BAB 6

128 1 0
                                    

Kini aku tengah berada di dalam mobil bersama dengan supirku hendak ke kantor untuk memberikan makan siang untuk Mas Amran seperti biasanya. Sekalian aku ingin menjenguk Ibu yang rumahnya lumayan dekat dari kantor Mas Amran. 

Sepanjang perjalanan aku masih teringat akan kata-kata ibu tadi pagi. Entah mengapa hati ini begitu sakit rasanya. Ingin ku katakan ini semua pada Mas Amran. Hanya saja aku tak ingin membuat suasana menjadi keruh. Bagaimanapun Mas Amran akan sangat marah pada Ibu. 

“Bu kita sudah sampai di kantor bapak,” ujar Pak anto supir pribadiku yang seketika langsung membangunkanku dari lamunan panjangku. 

“Oh iya. Baiklah saya ke kantor dulu ya Pak. Nanti saya kesini lagi sekitar setengah jam man lagi. Bapak kalo mau makan siang dulu boleh Pak. Disana ada tempat makan yang enak favorit saya dan juga Pak Amran. Ini uangnya Pak,” ujarku padanya seraya memberikan dua lembar uang berwarna merah. Bagiku tak ada bawahan dan majikan. Semuanya sama. Hingga aku selalu menganggapnya sudah seperti keluarga. Apalagi yang usianya sudah sangat tak lagi muda. Membuatku selalu teringat akan ayah yang sudah tiada. 

“Oh iya Bu. Terimakasih banyak Bu," ucapnya dengan raut wajah bahagia. Bagi mereka uang dengan jumlah sedikitpun sangatlah berharga. lumayan bisa buat jajan anak-anaknya yang masih sekolah. Jika melihatnya bahagia terasa aku yang bahagia. Karena dulu Umipun seperti itu. Jika ada rezeki lebih selalu membelikanku pakaian baru. Dan itu sungguh sangat menyenangkan hatiku. 

“Sama-sama Pak.” 

Aku pun keluar dari mobil. Lalu berjalan menuju ruangan Mas Amran. Seperti biasa karyawan Mas Amran selalu menatapku dengan tersenyum seraya menunduk hormat. Tak lupa ku sematkan juga senyum ramah pada mereka. 

Mas Amran memang sudah di bilang sangat sukses. Selama hidup dengannya aku selalu di manjakan oleh harta. Setiap tahun bahkan kami selalu liburan ke luar negeri terutama ke Mekkah kami tak pernah melewatkan untuk mengunjungi rumah Allah itu. Belanja ke Mall hampir setiap bulan. Mas Amran bahkan selalu memaksaku untuk belanja barang-barang yang mahal. aku yang tidak terbiasa memilih untuk tidak dan lebih baik di tabungkan saja. Namun Mas Amran selalu tak kehabisan akal. Sepulang ke rumah selalu saja ada barang baru dengan brand terkenal dengan sudah di bungkus kado. Ah hatiku selalu merasa bahagia jika bersamanya. Tak hanya itu. Makan di restoran mewahpun kini terasa sudah biasa bagiku.  Restoran yang ketika membayarnya membuatku terasa sayang akan makanan yang ku telan karena saking mahal harganya. Ah rasanya aku bagaikan ratu yang selalu di manjakan dan di agungkanya. Banyak sekali pengalaman semenjak bersama dengan Mas Amran. Pria dengan sejuta kesempurnaan dalam dirinya. Bagaimana aku tidak mencintainya dengan gila. 

Kini aku sudah berada di lantai empat kantor itu. Dimana disana ruangan Mas Amran berada. Tak lama kemudian aku membuka pintu itu dengan salam. Namun aku begitu terkejut saat melihat tangan Mas Amran kini melingkar di punggung seorang wanita cantik yang berkerudung mocca. Wanita itu tak lain adalah Bella. 

Hatiku berdesir hebat tat kala melihat ada wanita lain selain ku berada di ruangan Mas Amran. Kakiku tiba-tiba terasa kelu tak mampu melangkah. Apalagi melihat keduanya kini tengah berpelukan. 

Aku menggelengkan kepalaku tak menyangka dengan apa yang di lakukan Mas Amran. Darahku terasa tiba-tiba membeku. Jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya .Bisa kalian bayangkan bagaimana rasanya jadi aku saat ini. 

Mas Amran kini menatapku dengan terkejut. Segera dia melepaskan tangannya yang kini melingkar di pinggang ramping Bella. Aku tak tahu itu sengaja ataupun tidak. Mengingat aku tahu betul bagaimana Mas Amran. Dia tak pernah bersentuhan dengan wanita lain selain aku sebagai makhromnya. Namun tetap saja hatiku sakit dan cemburu melihatnya. Rasanya aku ingin menginterogasi keduanya untuk meminta penjelasan tentang apa yang terjadi. Hanya saja aku tidak terlalu berani untuk itu. Aku bukan tipe wanita yang seprerti itu. Apalagi saat ini aku sedang marah. Dan aku tak ingin berbicara banyak saat hatiku masih panas. Aku takut bicaraku akan menyakiti hati orang lain. Apalagi aku belum tahu pasti bagaimana kebenarannya. 

Duri Dalam PernikahankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang