2

893 109 4
                                    

Abram menggerutu di sepanjang jalan yang mereka lewati. Everleigh tersaruk-saruk di belakang pria itu, berjalan lebih lambat karena koper-koper yang dia bawa. Permukaan tanah di bawah kaki mereka tidak rata dan terasa lembap. Everleigh menghidu aroma khas tanah yang baru diguyur hujan, penyebab genangan lumpur yang beberapa kali dia injak. Bagian bawah gaun gadis itu telah kotor sejak tadi. Belum lagi peluh yang kini mulai membanjiri tubuhnya. Dia kotor, lengket, dan bau. Bayangan air bersih serta sabun, bagai ilusi yang tidak akan pernah dia dapatkan. Suasana di sekitar mereka sunyi. Tak ada pemukiman maupun rumah penduduk yang mereka temui. Hanya rimbun pepohonan dan suara binatang malam yang saling bersahutan.

Everleigh berjalan lebih cepat, berusaha mengimbangi langkah kaki Abram di depannya. Namun barang-barang yang dia bawa menghambat niatannya tersebut. Belum lagi kenyataan bahwa dia sudah begitu lelah setelah perjalanan panjang di kereta kuda. Kursi yang keras serta guncangan tiada henti, membuat gadis itu tidak dapat memejamkan mata sama sekali di sepanjang perjalanan. Everleigh yakin Abram juga merasakan hal yang sama. Bukti kelelahan serta penampilan yang lusuh, menandakan beratnya perjalanan yang mereka tempuh. Everleigh berusaha tidak mengeluh. Dia tidak ingin memancing kemarahan Abram. Apalagi bila melihat suasana hati adiknya yang makin memburuk setiap waktunya.

Sebuah batu kecil menghentikan langkah Everleigh. Gadis itu jatuh terjerembab saat ujung sepatunya tersandung permukaan keras tersebut. Everleigh meringis, membersihkan telapak tangan yang dipenuhi kerikil kecil serta beberapa luka goresan. Dia menggunakan kedua tangan untuk menahan tubuh agar wajahnya tidak mencium tanah.

Tatapan Everleigh jatuh pada koper mereka yang bernasib lebih buruk. Salah satu koper pakaiannya, kini terbuka lebar setelah terlempar saat dia jatuh. Isi koper tersebut berhamburan di atas tanah yang lembap. Sambil menggigit bibir cemas, Everleigh mencuri pandang ke arah Abram.

Benar saja. Adiknya tersebut tampak makin jengkel. Abram mulai memberi Everleigh sebutan-sebutan yang membuat telinga gadis itu panas. Walau tak urung juga, pria itu membungkuk untuk memungut pakaian yang berceceran, menjejalkannya kembali ke dalam koper, sebelum akhirnya mengambil alih salah satu koper tersebut.

Abram masih mengeluh sepanjang perjalanan. Kali ini dia punya objek yang lebih tepat. Pria itu tidak henti menyebut Everleigh penghambat perjalanan. Bahwa seharusnya dia melakukan perjalanan ini sendirian tanpa gadis itu. Bahwa seharusnya dia meninggalkan Everleigh bersama tumpukan utang mereka karena gadis itu memang pantas mendapatkannya. Everleigh tidak memberi tanggapan. Hanya terus mengikuti langkah Abram dari belakang. Meski menyakitkan, tapi semua yang dikeluhkan Abram adalah kenyataan. Jadi, Everleigh melakukan keahliannya yang biasa. Menutup mulut dan menulikan telinga.

Everleigh masih terus berjalan sambil menundukkan kepala. Beban yang dia bawa sudah berkurang setelah Abram memutuskan untuk membawakan satu kopernya. Namun tenggorokannya mengganjal oleh rasa sakit hati pada setiap cercaan Abram.

Tubuh gadis itu menubruk punggung Abram dengan keras. Everleigh tidak tahu apa yang menyebabkan adiknya menghentikan langkah. Gadis itu terlalu takut untuk menebak karena yakin bahwa Abram akan kembali memarahinya. Cukup mengejutkan bahwa tidak ada lagi gerutuan dari mulut Abram. Pria itu berdiri tegak dengan pandangan yang terpusat pada satu titik. Everleigh mengikuti arah tatapan Abram, lalu mengerti penyebab pria itu berhenti melangkah.

"Itu bukan halusinasi, kan?" Abram menoleh kepada Everleigh, memastikan bahwa dia tidak salah lihat. Gadis itu menggeleng.

"Aku juga melihatnya."

Untuk pertama kali, senyum lebar menghiasi bibir Abram. Di tengah rimbun pepohonan serta daerah tidak berpenghuni di sekitar mereka, sebuah kastil menjulang angkuh. Malam yang gelap memberi kesan suram pada bangunan megah berdinding batu tersebut. Dikelilingi oleh pagar tinggi dengan besi runcing sebagai ujungnya, kastil tersebut lebih mirip benteng pertahanan daripada hunian. Namun setelah perjalanan panjang dan penginapan murahan yang selama ini Abram dan Everleigh tempati, kastil itu adalah bangunan paling mewah yang pernah mereka lihat.

"Kita ke sana." Abram memutuskan dengan cepat.

"Tapi, kastil itu gelap dan sepertinya tidak berpenghuni." Everleigh berkata cemas, mengamati bangunan kokoh tersebut. Bahkan meski jarak mereka masih cukup jauh, dia dapat melihat bahwa tidak ada satu pun cahaya dari dalam kastil.

"Tidak masalah. Pasti ada tempat tidur empuk dan hangat di dalamnya. Aku tidak akan sanggup berjalan lagi malam ini. Lebih baik tidur di dalam kastil tidak bertuan daripada di atas tanah yang becek."

Everleigh setuju dengan Abram, tapi sesuatu mengusiknya. Dia menjatuhkan tatapannya pada kastil itu sekali lagi, berharap menemukan pendar cahaya, atau apa pun yang menandakan bahwa ada seseorang yang tinggal di sana.

"Kusir kereta ... tidak menyinggung tentang kastil ini sama sekali." Everleigh menelan ludah untuk membasahi kerongkongan, berusaha keras menghalau rasa takutnya saat Abram menatap tajam. "Mungkin saja ... kastil itu sudah lama tidak berpenghuni dan tidak layak ditempati. Atau mungkin ... berbahaya."

"Apa yang coba kau katakan, Leigh? Kau ingin bilang bahwa mungkin kastil itu berhantu?" Abram bertanya mengejek, dan Everleigh tidak punya jawaban selain anggukan.

Tawa keras Abram menembus pepohonan di sekitar mereka. Everleigh merasa malu saat kembali mendapat tatapan merendahkan dari Abram. Meski Abram tidak mengucapkannya keras-keras, Everleigh tahu apa yang adiknya pikirkan tentang dirinya. Kata tolol akan menambah daftar ejekan yang pernah Abram berikan kepadanya.

"Aku bisa menghadapi hantu." Abram mengucapkan kata terakhir dengan cibiran yang sangat jelas. "Andai kau keberatan tidur di kastil berhantu, maka lanjutkan perjalananmu seorang diri ke kota terdekat. Selamat tinggal."

Melangkah mantap, Abram mengubah arah tujuannya dan mulai meninggalkan Everleigh. Gadis itu panik, berlari kecil untuk mengimbangi langkah-langkah panjang adiknya.

"Abram, tunggu!"

"Pergi sana! Perjalanan ini memang lebih baik tanpa dirimu. Kau hanya beban tidak berguna!"

"Maaf. Aku tidak akan menyusahkanmu lagi. Bahkan aku tidak akan bicara tanpa seizinmu."

Langkah Abram terhenti. Lirikan tajamnya menghunjam Everleigh.

"Jangan tinggalkan aku."

Permohonan mewarnai kalimat Everleigh. Pipi merah mudanya kini pias. Beberapa helai ikal pirang pucatnya, lepas dari gelungan dan jatuh di seputar pundak Everleigh. Abram sadar penuh bahwa kakaknya adalah gadis yang cantik. Mungkin nanti, kecantikan Everleigh akan memberinya keuntungan. Jika keadaan sudah terlalu mendesak baginya.

"Tidak satu katapun keluar dari mulutmu tanpa seizinku. Semua hal yang kau lakukan harus mendapat persetujuanku. Kalau kau melanggar, aku tidak akan ragu meninggalkanmu. Percayalah, mudah bagiku menganggapmu tidak pernah ada, Leigh."

Everleigh mengangguk, meski sakit menghunjam dadanya setelah ucapan tanpa hati Abram. Namun, Everleigh tidak akan pernah bisa membenci Abram. Hanya adiknya yang dia miliki di dunia ini.

Abram kembali melangkah tanpa keraguan. Everleigh mengikuti dari belakang, mencoba berada sedekat mungkin. Mereka berdua memacu langkah ke arah kastil yang tampak makin jelas seiring langkah yang mereka ambil. Sama sekali tidak memiliki petunjuk akan apa yang menunggu mereka di sana.

***

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang