37

655 109 21
                                    

Everleigh masih mematung di tempat. Mencerna kalimat terakhir Abram. River membelinya sebesar 700 poundsterling. Dirinya tidak lebih dari berharga dari sejumlah uang. Jantungnya bagai ditikam. Kepercayaan yang dia miliki terhadap pria itu, nyaris runtuh seketika. Namun Everleigh segera menyingkirkan segala pikiran buruk yang mendominasinya. Dia tidak boleh menarik kesimpulan terlalu cepat. Apalagi jika dia melihat ekspresi Abram yang tampak terlalu puas. Everleigh yakin River memiliki alasan hingga mengajukan tawaran tersebut. Dia hanya perlu bertanya pada pria itu. Setelah dia berhasil melepaskan diri dari Abram.

"Aku tidak tahu tempat River menyimpan uangnya." Everleigh masih teguh pada pendapatnya. Begitu pula dengan Abram.

"Kita akan mencarinya. Bawa aku ke sayap barat." Abram masih belum menurunkan pistolnya yang membidik Everleigh.

"River tidak suka... "

"Bawa aku ke sana!" bentak Abram. Everleigh berjingkat kaget. Mungkin Abram tidak berniat menembaknya. Namun kemarahan pria itu terlalu tidak terduga hingga Everleigh tidak lagi seyakin sebelumnya.

Gadis itu melangkah dengan pistol yang kini menempel di balik punggung. Memberi ancaman tersirat. Langkah Everleigh terhenti di pintu saat dia melihat Duncan di ujung koridor, sedang berjalan ke arahnya dengan santai. Everleigh berpikir cepat, menggunakan kesempatan tersebut sebagai jalan untuk meminta bantuan.

"Jangan keluar dulu. Aku akan mengecek kalau-kalau ada yang lewat." Everleigh mengagumi nada bicaranya sendiri yang terdengar tenang.

"Cepat." Hanya itu tanggapan Abram, beserta moncong pistol yang ditekan lebih kuat.

Everleigh melongokkan kepala, memberi isyarat pada Duncan dengan kedipan mata. Pada awalnya, pria itu hanya tersenyum karena melihatnya. Lalu senyum Duncan lenyap ketika dia melihat ketakutan di mata Everleigh. Juga tanda dari gadis itu agar sembunyi. Duncan mengikuti petunjuknya, tepat saat Abram mendorong Everleigh keluar ruang santai dengan pistol teracung.

Gadis itu yakin Duncan akan melakukan hal yang tepat dengan memanggil River. Dia hanya takut Abram akan berbuat nekat sebelum River sempat datang. Sekarang, semua tergantung padanya.

***

"Periksa peti itu."

"Isinya hanya pakaian."

"Buka saja!"

Everleigh menurut sebelum Abram kembali kehilangan kesabaran. Mereka telah mengobrak-abrik kamar River, membuka setiap peti yang ada di sana. Tidak ada barang berharga. Hanya barang-barang peninggalan orang tua River.

"Sial!" Abram memaki untuk kesekian kali. Kini mulai terlihat gusar. Mungkin seharusnya dia tidak bertindak gegabah dengan menodongkan pistol pada kakaknya sendiri. Namun amarah telah membuatnya gelap mata. Abram sudah muak. Dia muak berjuang untuk hidup lebih baik sementara Everleigh cukup menggunakan kecantikan untuk mendapat apa yang gadis itu inginkan.

Everleigh membuka peti, mendapati isinya tidak jauh berbeda dengan peti lain yang telah dia buka. Gadis itu mendesah. Berharap Abram akan paham dan berhenti bersikap mengancam. Jika uang yang menjadi masalah, Everleigh yakin mereka bisa membicarakannya baik-baik.

Bunyi air memukul jendela seketika mengalihkan perhatian Everleigh. Wajahnya memucat saat menyadari bahwa hujan sedang turun. Menilai dari derasnya air yang memukul bumi, jatuhnya hujan pasti terjadi sejak tadi. Gadis itu terlalu sibuk membongkar peti hingga tidak menyadarinya.

Pikiran Everleigh segera dipenuhi oleh River. Pria itu pasti kesakitan. Tanpa dirinya. Pantas saja River belum juga muncul.

"River.... "

"Di mana?" Abram menoleh ke arah pintu dengan mendadak. Menyangka akan menemukan sosok River di sana.

"Aku harus menemui River." Everleigh bangkit, tak lagi peduli dengan pistol di tangan Abram.

"Diam di tempatmu!"

"Tidak. River sakit. Aku harus... "

"Kubilang, diam di tempat!"

"Jangan bergerak, Leigh."

Mereka menoleh bersamaan saat perintah tersebut terucap dari seseorang yang mendadak muncul. River masuk ke kamar dengan langkah perlahan, tidak memindahkan pandangan dari pistol yang dipegang Abram. Tidak ada tanda-tanda pria itu kesakitan. Namun Everleigh tahu bahwa River menahan diri. Titik keringat muncul di dahi pria itu, sebagian turun melewati pelipisnya. Tangan River terkepal erat. Dan rahangnya yang mengetat, memberi tanda pada Everleigh bahwa River menelan rasa sakitnya dan harus berjuang untuk menghadapi Abram.

"Tetap di sana." Kini, pistol Abram teracung ke arah River. Yang lebih melegakan bagi River daripada ketika senjata itu mengancam Everleigh.

River berhenti melangkah, menatap Abram lurus-lurus. "Apa yang kau inginkan, Abram?"

"Akhirnya kau tidak lagi menyebutku bocah. Kehilangan nyali di depan senjata, hah?!" Abram menyeringai. Senang karena memiliki kekuasaan atas nasib pria itu.

"Aku memang salah. Sekarang, katakan yang kau inginkan. Akan kuberikan apa pun permintaanmu." River menelan ludah. Dia berkeringat bukan hanya karena menahan nyeri. Akan tetapi karena kenyataan mengerikan yang terpampang di depan mata. Everleigh berada terlalu dekat dengan adiknya yang tidak tampak ragu untuk berbuat nekat. Lengkap dengan senjata di tangan yang membuat River makin mencemaskan keselamatan gadis itu.

"Uang." Abram berkata singkat.

"Aku punya banyak."

"Dan kakakku."

"Tidak," tukas River cepat. Namun Abram tidak terpengaruh dengan keberatan pria itu dan menyeringai makin lebar.

"Uang dan kakakku." Ulang Abram penuh kemenangan. "Berkat kau, aku menyadari nilai dirinya. Leigh akan pergi denganku dan menemukan suami yang lebih kaya darimu."

"Aku tidak mau pergi denganmu." Everleigh berkata keras.

Lirikan membunuh Abram yang tertuju padanya, tidak membuat gadis itu gentar. Begitu juga saat pistol Abram kini beralih kepadanya. Walaupun efek berbeda dirasakan oleh River.

"Leigh akan pergi bersamamu. Tapi kau harus menurunkan senjatamu. Itu syarat dariku."

"Sudah cukup dengan syarat-syarat sialanmu!"

"Aku hanya ingin dia selamat." River mulai menampakkan kemarahannya, meski masih berusaha tetap terkendali. "Kau akan mendapatkan semua uangku, termasuk kakakmu. Aku cuma ingin kau menyingkirkan pistol itu dari wajahnya."

"Jadi kau lebih suka pistol ini mengarah padamu?" Abram mengalihkan targetnya dengan cepat, kini kembali pada River.

Semua terjadi begitu pesat. Everleigh hanya sempat melihat sekelebat bayangan Duncan yang menerjang Abram dari belakang. Kemudian letusan senjata yang memekakkan pecah di antara bunyi hujan. Abram jatuh tersungkur dengan tubuh Duncan yang menindih punggungnya. Aroma bubuk mesiu yang pekat memenuhi udara. Lalu kengerian menguasai Everleigh. Menguras seluruh darah di tubuhnya. Gadis itu menjerit ketika tubuh besar River luruh ke lantai. Bersimbah darah segar sewarna mawar merah yang merekah.

***

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang