9

539 103 3
                                    

Abram masih terpaku. Butuh beberapa saat bagi pria itu sebelum dapat kembali bicara.

"Aku ... hanya bicara sesuai fakta. Leigh sudah membohongimu. Seharusnya kau marah kepadanya, bukan aku."

Dia salah bicara. Abram sangat yakin dia salah saat berkata demikian. Otot rahang River menegang dan ekspresi kaku mendominasi wajah pria itu. Namun, lagi-lagi yang dilakukan River hanya menatap Abram. Mengancam dengan pandangannya. Sikap diam tersebut lebih membuat Abram ciut daripada jika River meneriakinya.

"Ada perlu apa?" River berbalik, memberi Abram kesempatan membuang napas yang sejak tadi dia tahan. Pria itu kembali menghadap Abram saat jarak mereka cukup jauh, melipat tangan di depan dada sambil melempar tatapan datar. Menunggu.

Abram berusaha mengendalikan diri dan tidak menampakkan ketakutan yang tadi sempat dia rasakan. Dia merapikan jasnya dengan gerakan lambat untuk sedikit mengulur waktu dan mengatur napas.

"Aku butuh uang." Abram memulai.

River mengangkat sebelah alis, tidak tampak terlalu peduli. "Lalu?"

"Aku ingin meminjam uang darimu."

"Kenapa kau pikir aku akan begitu bermurah hati?"

Wajah Abram memanas oleh rasa malu. Namun dia harus menyingkirkan perasaan itu jauh-jauh karena memiliki kebutuhan yang lebih mendesak.

"Kau punya banyak uang dan aku sedang membutuhkannya. Tidak ada ruginya membagi sedikit kekayaanmu denganku. Maksudku, dalam bentuk pinjaman."

"Seberapa kaya diriku bukan urusanmu. Dan aku tidak berkewajiban untuk memberi pinjaman dalam bentuk apa pun kepadamu." River menukas tajam.

Abram sudah menduga jawaban tersebut, tapi dia juga bukan pria yang tanpa persiapan. Dia bisa memberi tawaran yang akan membuat River berubah pikiran. Setidaknya itulah yang dia harapkan. Jemari Abram menari di sepanjang kancing jas sebagai kompensasi dari rasa gugupnya.

"Aku punya jaminan." Abram kembali mencoba.   

"Jaminan macam apa?" tanya River dengan sangsi.

"Kakakku. Aku menjadikannya jaminan atas uang yang akan kupinjam darimu."

Kalimat Abram sukses membuat River membisu di tempat. Sekejap, keterkejutan mendominasi raut wajah pria itu. Hanya sekejap. Pandangan River berubah. Kini lebih penuh penilaian. Penasaran. Pria itu tertarik dengan tawaran Abram.

"Berapa banyak?" River bertanya lambat.

Abram nyaris bersorak, tapi pria itu menahan diri. Akhirnya, kecantikan Everleigh memberi manfaat daripada untuk sekadar dipandangi.

"Tiga ratus pounds*."

Ekspresi River mengeras saat mendengar jumlah yang disebut Abram. Tiga ratus poundsterling bukan uang yang sedikit. Pria itu bisa menggunakannya untuk hal yang lebih berguna daripada meminjamkannya pada bocah bangsawan manja. Bahkan, River dapat membangun kembali bagian kastil yang runtuh dengan uang tersebut. Seandainya dia mau.

"Anggap saja aku bersedia meminjamkanmu uang sebanyak itu. Apa yang akan kau lakukan dengan uang tersebut?"

"Aku akan pergi ke Middlesbrough. Sendirian. Uang itu akan kupakai untuk menyewa kereta ... "

"Kau bisa membeli puluhan kereta kuda dengan uang itu. Beri aku alasan yang lebih masuk akal."

Abram sangat ingin menggigit kukunya karena begitu cemas. Dia menekan dorongan tersebut. Tindakannya hanya akan membuat River makin meremehkannya dan hanya menganggap Abram pria muda yang mudah resah.

"Aku akan menggunakan sisa uangnya untuk investasi."

"Investasi apa?" River terus bertanya. Abram merasa bagai penjahat yang sedang diinterogasi oleh penegak hukum.

"Aku tidak tahu. Aku akan mencari bisnis menjanjikan yang akan mengembalikan kekayaan keluargaku lagi. Memberiku hidup yang layak. Aku yakin akan menemukannya di Middlesbrough. Tentunya dengan bantuan sepupu jauh ayahku." Abram menutup penjelasan bertubinya, memperhatikan reaksi River. Pria itu tidak mengubah posisi berdirinya dan masih menatap Abram lekat.

"Kau terus menyebutkan tentang dirimu, tanpa sedikit pun memikirkan tentang kesejahteraan kakakmu."

"Tentu saja aku melakukannya untuk Leigh juga," tukas Abram cepat. Dia dapat melihat bahwa River peduli akan nasib kakaknya. Entah pria itu adalah seorang gentleman sejati, atau sangat menyukai Everleigh.

Dugaan tersebut menyentak Abram. Sebelum ini, dia tidak pernah berpikir sampai ke sana. Namun melihat perbedaan jauh sikap River terhadap Everleigh dengan dirinya, maka kemungkinan tebakannya tepat sasaran. Abram melihat kesempatan untuk memuluskan jalannya. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.

"Leigh akan menjadi jaminan atas utangku. Dia akan tinggal di sini sampai aku dapat melunasinya." Kali ini, suara Abram terdengar lebih percaya diri. River memakan umpannya. Pria itu mulai mempertimbangkan permintaan Abram.

"Sampai berapa lama?"

"Sudah kubilang sampai aku bisa melunasi ... "

"Berapa lama?" River mengulangi pertanyaannya dengan penuh penekanan. Sorot berbahaya dalam mata pria itu terkunci pada Abram.

"Em ... empat .... "

"Empat apa?"

"Empat bulan."

"Lalu kalau kau tidak bisa melunasinya?"

"Aku akan melunasi utangku ... "

"Kalau kau tidak bisa melunasinya," sergah River sebelum Abram sempat menyelesaikan kalimatnya. "Apa yang akan kau berikan sebagai ganti uangku?"

Sensasi dingin menjalari punggung Abram. Entah bagaimana, mereka berdua tahu hal yang diinginkan River sebagai ganti. Atau dalam kasus ini, seseorang. River hanya ingin Abram mengatakannya dengan lantang. Mendesak Abram membuat perjanjian yang tidak akan bisa dia ingkari.

"Kau boleh mengambil Leigh sebagai ganti. Dia adalah jaminan dan bentuk pembayaran. Andai aku tidak bisa melunasi utangku." Abram menambahkan kalimat terakhir dengan terburu. Kepuasan yang tergambar di wajah River membuatnya bergidik. Seakan pria itu tahu sejak awal bahwa Abram akan sampai pada keputusan tersebut.

"Apa yang akan kau katakan pada kakakmu saat pergi nanti?" River kembali bertanya. Meski kali ini, sikap tubuhnya berubah menjadi lebih santai. Karena pria itu telah mendapatkan kemenangan yang dia incar. Hadiah yang dia inginkan. Abram mulai bertanya-tanya apakah dia telah membuat keputusan yang tepat.

"Aku akan bilang bahwa kusir meminta biaya tambahan kalau aku membawa orang lain dalam perjalanan. Uangku tidak cukup untuk membiayai kami berdua." Abram memang telah memikirkan segalanya. Ide yang datang dalam waktu singkat dan kini mulai dia ragukan.

"Kau memang bocah culas." River berkata sinis.

"Aku bukan bocah!" Untuk pertama kali, Abram menunjukkan kemarahan di depan pria itu. Harga diri tidak mengizinkannya untuk dianggap rendah. Atau dianggap kanak-kanak.

River tersenyum miring, meski tidak memberi komentar lagi. Dia memutar tubuh, melangkah ke arah rak buku dan kembali pada kegiatan favoritnya. Abram menahan umpatan yang telah berada di ujung lidah. River mengabaikannya. Membiarkan dia terombang-ambing tanpa keputusan.

"Kau akan meminjamkanku uang atau tidak?" Abram bertanya ketus. Tidak lagi dapat menahan emosinya.

River mengambil sebuah buku, membalik halamannya tanpa menoleh ke arah Abram. Bahkan, dia tidak cukup peduli untuk menatap lawan bicaranya saat berkata, "Akan kupertimbangkan. Temui aku di sini besok saat aku telah membuat keputusan."

Abram menggeram rendah, tapi dia tidak lagi mendesak. Cukup sekali dia merendahkan dirinya seperti pengemis. Tidak akan pernah ada kali kedua. Pria itu meninggalkan perpustakaan dengan kaki menghentak lantai. Meninggalkan gaung pada setiap langkahnya yang dipenuhi amarah.

***

*Pounds / poundsterling : Mata uang Britania Raya termasuk Inggris dan adalah salah satu mata uang tertua di dunia yang telah ada sejak abad ke-8.

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang