3

846 111 2
                                    

Everleigh dan Abram mengamati pintu kayu di hadapan mereka. Kukuh serta menjulang tinggi, pintu tersebut bagai gerbang dunia lain. Gerbang yang tidak boleh mereka lewati. Everleigh menelan ludah. Kecemasan merayapinya, tapi dia tidak lagi berani bicara setelah peringatan Abram. Gerbang kastil yang mereka lewati tidak terkunci, meski Everleigh tidak yakin bahwa pintu ini juga sama.

Abram mendorong kayu berat tersebut, cukup terkejut saat mendapati bahwa dia tidak menemukan hambatan sama sekali. Kegelapan yang pekat menyambut mereka. Tanpa cahaya setitik pun. Sama seperti penampakan kastil ini dari luar. Abram melangkah masuk. Keraguan mulai menggelayutinya saat dia tidak menemukan tanda kehidupan sama sekali. Dia harus meraba dalam gelap agar tidak tersandung. Entah oleh apa karena dia tidak dapat melihat apa pun di dalam kastil. Termasuk kakinya sendiri.

"Ada orang di sini?" Suara Abram menggema di dalam ruangan yang lengang. Sunyi. Keheningan hanya dipecahkan oleh semilir angin dari pintu yang terbuka.

Everleigh membawa tubuhnya sedekat mungkin dengan milik Abram, lebih takut pada suasana di sekitarnya daripada kemarahan pria itu. Namun Abram tidak menunjukkan reaksi apa pun meski Everleigh kini berpegang pada lengan mantelnya. Getaran samar mewarnai jemari Everleigh. Kecemasan yang gadis itu rasakan membuatnya harus menelan ludah berkali-kali.

"Kastil ini tak berpenghuni," simpul Abram seketika itu juga.

"Gelap sekali di sini." Everleigh menimpali dengan gelisah. Dia tidak pernah suka gelap. Baik dulu maupun sekarang. Terlebih lagi di tempat asing.

"Kita akan tidur di ruangan ini. Saat fajar, akan ada cukup cahaya yang menerangi bagian dalam kastil. Kita bisa menjelajah ruangan lain dan ... "

Bunyi langkah kaki menghentikan kalimat Abram. Terdengar begitu nyaring di antara senyap yang sejak tadi menyelimuti. Abram menegakkan tubuh, bersikap lebih waspada. Sementara Everleigh tidak henti gemetar di belakangnya.

"Siapa di sana?" Meski berusaha terdengar berani, lengkingan dalam suara Abram menunjukkan sebaliknya. Pria itu sama takutnya dengan Everleigh. Abram mulai berpikir bahwa hantu yang disebut Everleigh benar-benar ada. Namun demi segunung koin emas sekalipun, dia tidak akan pernah mengakuinya.

Abram menggenggam koper di tangannya lebih erat, siap menggunakannya sebagai senjata terhadap sosok yang tidak dapat dia lihat. Langkah kaki tersebut terdengar makin dekat. Berat. Penuh keyakinan. Mengancam dalam kegelapan.

"Siapa?!" Abram berteriak semata-mata untuk menyamarkan getaran dalam suaranya. Tak ada jawaban. Hanya bunyi sol sepatu yang beradu dengan lantai. Cengkeraman Everleigh mengetat. Gadis itu mulai gemetar tak terkendali.

"Abram, kita pergi ... "

"Tunjukkan dirimu!" Abram memotong kalimat Everleigh. Masih berseru pada kegelapan tanpa batas. "Jangan hanya berani sembunyi dalam gelap ... "

"Penyusup."

Abram dan Everleigh sama-sama tersentak. Suara yang mereka dengar adalah milik seorang pria. Bariton rendah bernada dingin serta kasar. Mendadak, kegelapan tidak lagi menjadi teman mereka. Pendar cahaya dari sebuah lilin, muncul di ruangan tersebut. Everleigh baru menyadari bahwa ada tangga lebar tidak jauh dari tempat mereka berada. Di ujung tangga tersebut, berdiri sesosok pria yang agak tersembunyi bayang-bayang. Lilin di tangan pria itu diangkat tidak lebih tinggi dari batas pinggang. Hanya sepasang kaki kokoh dibalut celana hitam dan jubah kamar yang dapat ditangkap oleh mata gadis itu.

Everleigh kesulitan melihat wajah pria tersebut. Namun dia dapat menilai ukuran tubuhnya. Pria tak berwajah itu tinggi, menjulang di anak tangga teratas. Cahaya lilin yang bergoyang membuat bayangan pria itu tampak lebih besar daripada sosok aslinya. Kenyataan bahwa kastil ini berpenghuni, tidak lantas memberi kelegaan pada Everleigh. Pemiliknya jelas tidak senang dengan kedatangan tamu tak diundang seperti dirinya dan Abram.

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang