danish seraya mengelus lembut kepalaku. Aku terdiam masih tak sanggup untuk menatapnya. 

“Jannah Mas panggil kenapa tidak di jawab?” ucapnya kembali seraya membalikan badanku dengan lembut. 

“Lihat dulu Mas sayang. Kita bicarakan semua ini baik-baik. Mas tahu perasaan kamu saat ini.”

Aku menghela nafas. Lalu mencoba untuk duduk dan menyandarkan tubuhku di sandaran kasur. Mas Amran kini menatapku penuh cinta. Lalu menghapus air mata di pipiku dengan lembut.

“Maafkan ibu sayang. Jika perkataannya tadi menyakiti hatimu.”

Aku hanya mengangguk dan menundukan kepalaku.

“Sudah jangan menangis jannah. Mas tidak tega melihatnya.”

Aku tak dapat lagi berkata apa-apa. Ku peluk Mas Amran. Membenamkan wajahku di bahu gagahnya. Tangan mas Amran pun kini mengusap bahuku mencoba untuk memberi kekuatan. Tak ada lagi orang yang dapat menenangkan hatiku selain dirinya. Bagaimana bisa aku merelakannya untuk di bagi pada wanita lain.

“Mas aku sangat mencintaimu. Aku tahu aku bukanlah istri yang baik untuk mu. Aku tidak bisa memberikanmu seorang anak. Tapi aku tidak bisa jika harus mengizinkamu menikah lagi Mas. Aku memang egois. Tapi aku tak akan sanggup Mas.”

“Mas juga tidak ingin menikah lagi. Mas hanya mencintaimu. Bahkan Mas sudah mengatakan hal ini beberapa kali padamu. Tapi mas juga tidak punya pilihan lain lagi. Ibu memaksa Mas untuk menikah lagi. Mas tentu saja menolaknya. Tapi ibu memaksa. Dia berkata ingin segera memiliki cucu di sisa hidupnya. Dan memohon agar Mas mengabulkannya. Jika tidak maka surga bagi Mas tidak ada lagi. Karena ibu tidak akan meridhoi setiap langkah Mas.”

“Mas sudah membujuknya. Tapi ibu tetap pada pendiriannya. Mas tidak bisa apa-apa. Surga Mas ada pada ibu kuncinya. Jika Mas tak patuh padanya maka durhakalah Mas.”

Duri Dalam PernikahankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang