BAB 20

136 2 0
                                    

"Astagfirullahaladzim... Sing sabar ya nduk. Mungkin ini sudah jalan takdir dari Allah. Bahwa pernikahan kalian sampai disini. Jangan membalas kejahatan orang lain. Biarlah Allah yang membalasnya. Kita hanya doakan saja semoga Ibu mertuamu mendapatkan hidayah," ucap Padhe. Nasihat beliau memang selalu membuat hati siapa saja yang mendengarnya merasa tenang.

Aku terdiam. Melihat Ummi menangis tak henti. Membuatku semakin bersedih dan semakin merasa bersalah. 

"Kenapa kamu tidak memberitahu Ummi nak? Kenapa selama ini kamu diam saja? Ummi kira kamu bahagia hidup bersama dengan mertuamu. Jika tahu seperti ini. Mungkin Ummi akan meminta pada Amran untuk tidak menyatukanmu dengan mertuamu!" ujar Ummi yang terlihat begitu terluka sekali. Bahkan di luar dugaanku. Ku kira Ummi tidak akan sesakit ini mendengar ceritaku. 

Akupun semakin terisak. Dadaku kini terasa sesak. Memang aku terlalu banyak memendam masalah sendirian sejak dulu. Karena aku tak ingin membebani siapapun. 

Kini perceraianku mengorbankan banyak orang. Ummi yang tersakiti, dan anak yang di kandungku yang tak akan memiliki kasih sayang seorang ayah sejak dari dalam kandungan. 

Air mataku tak bisa aku tahan. Tangisanku kini semakin tersedu-sedu. Ummi terlihat cemas. Beliau menenangkanku. Begitupun juga dengan Budhe dan juga Padhe serta Mas Abdullah. 

"Minum dulu Nak. Maafkan Ummi bukan bermaksud membuatmu mengingat lagi masa lalu. Ummi hanya kecewa saja pada diri sendiri karena tak tahu jika anaknya sendiri selama ini tersakiti," ujar Ummi seraya memberiku segelas air putih. Ku terima lalu ku teguk perlahan. 

"Aisha yang minta maaf Ummi. Sudah mengecewakan Ummi. Dan kini Aisha kembali menjadi beban Ummi."

"Tidak Nak. Sama sekali tidak. Kamu bukan beban Ummi. Kamu adalah kebahagiaan Ummi nak." 

Suasana saat ini kembali sendu. Penuh dengan air mata. Aku tak sanggup jika menyangkut Mas Amran. Hatiku sakit terasa di iris. Langsung terbesit wajah tampannya yang selalu ku rindukan. Yang kini telah tiada jauh dari jangkaun.

"Tenangkan dulu pikiranmu Nduk," ucap Padhe. 

"Iya nak. Sudah jangan terlalu di pikirkan kami semua ada disinu untukmu." Sahut Budhe.

"Iya Aisha. Sebaiknya kamu jangan terlalu banyak beban pikiran. Karena itu akan mempengaruhi janinmu serta kondisi tubuhmu," sahut Mas Abdullah yang sangat tahu betul dunia kesehatan.

Aku mengangguk. Lalu menenangkan diri ini agar sedikit tenang. Semua ini terasa begitu menyakitkan bagiku. Bisa kalian rasakan bagaimana rasanya menjadi aku. Di tinggalkan seseorang yang begitu di cintainya membuat dunia ini terasa hampa. Hancur tak tersisa.

***

Keesokan harinya. Aku kini sudah berada di rumah. Sebenarnya dokter belum menyarankan untuk pulang. Hanya saja Ummi ingin aku berada di tempat yang nyaman. Hingga akhirnya Mas Abdullah menyanggupi untuk merawatku di rumah. Karena kasian juga jika Padhe dan Budhe serta Mas Abdullah niat untuk liburan namun nyatanya malah menungguku yang sedang sakit di rumah sakit .

"Bagaimana Nak Abdullah kondisi Aisha sekarang?" tanya Ummi yang begitu perhatian padaku. Duh gustiii pantas saja engkau menyimpan surga di telapak kakinya. Beliau begitu mulia. Menyayangiku tanpa syarat.

"Sudah semakin membaik Ummi. Aisha saat ini hanya kekurangan cairan. Tapi inshaallah akan baik-baik saja karena Abdullah sudah memasang kembali selang infusnya," ucap Mas Abdullah seraya duduk di samping ranjangku. 

"Alhamdulilah. Maaf ya Abdullah Ummi jadi merepotkan kamu."

"Tidak apa-apa Ummi." 

"Kalau begitu Ummi tinggal dulu yaa. Kasian Padhe sama Budhe lagi makan. Ummi mau nemenin dulu mereka. Kalian ngobrol saja dulu!" ucap Ummi. Dan di iyakan oleh Mas Abdullah. 

Suasana di rumah ini yang awalnya selalu sepi kini terasa hangat. Kini aku terasa memiliki teman. Mas Abdullah sejak tadi tak henti membuatku tertawa. Beliau memang pria yang humoris. 

"Terimakasih ya Mas sudah mau merawatku. Maaf liburan Mas malah jadi tertunda karena aku."

"Tidak apa-apa Aisha. Mas malah senang bisa membantumu. Makanya cepat sehat. Mas masih ada waktu satu minggu liburan di bandung. Kita liburan bersama dengan Ummi. Papa dan Mama!" ucap Mas Abdullah mencoba menghiburku. Aku tersenyum bahagia. Beliau dari dulu benar-benar sudah ku anggap kakak sendiri. Sifatnya yang menyenangkan dan juga lembut membuatku selalu nyaman berada di dekatnya. 

"Baiklah Mas. Aisha tahu tempat liburan di bandung yang pasti Mas suka!" lirihku.

"Hmmm benarkah?"

"Iya Mas. Suasananya begitu menenangkan. Pemandangannya indah dan juga fasilitasnya lengkap. Pasti Mas sangat betah liburan disana."

"Baiklah asal kamu janji cepat sembuh. Kita liburan bareng semuanya. Biar kamu happy gak nangis terus. Kamu jelek tahu kalo lagi nangis. Kaya anak SMP!" ucap Mas Abdullah meledekku. Entahlah jika bersamanya aku seperti bukan Aisha yang di kenal orang sebagai pribadi yang pendiam dan juga anggun. Jika bersamanya aku selalu menjadi sosok yang periang dan menjadi mendadak tertawa lepas. 

"Iiihhh Mas tuh yang jelek. Ngeledekin terus adeknya."

"Haha becanda... Becanda!"

"Oh ya kata dokter kandunganmu sekarang sudah berapa bulan?" tanya Mas Abdullah. 

"Kata dokter kandungan Aisha sudah 4 minggu Mas." ucapku seraya mengelus perut datarku. Sampai saat ini aku bahkan masih belum memyangka bahwa di rahimku sudah bersemayam satu nyawa.

"Waah sebentar lagi Mas akan jadi Om!" ucapnya dengan raut wajah yang bahagia. 

"Mas aku ingin curhat boleh?" tanyaku padanya. 

"Tidak boleh!" Ketusnya dengan wajah datar 

Tentu saja aku merasa kesal. Aku cemberut menatapnya. Seketika Mas Abdullah tertawa lepas dengan raut wajah meledekku.p Membuatku ingin menepuk bahunya karena kesal.

"Iiihh Mas!" ucapku.

"Ya bolehlah Sha. Masa gak boleh. Mau cerita apa memangnya?"

"Menurut Mas. Kehamilan Aisha beritahu pada Mas Amran apa jangan yaa? Aisha takut Mas. Jika kehamilan ini malah mungkin sekarang sudah tidak di harapkan Mas Amran karena sebentar lagi akan menikah dengan wanita yang di pilihkan Ibunya. Yang pastinya semua itu malah akan membuatku sakit hati!"

Mas Abdullah menghela nafas. Namun belum sempat Mas Abdullah menjawab. Padhe datang ke dalam kamar. Ternyata beliau mendengar ucapanku barusan. Padhe kini duduk di sebelah Mas Abdullah. Lalu menatapku dengan senyuman hangatnya yang menenangkan.

"Menurut Padhe mantan suamimu itu berhak tahu. Karena bagaimanapun anak yang kamu kandung saat ini adalah darah daging Amran.  Masalah Amran menerima atau tidaknya. Itu kita serahkan saja pada Allah. Semoga saja semua ini bisa memperbaiki hubungan kalian. Jika tidakpun tidak apa-apa!" ujar Padhe memberi saran.

Ya Allah hati ini kembali berdetak kencang ketika nama Mas Amran terdengar lagi. Ragaku rasanya lemas dan bergetar. Duh gustiii betapa hati ini begitu mencintainya. 

"Baiklah Padhe. Aisha akan turuti saran Padhe. Semoga saja semuanya sesuai yang di harapkan."

"Iya nak amiiinn."

Duri Dalam PernikahankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang