BAB 4

122 3 0
                                    

Pov Amran 

Brak 

Terdengar suara gaduh di dalam dapur. Langsung ku hentikan pembicaraanku dengan ibu. 

"Astagfirullah. Bapaakk ibu pingsan!" Terdengar suara teriakan dari mbok inah. Segera ku langkahkan kakiku dengan cepat menuju dapur dengan panik. Di ikuti oleh ibu di belakangku. Di lihatnya kini Aisha tengah tergeletak di kamar mandi dengan mbok Inah yang menahan kepalanya agar tidak menyentuh lantai. 

"Astagfirullah Aisha," dengan langkah cepat segera aku menghampiri istriku. Wajahnya kini begitu pucat. Tangannya pun dingin. 

Aku mengangkat tubuh Aisha ke dalam pangkuanku. Lalu berjalan dengan cepat menuju ruang keluarga. Ku letakan tubuh Aisha di atas sofa berwarna biru. Lalu ku tepuk-tepuk pipinya pelan mencoba untuk menyadarkannya. 

"Coba pakai ini pak," ucap Mbok Inah seraya memberikanku minyak aromatherapy. Sedangkan ibuku hanya diam saja menonton. Tanpa terlihat panik sedikitpun. 

Ku oleskan minyak aromatherapy  itu ke pelipis Aisha. Lalu ku pijit pelipisnya berulang kali. Hingga tak lama kemudian mata indah nan bening itu terbuka perlahan. 

"Mas... " Lirihnya dengan lembut. Ku tatap matanya yang masih terlihat sembab. Bisa ku tebak bahwa Aisha kini tengah menanggung banyak beban. Hingga dia sakit dan sampai pingsan seperti ini. 

"Jangan bergerak dulu. Istirahatlah. Apa yang kamu rasakan sekarang?" 

"Tidak Mas. Hanya sedikit pusing." 

"Mas panggilkan dokter yaa." 

"Tidak usah Mas aku baik-baik saja." 

"Bagaimana baik-baik saja sayang. Kamu sakit," ucapku memaksanya. 

"Tidak usah Mas. Aku hanya butuh istirahat." 

“Baiklah.” 

Tiga tahun terakhir ini Aisha memang memiliki penyakit vertigo. Mengingat dia selalu di landa amnesia setiap malam yang itu sangatlah berbahaya untuk kesehatan tubuhnya. Entah apa yang Aisha pikirkan. Namun aku sudah bisa mengerti semua itu tidak luput dari masalah anak. Ketika ibuku dan juga keluarga serta tetangga yang seolah selalu menanyakan kapan memiliki anak. 

Aku tahu persis Aisha. Dia wanita yang sangat lembut. Dia tak pernah mengadu tentang ibuku sekalipun tentang keluargaku yang terkadang selalu merendahkannya karena belum juga memiliki keturunan serta berasal dari keluarga biasa. Selalu saja status sosial yang di masalahkan. Padahal aku sendiri tak masalah sama sekali tentang hal itu. 

Namun aku tahu sendiri bagaimana ibu memperlakukan Aisha. Terlilhat sekali dari bagaimana ibu bicara dan memandangnya. Mengingat di depanku saja ibu berani menyakiti Aisha dengan kata-katanya. Apalagi jika tidak ada aku. Mengingat hampir setiap bulan aku selalu pergi ke luar kota. Karena aku memimpin perusahaan yang bergerak di bagian pertambangan. Hingga aku selalu berada disana sampai satu minggu lamanya. 

Ku tatap wajah cantik nan ayu itu. Wajah yang bersinar karena memiliki hati yang suci. Shalat tahajudpun tak pernah Aisha tinggalkan. Bagaimana tidak dirinya ku juluki bidadari surga. Ketaatannya padaku hampir seperti istri nabi. Dia sempurna bagiku. Tak pernah satu kalipun dia meninggikan suaranya di hadapanku. Tak pernah sekalipun dia membantah apa yang ku perintahkan padanya. Dia pun tak pernah meminta barang-barang berharga seperti wanita lainnya padahal dia tahu aku akan mampu memberikannya. Bagiku Aisha adalah malaikat cinta yang di kirimkan Allah untukku. Kadang aku berfikir amalan baik apa yang aku perbuat hingga aku memiliki isteri yang sempurna sepertinya. 

“Minumlah dulu sayang,” ku angkat badannya yang masih lemah hingga bersandar di sofa. Lalu ku bawakan satu gelas air putih yang di bawakan mbok Inah. 

“Terimakasih Mas.” 

“Aisha lain kali jika sakit diam saja di kamar. Jangan jalan-jalan ke bawah seperti ini. Jadinya penyakit kamu kambuh lagikan,” ucap ibuku. 

Aku menghela nafas melihat cara bicara ibu yang selalu terlihat sinis pada Aisha. Aku sudah menegurnya. Namun ibu selalu berkata bahwa aku lebih menyayangi Aisha di banding dirinya. Bukannya sifat ibu berubah. Beliau malah salah sangka terhadapku. Ah mungkin ini adalah ujian bagi rumah tangga kami. Terutama Aisha. Namun meski begitu. Rasa cinta dan sayangku terhadap Ibu tak pernah pudar. Bahkan tiap hari makin bertambah. Jika ku tatap wajahnya yang kini sudah tak lagi muda. Rambutnya yang kian memutih. Serta kulitnya yang sudah keriput. Aku bisa membayangkan dulu waktu kecil betapa aku di sayangi dan manjanya. Aku yakin beliau melakukan semua ini karena sangat menyayangiku. Meski memang caranya salah. 

“Baik bu.” Jawab Aisha seraya menunduk. 

Tak ingin Aisha semakin bersedih dengan perilaku ibu. Aku segera membawanya kembali ke kamar yang berada di lantai atas. Lalu ku hibur dirinya dengan celotehan celotehanku yang membuatnya lumayan terhibur. Sejenak aku menjadi komedian terlebih dahulu demi menghiburnya. Meski aku sadar sangat tidak bisa untuk melucu. Namun demi bidadariku. Aku mencoba menjadi pria yang humoris. 

“Sayang kamu tahu gak apa perbedaannya kamu sama amplop?” tanyaku seraya menatap wajah cantiknya tak pernah bosan. 

“Apa bedanya emang Mas?” 

“Kalo amplop di selipin surat. Kalo kamu di selipin di hatiku.” 

Tak ku sangka Aisha tiba-tiba saja tertawa. Aku bahagia bisa kembali melihat tawanya yang begitu riang. Senyumnya yang manis dapat meluluh lantakan hatiku. 

“Mas ada apa dengan mu? ini beneran Mas Amran kan? Kenapa Mas jadi komedian kaya gini sih. Lucu aku liatnya!” ucapnya yang masih tertawa. Hingga dia memegangi perutnya. 

“Memangnya kenapa? Kamu suka kan?” 

“Kamu lucu Mas. Tapi bukan gombalanmu yang lucu. Ekspresimu itu yang datar saja tapi berusaha untuk membuatku lucu. Haha sudah ah sakit perutku Mas dari tadi ketawa terus.” 

Aku ikut tertawa melihatnya. Ku cubit pelan pipi kemerahannya yang membuatku gemas. 

“Berarti Mas berhasilkan membuat kamu lucu? Baiklah Mas akan melakukannya setiap hari untukmu. Mas lebih menyukai mu tertawa dari pada menangis.” Ucapku seraya memeluknya. 

Ah malam ini kami lewati dengan penuh keromantisan. Sudah bisa di bayangkan apa yang kami lakukan setelahnya. Sebagai tanda rasa cintaku yang besar untuknya juga sebagai ikhtiar kami yang tak henti untuk memiliki seorang anak. Mengingat dokter mengatakan bahwa tak ada kelainan apapun pada Aisha juga padaku. Yang kami bisa lakukan saat ini hanyalah berdoa tak henti dan juga ikhtiar tanpa menyerah. Bisa ku bayangkan bagaimana tekanan yang di alami Aisha. Jangankan padanya. Orang di luar sanapun terkadang menanyaiku tentang kapan memiliki anak yang itu artinya dapat membuatku bersedih. Apalagi Aisha seorang wanita yang di kodratkan memiliki hati yang begitu sensitif. 





Duri Dalam PernikahankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang