21

539 102 5
                                    

Ketukan itu keras, tidak seperti sebelumnya. Air mata Everleigh sudah berhenti mengalir sejak tadi, menyisakan kelopak mata yang masih sembab. Gadis itu tidak repot-repot turun dari tempat tidur untuk membuka pintu, karena dia masih ingin sendiri tanpa gangguan.

"Buka pintunya." Perintah yang diucapkan dengan nada tenang berbahaya itu, membuat Everleigh langsung duduk tegak. Itu bukan suara Duncan.

Bulu kuduk Everleigh meremang saat menyadari bahwa yang ada di balik pintu adalah River. Sambil mengumpulkan segenap keberanian, dia berseru pada pintu yang tertutup.

"Aku tidak mau bertemu denganmu!"   

Tidak ada jawaban maupun respon apa pun, hingga Everleigh mengira bahwa River sudah pergi. Gadis itu begitu terkejut saat pintu kamarnya dibanting membuka. River tampak menakutkan dengan penampilan berantakan serta bekas luka yang terpampang jelas. Everleigh merenggut bantalnya kembali, memeluk erat di depan tubuh dan menggunakannya sebagai tameng.

"Pergi!"

"Kau tidak akan mengusirku di rumahku sendiri!" hardik River marah. Pria itu menyeberangi ruangan dengan cepat, dalam waktu singkat mencapai tempat tidur di mana Everleigh sedang meringkuk di sudutnya.

Gadis itu ketakutan. Kedua tangan Everleigh yang memeluk bantal tampak bergetar. Namun River tidak peduli dengan itu semua. Dia menyentak lengan Everleigh, menyebabkan pegangan gadis itu pada bantal segera terlepas. Seru kesakitan meluncur dari bibir Everleigh saat River mencengkeram lengannya erat, menarik begitu kuat hingga dadanya menabrak tubuh keras River. Dia menekan kedua telapak tangannya pada dada pria itu yang terbuka, berusaha tidak berjengit saat menyentuh kulit kasar tempat luka pria itu berada. River menegang sejenak, tapi cekalan pria itu tidak melonggar.

"Kau menyakitiku," ucap Everleigh di antara ringisan kesakitannya. River menyadari mata Everleigh yang sembab saat gadis itu menatapnya. Pemandangan tersebut membuat amarahnya kembali memuncak. Everleigh menangisi nasib buruknya karena harus berakhir bersama River. Sebelum ini, gadis itu begitu tidak sabar untuk menghabiskan waktu bersamanya. Kini, Everleigh merasa muak bahkan hanya untuk makan malam dengan dirinya..

"Patuhi aturanku kalau kau tidak ingin disakiti," desis River seraya mengetatkan cengkeramannya.

"River, tolong .... " Ringisan Everleigh kini berubah menjadi permohonan. Gadis itu harus menggigit bibir untuk mencegah dirinya sendiri kembali melontarkan seru kesakitan.

"Kau akan patuh atau tidak?!" Pria itu menghardik marah.

Everleigh mengangguk karena takut River benar-benar akan meremukkan lengannya. Cekalan pria itu melonggar, meski masih belum melepaskan Everleigh. Mendadak, River menariknya turun dari tempat tidur, memaksa Everleigh berdiri dengan kedua kakinya. Gadis itu sempat terhuyung sejenak karena gerakan yang begitu tiba-tiba. Namun sebelum Everleigh sempat meraih keseimbangan kembali, dia menemukan dirinya telah diseret di sepanjang jalan menuju ruang makan. Everleigh bagai melayang karena berlari terlalu cepat untuk mengimbangi langkah-langkah panjang pria itu.

Meja makan penuh dengan makanan, tapi Everleigh sama sekali tidak berselera. Apalagi saat River memperlakukannya seperti boneka yang bisa diatur sesuka hati. River menarik sebuah kursi di paling ujung, lalu mendudukkan Everleigh di sana. Pria itu menyusul dengan duduk di kursi yang berada di seberang. Everleigh menunduk dalam-dalam sementara River melempar tatapan penuh intimidasi kepadanya.

"Makan." Pria itu memberi perintah yang jelas tidak ingin dibantah.

Tangan Everleigh bergetar ketika dia mengambil sesendok sayur rebus, nyaris membuat makanan tersebut tumpah sebelum sampai di piringnya. Gadis itu kembali menunduk, tak lagi berniat mengisi piringnya dengan makanan lain. River makin geram dibuatnya, meski pria itu masih tampak terkendali saat kembali memerintah.

"Lagi."

"Aku ... aku tidak terlalu lapar .... "

"Lagi!"

Everleigh tersentak karena bentakan River. Dia mengisi piringnya dengan makanan lain nyaris tanpa berpikir.

"Su ... sudah .... "

Bibir River terkatup rapat. Amarah masih berkobar di bola matanya. Pria itu ikut mengisi piringnya, tanpa peduli apa yang dia letakkan di sana. River mulai makan, yang kemudian diikuti oleh Everleigh. Dia mencoba untuk tidak menjatuhkan pandangan pada gadis itu agar emosinya tidak kembali terpancing.

Isakan lirih menghentikan suapan River. Dia mendongak, lalu mendapati Everleigh yang makan sambil menangis. Daging yang sedang dia telan terasa mengganjal di tenggorokan. Amarahnya kembali tersulut. Gadis ini sungguh sangat suka menguji kesabarannya.

"Untuk apa tangisan itu?" geram River di antara emosinya yang berkobar.

Everleigh masih menolak membalas tatapannya, lebih memilih isi piringnya sebagai objek pengamatan. Gadis itu menggosok matanya yang basah, kesal karena begitu mudah bagi dirinya untuk kembali dikuasai rasa takut. Dia tidak mengira bahwa pria yang selama ini begitu baik kepadanya, dapat berubah menjadi monster tak berperasaan hanya dalam waktu singkat.

"Sialan!" Piring-piring pecah berjatuhan ketika River menarik taplak yang menjadi alas meja makan. Seluruh makanan yang semula berada di meja, kini berhamburan di lantai. Termasuk milik Everleigh.

Gadis itu meringkuk di kursinya lebih dalam. Kini isak tangisnya tidak lagi lirih dan nyaris tanpa suara, tapi berubah menjadi sedu sedan keras yang membuat telinga River berdenging.

"Kenapa kau ... bersikap begini?" Everleigh bertanya tanpa berhenti menangis. Bahunya berguncang karena gadis itu terus sesenggukan.

"Jangan mengkritik sikapku!" River menunjuk Everleigh dengan telunjuknya dari seberang meja. Dia sengaja tidak mendekati gadis itu. River tidak yakin apa yang akan dia lakukan pada Everleigh jika gadis itu berada dalam jangkauan lengannya. Dia terlalu marah hingga rasanya ingin meremukkan sesuatu dengan tangan kosong.

"Sebelumnya ... kau begitu baik ... kepadaku." Tangis Everleigh makin tidak terkendali. Kini, perasaan sakit hati mengambil alih rasa takutnya. Gadis itu menyadari bahwa alasan itulah yang membuat dia tidak ingin bertemu River. Hatinya terlalu sakit bila diingatkan tentang sikap palsu pria itu. Dia mempercayai River. Pria itu adalah orang pertama yang dekat dengannya.

"Apakah aku ... tidak lebih dari ... jaminan utang bagimu? Hanya itu arti diriku ... bagimu?"

River tercenung. Dia tidak mengira bahwa alasan Everleigh menangis saat ini bukan hanya karena takut, tapi karena pria itu memperlakukannya tidak lebih dari sebuah barang jaminan. Ini jebakan. Everleigh sengaja menggunakan air matanya untuk melemahkan River. Karena Everleigh terlalu takut untuk mengakui bahwa gadis itu jijik dengan luka bakar yang dia miliki.

"Hentikan sandiwaramu! Jangan berlagak sakit hati hanya untuk menyembunyikan rasa muakmu pada penampilanku!" sergah River.

Everleigh mengangkat wajah, pada akhirnya berani menatap River yang kini terlihat geram sekaligus ... bingung.

"Kau memang punya bekas luka ... yang sangat mengerikan. Tapi bukan itu ... yang membuatku takut." Everleigh mengumpulkan keberaniannya yang tersisa sambil berkata terbata.

"Pembohong! Kau lari ketakutan saat melihat luka ini!" River menarik kerah kemejanya hingga menampakkan kulit cacat yang terpampang jelas di sana. Dia tersenyum getir ketika Everleigh mengatupkan bibir untuk menahan diri agar tidak berjengit. "Lihat. Reaksimu sangat murni. Kau tidak bisa menyembunyikan rasa jijikmu."

"Ini bukan ... "

"Diam! Aku sudah muak! Kembali ke kamarmu!"

"River ... "

"PERGI!"

Raungan pria itu menggetarkan jendela di sekitar mereka. Everleigh tidak memiliki pilihan. Gadis itu berlari meninggalkan River yang kembali melampiaskan amarah. Melempar setiap barang yang dapat diraih pria itu. Menghancurkan segalanya. Sama seperti saat River menghancurkan kepercayaan Everleigh.

***

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang