19

521 106 6
                                    

Everleigh terus memacu langkah, menyusuri koridor yang seakan tanpa ujung. Semakin lama, kegelapan di hadapannya terlihat makin pekat. Hujan masih menyambar jendela di sisi kanannya, diiringi suara petir yang memekakkan telinga. Lalu tiba-tiba, gadis itu berhenti mendadak. Jalannya terputus. Lantai di bawahnya tak lagi dihiasi keramik bermotif mozaik. Everleigh menatap dengan terpana pada bangunan kastil yang telah runtuh, yang kini menampilkan lubang besar di hadapannya. Puing-puing kayu hitam legam, lantai dan dinding berhias jelaga adalah pemandangan yang dia temui. Kini derasnya hujan tak lagi hanya terasa di balik jendela, tapi memukulnya melalui koridor yang ambruk dan terhubung dengan dunia luar. Angin kencang mengibarkan rambut gadis itu yang terjalin. Air dingin membasahi bagian depan gaunnya, menerpa wajah tercengang Everleigh. Dia bukan menuju jalan keluar, tapi masuk lebih ke dalam. Pada bagian kastil yang selama ini tak tersentuh.

"Mau ke mana?"

Cengkeraman sekuat baja membelenggu pinggang Everleigh. Dia menjerit. Apalagi saat tubuh keras yang menawannya kini menekan punggung gadis itu dari belakang.

"Belum pernah melihat monster, Leigh?" Bisikan River terdengar kejam. Napas panas pria itu mengembus telinga Everleigh. Begitu dekat hingga tidak akan ada bedanya andai pria itu mendaratkan bibirnya di sana.

"River, lepaskan ... "

"Sebelumnya kau tidak pernah minta dilepaskan. Kau datang padaku. Menikmati sentuhanku. Sekarang kau merasa jijik?!"

Everleigh tersentak. Cekalan River di pinggangnya menguat, nyaris meremukkan. Gadis itu meronta, memukul lengan yang mengunci pergerakannya. Perlawanan Everleigh sia-sia. River mengangkatnya hingga kaki gadis itu tidak lagi menyentuh lantai, membawa Everleigh lebih dekat pada tepi reruntuhan. Gadis itu menatap ngeri pada bebatuan yang berada jauh di bawah kakinya. Mereka berada di lantai dua. Hanya kematian yang akan Everleigh temui jika River melemparnya ke bawah. Gadis itu berontak makin kuat, apalagi saat River mulai mencondongkan tubuh ke depan. Memberi Everleigh pemandangan lebih jelas pada sisa puing-puing kastil.

"Kau bisa terbang, Leigh?" Pertanyaan pria itu terdengar sinis. Keji dan tanpa ampun.

Everleigh mencengkeram lengan River yang masih memegangi pinggangnya. Dia merasakan cekalan pria itu yang melonggar, hingga mengundang jeritan paniknya.

"River, apa yang kau lakukan?!"

"Apa kau bisa terbang, Leigh?" River kembali bertanya. Tak ada tanda-tanda bahwa pria itu terpengaruh oleh pemberontakan Everleigh.

"Tidak! Aku tidak bisa! Kumohon, lepaskan aku!" Everleigh memekik histeris.

"Lepas?" Kini River mulai melepas pegangannya pada pinggang gadis itu. Jeritan Everleigh terdengar makin nyaring.

"Jangan!" Gadis itu memeluk lengan River lebih erat, menggunakannya sebagai satu-satunya pegangan. Meski Everleigh tidak dapat melihat wajah River yang berada di belakangnya, tapi dia dapat merasakan tubuh pria itu yang berguncang saat tertawa. Everleigh mulai menangis. Karena River menganggap lucu rasa takutnya. Karena begitu mudah bagi pria itu untuk mempermainkan emosinya.

"Satu-satunya jalan keluarmu dari kastil ini ada di bawah, Leigh. Lihat itu baik-baik. Kau akan tinggal bersamaku sampai aku memutuskan sebaliknya." Bisikan halus River mengalahkan bunyi hujan yang belum juga berhenti. Suara pria itu tenang, tanpa emosi, tapi syarat ancaman. Air mata Everleigh mengalir makin deras. Gadis itu tersedu di antara ketakutannya akan kematian.

"Kenapa? Kenapa ... kau lakukan ini?" Everleigh menanyakannya dengan suara terputus-putus, tersedak oleh air matanya sendiri.

"Karena adikmu berutang padaku," ucap River lambat-lambat.

Isak tangis Everleigh berhenti mendadak. Walaupun pipinya masih basah oleh air mata, tapi keterkejutan segera membekukan reaksinya. Everleigh membiarkan tubuhnya di balik hingga menghadap River. Pria itu tidak lagi bertelanjang dada, kini mengenakan kemeja yang dibiarkan terbuka di bagian depan. River tidak lagi menyembunyikan bekas luka bakarnya dari pandangan Everleigh. Dia tidak peduli meski kini gadis itu mengerut oleh rasa jijik saat melihatnya lebih jelas. Everleigh tidak hanya jijik. Gadis itu juga takut kepadanya. Dia baru saja mengancam akan menjatuhkan Everleigh dari lantai atas jika gadis itu berusaha kabur. Dan kini, Everleigh akan mendengar kabar yang lebih buruk lagi.

"Adikmu meminjam uang kepadaku dan menjadikanmu sebagai jaminan." River mengatakannya dengan sangat tenang. Seakan pria itu sedang membicarakan tentang cuaca buruk yang sedang mereka alami.

"Bohong .... " Suara gadis itu diwarnai getaran. Tangan rapuh yang mencengkeram bagian depan kemeja River, juga bergetar tanpa henti. "Kau bohong ...," ulang Everleigh.

"Adikmu meminjam uang yang cukup besar untuk pergi ke Middlesbrough dan memulai usaha di sana. Dia meninggalkanmu di sini. Bersamaku." Tidak ada simpati dalam kata-kata River. Jauh dari itu semua. Senyum sinis di bibir pria itu lebih mirip seringai keji di mata Everleigh.

"Bohong!" Gadis itu mulai memukul dada River. Pelupuk mata Everleigh kembali basah. Rasa terluka karena dikhianati menguasainya, melebihi takut yang dia rasakan. "Bohong! BOHONG!"

Everleigh terus berteriak. Isakannya terdengar makin keras. Makin memilukan. Tumpah ruah seperti hujan yang terus turun tanpa jeda. Abram tidak mungkin meninggalkannya di sini. Abram tidak akan pernah menukarnya dengan sejumlah uang yang tidak berarti.

River membiarkan Everleigh terus memukulinya. Gadis itu meratap karena harus terjebak bersama makhluk buruk seperti dirinya. Tak ada lagi sosok pria menawan yang selama ini Everleigh kenal. River telah menanggalkan topeng tersebut. Mulai saat ini, gadis itu akan melihat sosok River yang sebenarnya. Tanpa sikap pria terhormat yang berusaha pria itu tampakkan.

"Berhenti ..., " perintah River dengan geram. Dia marah melihat penyangkalan Everleigh. Gadis seperti Everleigh tidak akan pernah mau menghabiskan waktu bersamanya jika bukan karena paksaan.

"BERHENTI!"

Kepalan tangan Everleigh tertahan oleh cengkeraman River di pergelangannya. Wajah pria itu berkerut marah. Ekspresi bengis River puluhan kali lipat lebih mengerikan daripada luka bakar yang kini terpampang di depan gadis itu.

"Kau akan belajar untuk menerima bahwa kau adalah milikku! Aku bisa berbuat sesuka hati tanpa butuh persetujuan darimu! Kau paham?!"

"Tidak! Aku akan mengembalikan setiap sen uang yang dipinjam Abram ... River!"

Everleigh menemukan dirinya dilempar ke atas bahu pria itu. Sesaat, dia kehilangan kemampuan bernapas karena perutnya menghantam pundak River dengan keras. Pria itu tidak memedulikan rasa sakitnya. Everleigh kembali menjerit ketika River memanggulnya seakan dia hanya barang tanpa beban. Gadis itu memukul punggung di hadapannya, tidak memedulikan pening yang dia rasakan karena darah yang mengaliri kepala.

River sama sekali tidak terganggu oleh perlawanan gadis itu. Dia membiarkan Everleigh terus berontak, berteriak, bahkan kembali menangis. Langkah kaki pria itu berderap di antara deru hujan serta angin kencang. Lebih jauh ke dalam kastil yang menjadi area kekuasaannya. Everleigh tidak akan pernah pergi darinya. Gadis itu harus bisa menerima takdir yang telah tertulis. Takdir yang mengikatnya bersama River.

***

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang