Pov Amran
Kini aku pergi meninggalkan Aisha. Istri yang sangat aku cintai selama ini. Ada rasa bersalah di dalam diri karena sudah memarahinya. Meninggikan suaraku di hadapannya. Namun masalah ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk di lupakan. Ini menyangkut tentang Ibu. Wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini. Wanita yang telah membesarkanku dengan kasih sayang yang tiada terbatas. Wanita yang sangat aku hormati dan sayangi karena dialah surgaku.
Sungguh aku tak menyangka dengan apa yang di lakukan oleh Aisha. Demi Allah aku tak ingin mempercayai semua ini. Namun banyak butki yang mengarah padanya. Bagaimanapun aku adalah manusia. Bisa marah dan membenci perbuatan seseorang yang menurutku sudah keterlaluan.
Aku tahu Aisha selama ini adalah wanita yang lembut. wanita yang bahkan tak pernah marah sekalipun pada Ibuku yang selama ini membencinya. Hanya saja penuturan Ibu dan juga Bella begitu meyakinkan dan masuk akal. Apalagi pria yang di suruh Aisha begitu terlihat sangat yakin bahwa Aisha lah yang melakukan semua ini. Entahlah aku harus percaya pada siapa. Akupun pusing memikirkan ini semua. Mereka adalah dua wanita yang sangat aku sayangi. Dari dulu aku hanya berharap keduanya bisa akur agar hidupku terasa sempurna jika ada dua bidadari di sampingku.
Entahlah kepalaku kini seakan pecah jika memikirkan hal ini. Ku putuskan untuk pergi ke masjid yang ada di dekat Rumah Sakit. Aku ingin mendinginkan kepalaku terlebih dahulu.
Setelah shalat ashar. Ku berdoa dengan khusuk pada Allah meminta untuk kebaikan hidup kami. Aku, Aihsa dan juga ibu. Dua wanita yang sangat aku sayangi. Dua wanita yang ingin aku lindungi. Dua wanita yang tak ingin aku kehilangan kehadirannya.
Dengan berdoa pada Allah. Mencurahkan segala keluh kesahku. Entah mengapa rasa marahku pada Aisha kini perlahan hilang meski masih ada ganjalan rasa tidak menyangka bahwa dia berniat untuk mencelakai Ibuku. Sebelum ada bukti yang mengarahkan bahwa Aisha tidak bersalah mungkin aku akan seperti ini. Antara marah, benci namun juga cinta. Wajar bukan jika aku seperti ini. Mengingat bagaimanapun aku hanyalah seorang manusia biasa.
Setelah sholat ku putuskan untuk kembali ke ruangan dimana Ibu dirawat. Disana masih ada Bella yang setia menjaga Ibu. Wanita yang beberapa minggu lagi akan menjadi istri keduaku. Ku langkahkan kakiku mendekati Ibu yang kini masih berbaring di tempat tidur.
“Bagaimana sekarang keadaannya Bu? Apa masih pusing?” tanyaku pada Ibu yang sejak tadi Beliau merasakan pusing karena terkejut dengan kejadian ini mengingat dirinya sudah tak lagi muda. Apalagi pusing itu di sebabkan oleh darah yang keluar dari tangan Ibu yang lumayan banyak.
“Alhamdulilah Nak. Ibu sudah mendingan. Tadi dokter kesini katanya besok pagi Ibu sudah bisa pulang.”
“Syukurlah Bu.”
“Mana Aisha? Bukannya tadi dia kesini?”
“Aisha sudah pulang lagi Bu.”
“Jangan marahi dia Amran. Sebagai wanita mungkin dia sedang khilaf karena di landa rasa cemburu dan takut kehilanganmu karena Ibu akan menjodohkan mu dengan Bella. Sudahlah Ibu sudah memaafkannya ko.”
Ibuku berkata seraya mengelus bahuku. Aku tersenyum padanya merasa terharu. Duh gustii pantas saja engkau menyimpan surga di telapak kakinya. Ternyata begitu mulia hatinya. Ibu adalah satu-satunya orang yang akan menyayangiku tanpa syarat. Bagaimana aku tidak percaya pada kata-katanya.
“Terimakasih Ibu. Maafkan istri Amran jika menyakiti Ibu. Amran akan memberitahunya agar hal seperti itu tidak terulangi lagi.”
“Iya nak. Sudahlah jangan kamu pikirkan semua ini. Toh Ibu sekarang baik-baik saja nak.”
Aku mengangguk lalu ku peluk Ibu. Ku cium keningnya lembut penuh kasih sayang. Beberapa tahun lalu Ibu kehilangan ayah. Sosok penjaganya selama ini. Dan kini aku yang harus bertanggung jawab untuk melindungi jiwa dan raganya. Mengingat aku adalah anak pertama laki-laki. Jika bukan denganku dengan siapa lagi Ibu hidup.
"Nak temenin Bella makan sayang. Kasian dia banyak pesan makanan tapi gak di makan," ujar Ibu. Aku sedikit keberatan. Mengingat jika berdua dengan Bella aku selalu teringat Aisha. Mungkin dia akan sakit hati jika melihatku bersamanya. Permasalahan ini tak membuat rasa cintaku pada wanita yang telah menemaniku selama delapan tahun ini berkurang.
"Amran sudah makan Bu. Masih kenyang," elakku pada Ibu.
Bella terlihat diam saja duduk di kursi. Di meja makan itu banyak sekali makanan lezat kesukaanku. Sepertinya Ibu memberitahunya apa saja yang ku suka. Namun sayang aku sama sekali tidak berselera.
"Ya sudah icip-icip saja lalu temani Bella. Kasian hargailah pemberian orang nak. Apalagi Nak Bella kesini untuk mengurus Ibu."
Aku menghela nafas. Perintahnya bagaikan titah raja bagiku. Aku tak bisa menolaknya. Apalagi saat ini Ibu sedang sakit.
Akupun mengangguk. Raut wajahku terlihat sekali tidak suka. Kini ku duduk di kursi berhadapan dengan Bella. Namun sama sekali tak ku tatap wajahnya. Dan langsung saja tanganku mengambil makanan manis yang terletak di meja itu.
"Mas mau apa? Biar saya ambilkan!" ujar Bella. Sepertinya dia sedang berusaha untuk membuka permbicaraan denganku.
"Tidak usah. Perutku masih kenyang Bel."
"Mas harus coba ini. Ini enak sekali Mas. Jika aku ke cafe bertemu dengan Ibu. Ibu selalu memesan ini. Iyakan Bu?" Bella menatap Ibu. Ibu pun mengangguk seraya tersenyum.
"Cobain nak. Itu makanan yang paling enak menurut Ibu."
Lagi-lagi aku terpaksa mengambil makanan itu dari Bella. Demi Ibu hanya demi menyenangkan hati wanita yang telah melahirkanku.
"Bagaimana enak Mas?" tanya Bella kembali. Ku lihat wajahnya begitu bahagia. Tersenyum merekah sempurna.
"Hmmm... Enak."
Bagaimanapun aku harus menjaga perasaannya. Sebisa mungkin aku menunjukan sikap biasaku meski rasanya aku malas sekali duduk bersamanya.
***
Pagi kembali menyapa. Hari ini alhamdulilah Ibu sudah bisa pulang. Dokter sudah memeriksa keadaannya yang alhamdulilah sudah membaik. Sejak semalam aku menunggu Ibu sendirian. Bella ku suruh pulang karena aku tak mau jadi fitnah. Bagaimanapun meski dia adalah calon istriku Bella tetaplah bukan makhromku.
Ku dorong kursi roda yang di duduki Ibu. Tak lupa sepanjang perjalanan ku cium puncak kepalanya sebagai tanda rasa sayangku yang begitu besar. Pak Anto sudah menunggu di Lobby Rumah Sakit. Lalu membantuku untuk memasuki Ibu ke dalam mobil.
"Hati-hati Bu," ucapku padanya.
"Iya sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Duri Dalam Pernikahanku
RomansaYang mau beli buku 'Duri dalam Pernikahan' boleh yaa cek di Ig (author_alin atau di alinafrilian). Pastinya ceritanya sangat berbeda yang berada disini. *** Aisha seorang wanita yang harus rela di madu karena belum juga dapat memberikan keturunan s...