32

783 117 12
                                    

Satu kata itu diucapkan River dengan kekaguman juga frustrasi yang menyertai. Everleigh terlalu sempurna. Gadis itu terlalu indah untuknya. River mulai menarik diri, tapi gerakannya terhenti oleh pegangan gadis itu di kedua lengannya.

"Mau ke mana?"

"Tidak. Ini kesalahan."

"River... "

"Aku bukan untukmu. Kau pantas mendapat yang lebih baik dariku. Jauh lebih baik."

"River!"

Tepukan keras di pipi mengejutkan River seketika. Tekad kuat memancar dari bola mata biru yang kini menguncinya. Menawan dirinya dalam luas samudra.

"Aku menginginkanmu. Bukan orang lain," tukas Everleigh yakin.

River mereguk ludah. Dia harus membuat keputusan. Keputusan terbaik bagi mereka berdua. Bagi Everleigh. Meski berat, pria itu harus melakukannya.

"Aku mengizinkanmu untuk berubah pikiran. Kuberi kesempatan bagimu untuk pergi dariku. Kau bebas. Akan kucarikan kereta kuda yang akan membawamu ke Middlesbrough dan menyusul adikmu."

River menunggu. Tawa gembira. Tangis bahagia. Apa pun yang menandakan bahwa Everleigh bersuka cita dengan keputusannya. Namun bukan itu yang River dapatkan. Raut terluka menoreh wajah cantik Everleigh. Getaran mewarnai suara gadis itu saat bicara.

"Jangan suruh aku pergi. Kenapa kau menolakku begitu keras saat kupikir bahwa pada akhirnya kita memiliki kesempatan? Apa yang salah?"

"Ini bukan tentang kau. Sejak awal, semua ini bukan karena dirimu." River menunduk, menempelkan keningnya dengan milik Everleigh. Mata pria itu terpejam. Luka yang jauh lebih dalam, mencabik hingga ke inti dirinya. Kebakaran itu merenggut segalanya. Dia yang dulu penuh percaya diri dan selalu optimis, kini berubah menjadi pribadi sinis dan rendah diri.

Seketika, Everleigh memahami ketakutan River. Perasaan tidak aman yang selalu menghantui pria itu. Alasan River selalu menghindar dan membatasi kontak fisik mereka.

"Aku ingin melihatmu."

Sontak, kelopak mata River terbuka begitu mendengar permintaan tersebut. Pandangannya bertemu dengan tatapan lembut Everleigh. Gadis itu tersenyum tipis. Senyum tulus tanpa jejak kebohongan di baliknya.

"Kumohon, biarkan aku melihatmu." Everleigh mengulang kembali permintaannya. Belaian gadis itu hinggap di pipi River, membujuk sekaligus menenangkan.

Pria itu bimbang sejenak, sebelum membuat keputusan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri. River duduk di tempat tidur, kemudian disusul oleh Everleigh. Ada pertanyaan yang tersirat dalam tatapan Everleigh yang ditujukan kepadanya. River mengangguk kecil, menjawab pertanyaan tanpa kata gadis itu.

Jemari Everleigh sedikit bergetar saat dia menjalankannya di sepanjang kancing kemeja River. Butuh waktu lama hingga akhirnya kemeja itu terbuka sempurna. Dengan sangat hati-hati, dia melepaskan kemeja beserta cravat yang menggantung di leher River, mengekspos bekas luka pria itu. River masih diam tak bergerak, tapi kekhawatiran membayang jelas pada raut wajahnya.

Everleigh membawa tubuhnya lebih dekat, memangkas jarak yang sempat memisahkan mereka. Perlahan, dia mendaratkan telapak tangannya pada permukaan kulit pria itu yang tidak rata. River terlonjak pelan, meski tidak menarik diri maupun menepis sentuhan Everleigh.

"Apakah sakit?" Gadis itu bertanya cemas.

Dilihatnya rahang River yang terkatup erat, seolah pria itu sedang menahan diri akan sesuatu. "Tidak. Sama sekali tidak."

Gadis itu mengangguk kecil, meneruskan eksplorasinya. Ujung jemari Everleigh terus membelai, menjajaki setiap jengkal kulit rusak pria itu. River berjengit ketika sentuhan gadis itu mencapai perutnya, begitu dekat dengan bukti gairahnya yang sekeras baja.

"Kau yakin tidak sakit?" tanya Everleigh lagi penuh keraguan, karena River terlihat makin menderita setiap kali tangannya bergerak makin ke bawah.

"Kau yakin tidak jijik?" River balik bertanya. Nada suara pria itu terdengar sinis. Napas River semakin cepat karena belaian yang tidak henti diberikan Everleigh.

Gadis itu menggeleng yakin. Kemudian tanpa aba-aba, bibir Everleigh menggantikan tangan yang tadi menjelajah. Dia memberi ciuman lembut pada bekas luka di seputar dada pria itu. Mendengar tarikan tajam napas River sebagai respon atas tindakannya.

Everleigh tidak tahu dari mana dirinya mendapat nyali untuk mulai mendorong pria itu berbaring. Dia tahu bahwa perbuatannya termasuk cukup berani. River jelas terkejut saat dia mengambil alih. Namun keterkejutan pria itu tidak berakhir di sana. Dengan satu gerakan cepat, Everleigh menanggalkan satu-satunya pakaian yang masih melekat di tubuh.

Bagi pria itu, tak ada satu kata pun yang sanggup menggambarkan betapa indah pemandangan tubuh Everleigh. Lidah River terasa kelu. Akal sehatnya lenyap pada detik gadis itu menghilangkan satu-satunya penghalang yang menutupi tubuh.

River menegakkan tubuh, mengagetkan Everleigh karena gerakannya yang tiba-tiba. Pria itu membalik posisi mereka, mengembalikan Everleigh di bawahnya. Everleigh tahu betul bahwa River mendambakannya. Tak peduli seberapa keras pria itu menolak. Dia sudah siap. Dia menginginkan River sebesar pria itu menginginkannya.

River memeluknya. Tidak memprotes ketika Everleigh menggunakan tubuhnya sebagai pelampiasan rasa sakit. Everleigh tidak menangis, tapi kernyitan di antara alis gadis itu menandakan nyeri yang harus dia tahan. Mata Everleigh terpejam rapat. Bibirnya mengatup erat, mencegah dirinya kembali mengeluarkan erangan kesakitan.

River mencium sudut bibir Everleigh, berusaha bersikap lembut meski insting primitif mendesaknya untuk segera menguasai gadis itu. Everleigh membuka mata perlahan, bertemu pandang dengan mata abu-abu cerah yang selalu membuatnya kagum. Gairah menggelapkan warna metal tersebut. Namun yang mengejutkan Everleigh adalah emosi yang terpancar di sana. River menatapnya seakan pria itu... mencintainya. Everleigh tidak berani menarik kesimpulan secara sepihak. Dia tahu betapa sulit bagi River untuk bisa kembali mencintai seseorang setelah peristiwa yang pria itu alami. Namun Everleigh tidak dapat mencegah dirinya bergantung pada harapan tersebut.

Everleigh mengetatkan pelukan, memindahkan kedua lengannya hingga melingkari leher River. Lirih, dia berbisik ke telinga pria itu.

"Aku mencintaimu."

Tubuh dalam pelukannya menegang sejenak. Gadis itu menggigit bibir, karena cemas yang mendadak datang. River tidak berkata-kata. Walaupun pria itu belum menjawab pernyataan cintanya, tidak ada penyesalan yang dirasakan Everleigh ketika dia menenggelamkan diri ke dalam pelukan River. Dia mencintai pria itu. Saat ini, Everleigh merasa cukup asalkan dapat terus berada di sisi River.

Gadis itu tersenyum sambil memejamkan mata, lalu terlelap dengan wajah damai setelah percintaan mereka. Meninggalkan River yang dipenuhi oleh berbagai pikiran yang berkecamuk di dalam kepala. Pria itu masih terjaga meski menit telah berganti menjadi jam. River mengetatkan pelukannya di seputar tubuh Everleigh. Mendekap begitu erat saat otaknya telah membuat keputusan. Besok, Everleigh akan mendapat apa yang gadis itu inginkan.

***

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang