24

621 122 13
                                    

Saat River membuka mata, dia tidak mengira gadis itu akan ada di sana. Tidur lelap di sebelahnya tanpa sedikit pun ada tanda ketakutan di wajah Everleigh. Tangan mereka bertaut di atas ranjang. River menyadari bahwa dia yang memegang tangan gadis itu erat, sementara Everleigh hanya pasrah dalam genggamannya. Dia melepaskan pegangannya, begitu cepat seakan tangan gadis itu memiliki aliran listrik yang menyengat. Everleigh bergerak sedikit, hanya untuk meringkuk lebih dalam dan kembali tidur. Senyum tipis menghiasi bibir gadis itu. Entah apa yang sedang Everleigh mimpikan.

River mendorong dirinya duduk dengan perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. Dia tidak mengerti kenapa dia cukup peduli untuk tidak mengganggu tidur gadis itu. Mungkin karena lebih mudah berhadapan dengan Everleigh saat gadis itu tidur daripada ketika terbangun. Rambut pirang pucat Everleigh seperti biasa hanya dijalin di belakang punggung. Gadis itu mengenakan gaun sederhana yang River lihat sehari-hari. Kini, gaun tersebut agak kusut di bagian rok karena posisi tidur Everleigh. Kaki gadis itu mengintip dari bawah rok, tak lagi dibalut kaus kaki. Mungil dan tidak lebih besar dari telapak tangan River. Pria itu mengalihkan pandangan, naik ke wajah Everleigh, tapi berhenti saat tatapannya menyapu bagian dada gaun gadis itu. Garis lehernya sopan, andai Everleigh tidak tidur dengan posisi miring seperti sekarang. Pose tersebut membuat salah satu payudara gadis itu agak tertindih, hingga River dapat melihat bagian atasnya yang menyembul. Dia tidak berniat lagi untuk melanjutkan pengamatannya. Pria itu turun dari tempat tidur dan keluar dari kelambu yang melingkupi, mengambil kemeja yang teronggok di salah satu kursi berlengan.

River berpakaian dalam diam. Pikirannya mengembara ke mana-mana. Sebelum ini, dia tidak pernah bergantung pada siapa pun. Apalagi seorang gadis yang jelas jauh lebih lemah darinya. Namun tadi, dia menggenggam tangan Everleigh seakan gadis itu adalah satu-satunya tali penyelamat di tengah badai. Menyebalkan. Ini sungguh menyebalkan.

River mengedarkan pandangan pada sekeliling kamar yang kini tertutup, tanpa satu celah pun untuk membiarkan cahaya masuk. Dia mengintip keluar jendela. Hujan telah reda. Menyisakan titik air di kaca serta tanah yang lembab. River nyaris tertawa karena ketakutannya yang tidak masuk akal. Ketakutan pada sesuatu yang sama sekali tidak berbahaya. Namun hujan memang mampu merangsang rasa nyerinya hingga ke tulang sumsum. Entah sudah berapa kali dia memohon untuk mati saja ketika sakit yang menderanya tidak lagi tertahankan. Tuhan tidak pernah mengabulkan doanya. Begitu juga pada malam saat api melalap tubuhnya. River tetap hidup, sedang orang tuanya tewas mengenaskan. Meninggalkan dia seorang diri.

Kenangan tersebut menimbulkan rasa berdenyut di dalam dadanya. River memejamkan mata rapat, berusaha menghilangkan memori yang masih memberinya mimpi buruk. Dia berpaling, kemudian menemukan nampan serta cangkir yang sangat dia kenali di atas nakas. Wajah pria itu berubah masam. Duncan masih juga membuatkannya teh terkutuk itu. Dan River juga begitu bodoh karena masih tetap meminumnya. Berharap bahwa suatu saat ramuan Duncan akan memberi khasiat.

River mengangkat cangkir, menatap cairan yang isinya kini telah dingin. Warnanya agak berbeda. Lebih hijau. Lebih kental. Berbau lebih busuk daripada biasanya. Hidung pria itu berkerut bahkan hanya dengan mencium aroma minuman tersebut. Seandainya Duncan bukan orang kepercayaannya, River pasti mengira bahwa pria itu sedang berusaha membunuhnya pelan-pelan dengan mencekokinya teh memuakkan ini.

Membulatkan tekad, River menenggak teh di tangannya, lalu berserapah kasar begitu cairan itu menyentuh lidahnya. Suara keras pria itu membangunkan Everleigh dengan mendadak. Gadis itu duduk dengan bingung, berubah panik saat tidak menemukan River di sisinya.

"River!"

"Aku di sini. Tidak perlu teriak."

Jawaban bernada jengkel tersebut, membuat Everleigh segera menyibak kelambu. Gadis itu menghela napas lega begitu menemukan sosok River yang sedang berdiri di pinggir tempat tidur sambil memegang cangkir teh. Pria itu baik-baik saja. Tidak lagi meringkuk kesakitan. Juga masih memberi Everleigh raut tidak ramah yang sama.

"Kau sudah sehat?" Gadis itu bertanya hati-hati, turun dari tempat tidur dan berjalan mendekati River.

"Sudah." Pria itu membuang muka. Menolak untuk menatap Everleigh langsung.

Tatapan Everleigh jatuh pada isi cangkir River yang masih penuh. "Teh herbal dari Duncan. Dia bilang bisa mengurangi rasa sakitmu. Minumlah."

"Jangan memberi perintah kepadaku," ujar River sengit. Dia harus menunjukkan kekuasaannya di depan Everleigh. Apalagi setelah gadis itu melihat kelemahannya beberapa waktu yang lalu. Dia sungguh benci ketika orang lain menemukannya di saat yang terburuk. Menemukan cacat lain selain yang telah dimiliki oleh tubuhnya.

"Maaf." Everleigh berucap lirih. River melempar lirikan sekilas. Gadis ini jadi lebih penurut. Tidak menunjukkan perlawanan yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Kalau Everleigh melakukan hal itu karena kasihan kepada dirinya, River lebih suka menendang gadis itu keluar. Peduli amat dengan jaminan utang Abram. Dia tidak butuh rasa kasihan dari gadis yang memenuhi mimpinya sejak pertama kali mereka bertemu. Otot rahangnya berkedut. Dia benci mengakuinya. Namun dia telah tertarik pada kecantikan Everleigh sejak pandangan pertama. Dan sayangnya, dia juga tahu bahwa gadis seperti Everleigh hanya akan melihatnya dengan sebelah mata. Gadis itu terlalu cantik dan rapuh untuk disandingkan bersama dirinya karena cacat yang dia miliki. Pemikiran tersebut membuat River marah seketika. Meninggikan nada suaranya.

"Kalau kau sudah tidak ada perlu, tinggalkan aku sendiri," perintah pria itu kasar.

Everleigh bereaksi persis seperti dugaan River. Wajah gadis itu tertunduk. Kebiasaannya bila sedang cemas kembali muncul. Everleigh meremas rok gaunnya erat, menimbulkan kekusutan yang lebih parah pada bahan katun tersebut.

"Aku akan pergi." Everleigh memulai kalimatnya, tapi gadis itu belum selesai. "Tapi aku akan kembali."

Everleigh mengangkat pandangan, menatap wajah berang River dengan berani. Ketakutan yang biasanya tersirat di manik mata gadis itu, kini telah sirna. Digantikan oleh sesuatu yang mirip tekad dan ... tantangan. Dia menantang River untuk mencoba menyingkirkannya. Menjauh dari pria itu.

"Aku tidak memintamu untuk kembali!"

"Aku tidak akan membiarkanmu sendirian saat sedang kesakitan ... "

"Aku tidak butuh belas kasihan!" River membentak marah. Tangan pria itu terkepal erat di kedua sisi tubuh. Tatapannya sarat akan peringatan. "Jangan berani-berani mengasihaniku."

Everleigh tidak gentar. Meski tubuh River jauh lebih besar darinya, tapi amarah pria itu tak akan membuatnya kembali berlari ketakutan. Dia berpegang pada momen ketika mereka bersama. Waktu yang mereka habiskan di perpustakaan. Ciuman lembut pria itu. Genggaman kuat River saat pria itu menganggap Everleigh sebagai satu-satunya tempat berpegang. Dia yakin tidak semua yang ditunjukkan River sebelum ini hanya sandiwara belaka. Di balik ledakan kemarahan yang seringkali menguasai River, Everleigh yakin masih ada kelembutan serta kasih sayang dalam diri pria itu.

Everleigh bergerak maju, begitu cepat hingga River tidak sempat bereaksi. Gadis itu menarik kerah kemeja River, menyentaknya dengan mendadak agar tubuh pria itu menunduk, lalu mencium tepat di bibir. River terpaku. Tidak sempat menarik diri karena terlalu terkejut. Tubuh pria itu kaku saat Everleigh melekatkan bibir mereka. Tidak mengira bahwa ada gadis yang berinisiatif menciumnya lebih dulu. Tanpa paksaan.

Everleigh mengakhiri ciuman singkat tersebut. Wajah gadis itu merah padam. Tangannya yang mencengkeram kemeja River, bergetar pelan. Pria itu pasti marah karena tindakannya yang tiba-tiba. Jadi sebelum River kembali meneriaki atau membentaknya, Everleigh melepas pegangan pada kemeja pria itu. Sambil melangkah mundur, gadis itu kembali bicara dengan penuh penekanan. Berharap kalimatnya akan terdengar cukup meyakinkan.

"Aku akan kembali. Dan kau tidak akan mengusirku pergi."

Setelah berkata demikian, Everleigh berlalu pergi tanpa menoleh ke belakang. Meninggalkan River yang masih mematung di tempat.

***

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang