15

625 110 8
                                    

Hari-hari berikutnya dijalani Everleigh dengan ... normal. Seakan kemarahan River di rumah kaca, tidak pernah terjadi. Bahkan, pria itu kembali ke sikapnya semula. Pria terhormat yang nyaris tanpa cela. Nyaris. Seorang pria terhormat tidak akan menghabiskan waktu berdua saja bersamanya dengan tubuh mereka saling menempel seperti sekarang. Meski yang River lakukan hanya membimbingnya untuk memahami buku yang dia baca, tapi kedekatan mereka sangat jauh dari kata sopan.

Everleigh dapat merasakan embusan napas pria itu yang membelai pipinya. Bagian samping tubuh mereka melekat satu sama lain. Lengannya dengan lengan River. Pahanya dengan milik River. Bahkan bahan tebal rok gaun Everleigh, tidak dapat mencegah gadis itu menyadari otot kokoh yang menekannya. Berkali-kali, jemari River yang menyusuri halaman buku, menggesek punggung tangan Everleigh yang juga berada di sana. Gadis itu tidak lagi bisa memusatkan konsentrasi terhadap isi buku yang mereka pelajari.

"Anjing peliharaan."   

"Apa?" Everleigh menyuarakan pertanyaan itu penuh kebingungan.

"Pe-li-ha-ra-an. Begitu cara kau membacanya. Kata ini agak sulit." River mengulangi dengan sabar karena melihat perhatian Everleigh yang terpecah.

"Oh ... iya. Peliharaan. Aku mengerti." Everleigh membalas gugup. Kemudian raut wajah gadis itu berubah menjadi kerutan heran. "Kenapa ada anjing peliharaan di buku ini? Bukankah ini buku tentang jenis-jenis bunga?"

Tawa kecil River tidak terbendung lagi. Butuh beberapa saat bagi pria itu hingga dapat memberi tanggapan. "Kita sudah berganti buku sejak tadi, Leigh. Apa kau lupa? Sekarang kita sedang membaca fabel."

Itu adalah tawa pertama River yang Everleigh lihat. Meski bukan tawa lepas yang membuat pria itu terbahak-bahak, tapi gadis itu menyukainya. Tawa tersebut melembutkan wajah River. Sejenak menghilangkan memori kemarahan pria itu di rumah kaca. Everleigh bersemu, karena dua hal. Penyebab pertama adalah tawa River, sedangkan yang kedua karena dia butuh diingatkan tentang topik bacaan mereka. Pria itu benar-benar mengalihkan perhatiannya sejak tadi. Andai River tidak berada sedekat ini dengannya, Everleigh yakin konsentrasinya tidak akan terganggu. Cukup yakin. Hampir.

"Konsentrasiku agak teralihkan," ungkap Everleigh jujur.

"Oleh apa?"

Gadis itu tidak menjawab. Tidak mungkin dia mengatakan alasannya. Dia tidak seberani itu. Maupun sanggup menanggung malu jika River mengetahuinya. Pria itu tidak mendesak Everleigh lebih jauh. River tersenyum tipis, menepuk bahu Everleigh dengan ringan.

"Kau belajar terlalu keras. Kurasa kau butuh istirahat."

River menutup buku di pangkuan Everleigh, berniat mengembalikannya ke dalam rak. Pria itu bangkit, lalu sebuah tarikan di bagian belakang rompi, menahan gerakannya.

"Mau ke mana?" Pertanyaan gadis itu terdengar polos. Mata biru Everleigh tampak terlalu besar di wajahnya yang berbentuk hati. Pandangan River turun ke bibir gadis itu, yang terlihat begitu menggoda saat sedang setengah terbuka seperti sekarang. Dia mengepalkan kedua tangan, menahan godaan yang tiba-tiba muncul untuk mencicipi bibir ranum tersebut.

"Sesi belajar hari ini sudah selesai, Leigh. Aku akan meletakkan buku ini kembali," ujar River tenang. Sangat berlawanan dengan pertarungan di dalam batinnya.

"Jangan pergi. Aku masih ingin menghabiskan waktu bersamamu."

Kepalan River begitu erat hingga ototnya tertarik dengan menyakitkan. Everleigh tidak tahu efek kalimat tersebut terhadap River. Gadis itu terlalu minim pengalaman untuk mengerti akibat permintaannya terhadap seorang pria. Pria seperti River yang telah menaruh perhatian kepada Everleigh, semenjak malam pertama gadis itu menginjakkan kaki di kastil ini.

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang