14

568 101 4
                                    

"Membaca tanpa diriku?"

Konsentrasi Everleigh yang sedang menekuni sebuah buku, terpecah oleh pertanyaan tersebut. Senyum gadis itu seketika merekah ketika River masuk ke dalam perpustakaan dengan langkah ringan. Pria itu mengambil tempat di sisi sofa yang kosong tempat Everleigh tengah duduk, seperti biasa nyaris tidak menyisakan jarak di antara mereka.

"Kau sudah sehat?" tanya gadis itu dengan kecemasan yang tergambar jelas.

"Ya. Apa yang kau lakukan saat aku tidak ada?" River segera mengalihkan topik pembicaraan, lebih suka jika Everleigh tidak membahas kondisinya kemarin. Gadis itu mengenali isyarat tersebut, hingga dia tidak bertanya lebih jauh dan menjawab pertanyaan River.

"Aku membaca ulang buku yang dulu kau pinjamkan. Sekarang aku sudah mengerti sebagian besar isinya." Rasa bangga serta gembira memunculkan binar di mata gadis itu. Hal yang sebelumnya sangat jarang River temui.

"Kau gadis yang rajin. Bila perkembanganmu terus sepesat ini, sebentar lagi kau bisa beralih ke buku yang lebih tebal dengan sedikit gambar di dalamnya." Bibir River melekuk samar, mengundang rona merah muda di pipi Everleigh.

"Semua berkat dirimu. Aku tidak akan pernah cukup berterima kasih. Tapi, terima kasih. Sungguh."

River hanya mengangguk singkat sebelum beralih ke topik lain. Dia tidak pernah merasa nyaman dianggap sebagai  —seperti yang pernah Everleigh katakan— pria baik hati.

"Aku punya beberapa koleksi bacaan ringan yang cocok untukmu. Kita bisa coba beralih ke buku-buku itu setelah kau selesai dengan buku di tanganmu," saran River.

"Bisakah kita melakukannya besok saja?" Everleigh menyuarakan pertanyaannya dengan sikap hati-hati.

"Kenapa?" River menatap Everleigh ganjil. Tidak biasanya gadis itu tampak kurang antusias terhadap idenya.

"Sebenarnya, aku sudah ada di sini sejak pagi dan sekarang punggungku agak pegal karena duduk terlalu lama." Everleigh mengakui dengan malu.

Tak disangka, wajah River berubah geli saat mendengar alasannya. "Aku mengerti. Kita akan melakukan hal lain hari ini. Ada saran?"

"Aku ingin pergi ke rumah kaca. Maukah kau menemaniku?"

Humor yang semula hinggap dalam diri River, menghilang nyaris seketika. Everleigh tidak tahu apa yang salah. Namun melihat reaksi River, pria itu jelas tidak menyukai gagasannya.

"Atau kita lanjut membaca saja." Everleigh menambahkan dengan terburu. "Masih ada beberapa buku ... "

"Kutemani ke rumah kaca. Ayo."

Mendadak, River berdiri. Mengejutkan Everleigh karena gerakannya yang tiba-tiba. Gadis itu tidak sempat berkata-kata lagi dan segera mengekor langkah River yang menjauh.

***

Tidak ada yang aneh di rumah kaca. Setidaknya begitulah menurut Everleigh. Dia sudah pernah ke sini sekali saat bersama Duncan. Bermacam-macam jenis tanaman dan bunga memenuhi hampir seluruh lahan di rumah kaca. Mengingatkan Everleigh akan karpet aneka warna. Azalea, anggrek, lily, Everleigh tidak dapat menyebut semua karena begitu banyak. Namun yang paling menarik perhatian di rumah kaca itu, adalah hamparan mencolok bunga mawar merah. Mawar tersebut mendominasi sebagian besar tanaman di rumah kaca. Primadona di antara bunga lain.

Everleigh terkagum-kagum saat pertama kali melihat taman mini yang sengaja dirancang khusus untuk mawar di sini. Dan saat ini, kekagumannya masih tidak berubah. Gadis itu langsung menuju mawar-mawar tersebut begitu telah masuk, meninggalkan River yang masih diam tidak bergerak di ambang pintu yang terbuka.

Everleigh membungkuk, mendekatkan hidung pada salah satu mawar yang mengeluarkan aroma wangi, lalu menghirupnya dalam-dalam dengan mata terpejam. Senyum gadis itu terbit, diiringi oleh suara halusnya yang mengalun lembut.

"Indah sekali." Gadis itu membuka mata perlahan, takjub sekaligus gembira. Rumah kaca adalah tempat favoritnya di kastil setelah perpustakaan.

"Ya. Indah." Ternyata, River telah berdiri di belakangnya. Jawaban pria itu terdengar datar. Tanpa emosi. Dingin. Sama persis dengan sorot mata River yang terkunci pada hamparan merah darah yang tengah Everleigh kagumi.

Dia ikut membungkuk di sebelah gadis itu, mengulurkan tangan di antara rimbun mawar, kemudian memetik salah satunya. Duri dari bunga tersebut menggores jari River, tapi tampaknya pria itu tidak peduli. Setitik darah muncul di jari River yang tergores. Berwarna sama persis dengan mawar di tangan pria itu.

Tatapan River kosong saat dia mengamati lapis demi lapis kelopak merah tersebut. Everleigh memperhatikan ketika pria itu mengikuti tindakannya, menghirup aroma mawar yang semerbak. Namun reaksi River sama sekali berbeda dengan dirinya. Tak ada kekaguman di mata pria itu, hanya wajah datar yang sama.

"Kau suka mawar, Leigh?" tanya River tanpa benar-benar menatap gadis itu. Pandangannya masih fokus ke arah bunga yang dia pegang.

"Ya. Menurutku semua bunga di sini sangat indah. Tapi mawar adalah favoritku," jawab Everleigh dengan mata masih melekat pada pria yang kini berjongkok di sampingnya. Sesuatu dalam tatapan pria itu mengatakan bahwa ada hal yang salah. River tidak suka mawar. Bahkan Everleigh memiliki dugaan kuat jika River membencinya.

"Mawar adalah bunga yang indah. Tapi kau harus hati-hati dengan durinya." Nada datar pria itu berubah sinis. Ada amarah tersembunyi di dalam suara River. Kebencian yang begitu dalam. Menyesakkan. Menakutkan.

"Dulu ibuku sangat menyukai mawar." River melanjutkan. Everleigh terkejut karena perubahan mendadak pria itu. Baru kali ini River bercerita tentang seseorang yang berkaitan dengan dirinya. "Ayahku membuat taman khusus ini untuk ibu. Atas nama cinta. Cinta ibuku pada mawar dan cinta ayahku pada ibu."

River berhenti. Pria itu memutar-mutar bunga di tangannya dengan santai. Namun tidak ada yang santai dari bahasa tubuh River yang berubah kaku. Juga geraman penuh dendam yang pria itu keluarkan.

"Mereka datang membawa mawar yang ibuku cintai, untuk merenggut segala yang kami miliki."

"Mereka?"

Bunyi tangkai patah menyentak Everleigh. Meski pelan, tapi cukup mengejutkan gadis itu. Kepalan River menutup erat di sekeliling bunga di tangannya. Mawar tersebut hancur dalam genggaman pria itu. Kelopaknya berguguran, jatuh pada permukaan tanah di bawah Everleigh. Ada lebih banyak goresan di telapak tangan River ketika pria itu membuka genggamannya. Kini, warna merah bukan hanya berasal dari kelopak mawar yang gugur, tapi juga luka di tangan River. Dengan kasar, pria itu mencampakkan mawar yang telah hancur.

Everleigh ingin merengkuh pria itu. Ada lebih banyak luka yang tidak River tunjukkan selain luka gores yang baru dia alami. Amarah River cukup membuat Everleigh gentar. Namun dia tahu amarah tersebut bukan tertuju untuk dirinya. Dan, Everleigh harus menyingkirkan rasa takutnya jika ingin memahami pria itu. Mengungkap misteri yang selama ini berada di sekeliling River.

Everleigh mengulurkan tangan, tapi gerakan mendadak River menghentikannya. Pria itu berdiri tegak, masih tanpa melihat ke arah Everleigh. River lebih suka melihat ke kejauhan, seakan mengerti bahwa amarahnya telah menakuti gadis itu.

"Maafkan sikapku. Sepertinya, aku masih kurang sehat. Aku akan kembali ke kamar. Silakan bersenang-senang di sini tanpa diriku."

Setelah berkata demikian, River berderap pergi. Meninggalkan Everleigh dalam kebingungan.

***

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang