BAB 9

97 2 0
                                    

Menjelang pagi seperti biasa ku antarkan Mas Amran untuk pergi bekerja sampai depan rumah. Dinginnya pagi ini membuatku memakai mantel. ku cium tangan Mas Amran. Lalu beliau membalasnya dengan mencium keningku. Setelah itu ku antarkan beliau sampai menaiki mobilnya yang terparkir di depan rumah.

“Mas berangkat dulu yaa sayang.”

“Iya Mas hati-hati yaa.”

“Iya sayang. Oh iya nanti jika kamu ada perlu atau lagi malas tidak usah mengantarkan makan siang untuk Mas. Suruh saja Pak Anto sayang.”

“Baik Mas. Lihat kondisi nanti saja yaa. Soalnya aku sedikit tidak enak badan. Entah kenapa akhir-akhri ini badanku tidak terlalu fit.”

Mas Amran mengusap pipiku lembut. “Mas panggilkan dokter yaa?”

“Tidak usah Mas. Aku tidak terlalu suka obat-obatan. Nanti di pijat aja sama Mbok Inah. Biasanya agak enakan.”

“Baiklah. Mulai sekarang jaga kesehatan mu sayang. Istrirahatlah Mas pergi dulu yaa sayang!”

“Iya Mas.”

Mobil yang di tumpangi Mas Amran pun melaju. Beliau melambaikan tangannya seraya tersenyum padaku. Aku tersipu malu. Keromantisan kami memang tak pernah berubah sejak pertama kali kami menikah. 

Ku langkahkan kakiku menuju rumah. Udara di luar sangatlah dingin hingga menusuk tulang. Hujan gerimis mengawali pagi ini. Rasanya ingin ku rebahkan tubuh ini. Kepalaku rasanya pusing dan aku merasakan mual. Serasa ingin memuntahkan semua isi perutku. Sepertinya semua ini karena pola tidur dan makanku yang  sangat berantakan. 

“Aisha!” sapa Ibu mertuaku yang kini tengah berjalan menghampiriku.

“Iya bu.”

“Kamu sakit?” tanyanya seraya menatap wajahku.

“Ah iya bu. Sedikit pusing. Tapi tidak terlalu parah ko bu.”

“Ibu pijitin yaa!”

Aku terdiam sejenak. sangat aneh rasanya Ibu mertuaku tiba-tiba berbuat baik padaku. Tutur katanya dan ekspresinyapun berbeda dari biasanya. Aku tersenyum seraya menatapnya. Mungkin Allah telah membukakan hatinya. Entahlah namun baru seperti ini saja hatiku sangat bahagia. 

“Tidak usah repot-repot Ibu. Biarkan Mbok Inah saja.” 

“Ngga papa. Yuk kita ke kamar. Nanti sakit mu semakin parah.”

“Benar bu? Ah Aisha jadi tidak enak.”

Ibu mengusap bahuku. Untuk pertama kalinya ku lihat lagi senyuman itu. “Tidak apa-apa. Jangan sungkan pada Ibu.”

“Baiklah Bu.”

Di dalam kamar Ibu mertuaku memijit tubuhku. Disana kami berbincang-bincang seru. Baru pertama kalinya lagi Ibu ingin berbicara panjang padaku. Setelah sudah lama kami seperti perang dingin. Sungguh aku sangat bersyukur walau hanya seperti ini. 

***

“Sayang Ibu mengalami kecelakaan. Beliau di copet dan tangannya terkena sayatan pisau.”

Tiba-tiba saja aku mendapatkan pesan ini dari Mas Amran. Langsung saja aku pergi menuju Rumah Sakit dimana Ibu di rawat. Sungguh aku terkejut mendapatkan kabar ini. Entah kenapa aku sampai tidak sadar jika Ibu keluar rumah karena sejak tadi aku tertidur. Bahkan Ibu keluar kamarpun aku tidak tahu. Astagfirullah aku seperti orang yang pingsan. Tidak mengingat apapun.

Di Rumah Sakit aku bergegas mencari ruangan Ibu di rawat di lantai tiga. Hatiku cemas.  Takut terjadi apa-apa pada wanita yang telah melahirkan pria sesoleh suamiku. Wanita yang selalu ku anggap sebagai Ibu kandungku sendiri. 

Tibalaha disana. Ku lihat kini Ibu tengah berbaring di atas ranjang dengan tangan yang di perban. Lalu ku lihat disana Mas Amran tengah duduk seraya memegangi tangan Ibu. Dan juga ada Bella di belakang Mas Amran dengan memasang wajah cemas. 

Ku tepiskan dulu rasa cemburu ini. Sekarang aku sangat mengkhawatirkan keadaan Ibu mertuaku.

ku langkahkan kakiku mendekati Ibu dan juga Mas Amran. "Bagaimana sekarang keadaan Ibu bu?" Tanyaku cemas. Namun aku heran dengan raut wajah Mas Amran. Beliau menatapku dengan sorot mata penuh kemarahan. Untuk pertama kalinya aku melihat wajah tampan itu bagaikan singa yang hendak mengamuk. 

"Ibu mengalami luka di tangannya," 

Kali ini Bella yang malah menjawab pertanyaan ku. Ada apa dengan Mas Amran? Perasaanku menjadi tidak enak. Ku rasa aku tidak memiliki salah apa-apa. Namun ada apa dengan tatapan itu? Tatapan yang tajam menghunus ke kedua bola mataku.

Duri Dalam PernikahankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang