26

598 109 4
                                    



"Ini buku yang sangat bagus." Everleigh mengatakannya dengan wajah berbinar. Setelah waktu yang cukup lama, akhirnya dia berhasil menyelesaikan buku pertamanya. Tanpa gambar.

River melirik buku yang dipegang Everleigh. Si cantik dan si buruk rupa. Akhirnya gadis itu benar-benar membacanya.

"Bagus. Kalau kau suka dongeng mustahil semacam itu," ujar River sambil membalik halaman buku di pangkuannya. Buku tebal bersampul kulit yang tidak Everleigh mengerti.

"Cerita di sini tidak mustahil."

River mengangkat alis saat mendengar kalimat Everleigh. "Maksudmu bukan hal tidak mungkin bahwa ada pangeran yang dikutuk menjadi makhluk buruk rupa?" River bertanya sinis.

Everleigh merona begitu menyadari bahwa pria itu sedang mengejeknya. "Yang kumaksud adalah cinta si cantik dan si buruk rupa. Si cantik mencintai si buruk rupa bukan karena penampilannya."

"Lalu apa yang dia lihat dari makhluk buruk itu?" River menutup bukunya keras. Lebih tertarik untuk mendesak Everleigh daripada melanjutkan bacaannya. Gadis ini terlalu naif hingga harus disadarkan.

"Si buruk adalah pria baik hati yang ... "

Kalimat Everleigh terputus oleh suara tawa River. Tawa yang disertai cemoohan. "Dia hanya pria pemarah yang sombong dan egois. Si cantik tidak benar-benar mencintainya dan hanya kasihan sebab dia buruk rupa dan kesepian. Gadis itu beruntung karena ternyata makhluk buruk tersebut adalah pangeran tampan. Kalau wujudnya tidak berubah, aku yakin si cantik tidak akan tahan tinggal bersamanya lebih lama lagi."

"Kau salah. Sikap pria itu begitu buruk hanya karena dia kesepian. Di balik itu, dia punya jiwa yang tulus. Si buruk hanya butuh orang yang tepat untuk mengembalikan semua sifat baiknya. Seseorang yang mencintainya tanpa memandang bagaimana rupa pria itu." Everleigh bersikeras. Dia tidak akan pernah setuju pada pendapat pesimis River.

River menyipitkan mata kesal. Dia tidak menyangka jika Everleigh bisa mengungkapkan pendapat dengan berani. Pria itu berdecak, kembali pada bukunya. "Terserah."

Everleigh tidak puas dengan akhir perdebatan ini. Dengan berani, gadis itu memutari meja, lalu berdiri tepat di sebelah kursi yang River duduki.

"Apa?" tanya pria itu waspada. Everleigh tampak seperti seseorang yang tidak terima kalah dalam perdebatan. Meski dalam kasus ini, River yang lebih memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan mereka. Namun kilat di mata biru Everleigh, menandakan bahwa gadis itu belum selesai bicara.

Everleigh menumpukan kedua tangan pada lengan kursi River. Pria itu mendorong dirinya mundur hingga menyentuh sandaran kursi.

"Kubilang tidak ada lagi kejutan." River memperingatkan dengan ketus.

"Kenapa kau tidak bisa percaya bahwa hal semacam ini benar-benar ada?" Everleigh mengabaikan protes River tentang kedekatan mereka. Raut penuh tantangan mendominasi wajah gadis itu.

"Tentang apa?"

"Cinta sejati."

Senyum yang muncul di bibir River, lebih mirip seringai mengejek. "Kau memulai dengan buku yang salah. Seharusnya aku memberimu buku filsafat daripada dongeng yang menjual impian."

"Kau tidak menjawab pertanyaanku," desak Everleigh.

"Tidak perlu. Karena jawabannya sudah jelas. Cerita yang kau baca memang hanya bertujuan untuk memberimu mimpi yang mustahil. Ilusi untuk orang-orang naif dan putus asa. Seperti dirimu."

River mengatakannya dengan nada mencela yang begitu jelas. Tenggorokan Everleigh dipenuhi oleh rasa mengganjal yang menyakitkan. River mengejeknya. Namun dia bukan lagi gadis yang akan menangis maupun berlari hanya karena cemoohan semacam itu.

"Aku percaya." Everleigh berusaha menjaga suaranya tetap datar, meski cukup sulit dilakukan saat perasaan sendu mulai menguasainya.

"Aku tidak peduli pada apa yang kau percaya," cetus River tajam.

"Aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku percaya."

Mereka berpandangan dalam senyap. Saling mengunci pandangan satu sama lain. Keduanya menolak untuk mengalihkan tatapan mereka. Seakan kalau salah satu dari mereka berpaling, dapat menjadi bukti bahwa pendapat orang tersebut salah. Everleigh yang pertama kali memutus kontak mata mereka. Dengan gerakan anggun, gadis itu mengambil bukunya yang tergeletak di kursi, membawa ke dalam pelukan.

"Kalau kau tidak keberatan, aku ingin meminjam buku lain. Buku dongeng yang menjual impian untuk orang naif seperti diriku," tukas Everleigh dengan punggung tegak dan pandangan lurus ke arah River.

Pria itu hanya balas menatapnya selama beberapa saat, sebelum akhirnya buka suara. "Rak sebelah timur di dekat jendela, baris ketiga dari atas. Kau akan butuh tangga untuk mencapainya, minta bantuan pada Duncan."

Kata-kata River menandakan bahwa pria itu tidak mau membantunya mencari. Tidak seperti sebelumnya. Namun Everleigh tidak akan menyerah semudah itu. Untuk pertama kali, dia cukup berani untuk menantang seseorang. Membela pendapat dan harga dirinya.

"Terima kasih." Gadis itu berujar singkat, lalu meninggalkan ruang kerja River dengan ketenangan yang membuat dirinya sendiri kagum.

River tidak memindahkan perhatiannya dari Everleigh hingga langkah gadis itu tidak lagi terdengar. Setelah yakin bahwa Everleigh benar-benar pergi, dia kembali pada buku di pangkuannya. Meski tidak lagi dapat berkonsentrasi penuh.

***

Malam itu, Everleigh tidur dengan perasaan campur aduk. Kesal, kecewa, dan sakit hati adalah yang paling dominan. Dia naik ke tempat tidurnya dengan wajah bersungut-sungut. Ingin sekali dia melampiaskan emosinya pada sesuatu. Seumur hidup, Everleigh belum pernah merasa sedongkol ini pada seseorang. Dia memang menyukai River, tapi sikap pria itu sering menyakiti hatinya. Andai Everleigh cukup berani, dia pasti masih mencecar River untuk mematahkan pendapat pria itu. Bukan berbalik pergi dan menggerutu seorang diri. Bahkan sikap buruk Abram sekalipun, tidak dapat memancing emosi Everleigh seperti yang River lakukan.

Gemuruh suara petir membuat gadis itu terbangun dari tidur lelap. Everleigh duduk dengan mendadak, menjatuhkan pandangan pada rintik hujan yang memukul jendela. Dia benci musim ini. Namun dia tahu orang lain yang jauh lebih membenci hujan yang mulai turun. River.

Gadis itu turun dari tempat tidur, menyambar jubah kamar untuk melapisi gaun tidurnya yang tipis. Dia membuka laci, mencari persediaan lilin lalu menyalakannya begitu telah menemukan benda tersebut. Jantungnya berdebar keras saat dia melangkah cepat menyusuri lorong yang temaram. Dia tidak tahu sekarang pukul berapa. Melihat kondisi kastil yang sunyi tanpa kegiatan apa pun, Everleigh yakin langit gelap di luar bukan hanya disebabkan oleh awan mendung. Masih dini hari. Atau mungkin baru lewat tengah malam. Dia tidak dapat memastikan. Yang gadis itu inginkan hanya segera mencapai sayap barat ketika bunyi hujan terdengar makin keras.

Napas Everleigh terputus-putus karena dia berlari begitu cepat. Kaki telanjang gadis itu beradu dengan dinginnya lantai. Dia harus memperlambat langkah saat lilin di tangannya mulai meredup, kesal karena harus berjalan lebih pelan agar tidak kehilangan cahaya. Lorong gelap menuju sayap barat hinggap dalam penglihatannya. Suasana suram di bagian tersebut tidak lagi menakuti Everleigh. Pikirannya terlalu fokus pada tujuan lain. Dia menyentak pintu kamar River hingga terbuka, tak lagi peduli untuk mengetuk.

"River!"

***

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang