23

579 113 14
                                    

Everleigh belum pernah merasa segugup ini selama hidupnya. Nampan di tangannya bergetar pelan, tapi tekad gadis itu sudah bulat. Dia kembali mendengar suara-suara itu. Geraman yang disertai erangan kesakitan. Everleigh tidak akan mengetuk, kedua tangannya sedang sibuk memegang nampan. Meski sebenarnya itu hanya alasan agar dia tidak diusir bahkan sebelum dia masuk.

Pintu kamar River terbuka perlahan saat Everleigh mendorongnya dengan siku. Pria itu ada di sana, meringkuk di atas ranjang, sama seperti hari itu. River berbaring memunggungi Everleigh, gemetar sambil memeluk diri sendiri. Punggung pria itu polos, berbeda jauh dengan bagian depan tubuhnya yang dipenuhi bekas luka.

Everleigh mengambil langkah sepelan mungkin, meletakkan nampan tehnya di atas nakas. Meski takut, dia menghampiri tempat tidur River. Tangannya terulur untuk menyentuh pria itu, tapi erangan River menghentikan gerakannya.

"Panas ... Oh Tuhan ... Sakit sekali ... Kenapa Engkau tidak bunuh saja aku?"

Everleigh berubah panik. Dia langsung duduk di tepi tempat tidur, mendaratkan tangannya pada bahu terbuka pria itu. "River, di mana yang sakit?"

Pria itu berpaling nyaris seketika. Titik keringat memenuhi dahi River, turun ke sisi wajahnya. Rambut pria itu lembab, sementara iris abu-abu yang menatap Everleigh menggambarkan keterkejutan serta amarah samar.

"Apa yang kau lakukan di sini?!" hardik River. Cukup mengagumkan bahwa pria itu masih bisa bersuara keras meski tubuhnya tidak berhenti gemetar menahan nyeri.

Everleigh gentar. Dia harus mereguk ludah berkali-kali sebelum bisa berkata-kata. "Aku ... aku hanya ingin membantu."

"Keluar!"

Gadis itu berjengit mendengar suara menggelegar yang dipenuhi amarah kental. Namun dia sudah mempersiapkan diri. Duncan juga sudah memperingatkannya. Kali ini, dia tidak akan kabur dan menyerah begitu saja.

"Tidak." Everleigh memasang tampang membangkang terbaiknya, menatap River dengan pandangan menantang.

Pria itu menggeram rendah, duduk bertumpu dengan salah satu siku, sebelum nyeri hebat memaksanya untuk kembali berbaring miring. River meraih tangan Everleigh, menggenggam begitu erat ketika rasa sakit itu kembali menderanya. Dia tidak menyadari perbuatannya, begitu juga ringisan di wajah Everleigh karena genggaman kuat pria itu. Namun Everleigh tidak menarik tangannya dari pegangan River. Dia tahu bahwa pria itu membutuhkannya.

Mata River terpejam rapat. Gigi pria itu bergemeretak menahan sakit. River tahu bahwa semua ini tidak nyata. Nyeri yang dia rasakan hanyalah hasil dari sinyal otaknya yang bermasalah. Juga trauma yang dia alami setelah kebakaran saat dia remaja. Dia tidak punya cukup saraf untuk kembali merasa nyeri pada bekas lukanya. Api telah melalap habis semua. Namun dia tidak bisa mengendalikan reaksi tubuhnya setiap kali hujan turun. Karena hujan selalu mengingatkannya pada malam itu. Malam saat para bajingan itu merenggut orang-orang yang dia sayangi.

"Suruh ... berhenti ..., " ucap River di antara napasnya yang berat. Dada pria itu naik turun dengan cepat. Genggamannya pada tangan Everleigh mengerat.

Gadis itu meringis lirih, meski masih tetap membiarkan tangannya diremas begitu kuat. "River, aku tidak mengerti ... "

"Buat hujannya berhenti!"

Everleigh menjatuhkan pandangan pada jendela dengan bingung. Derasnya aliran air di luar jendela, menandakan bahwa masih lama sebelum hujan akan benar-benar reda. Dia tidak bisa menghentikan hujan. Dia bukan Tuhan. Namun Everleigh harus melakukan sesuatu. Dia tidak tega melihat River meringkuk kesakitan setiap kali hujan memukul jendela.

"River, lepaskan tanganku," pinta Everleigh lembut. Pria itu seakan tidak mendengarnya. Masih memegang tangan Everleigh seakan hidup River bergantung padanya.

"Biarkan aku membantumu." Everleigh mendekatkan bibirnya pada telinga pria itu, berbisik halus. River melonggarkan genggamannya, masih dengan kedua mata terpejam rapat.

Everleigh menggunakan kesempatan itu untuk beranjak dari sisi River. Dia bergegas ke arah jendela, menarik tirai hingga tertutup, lalu mengitari seluruh kamar dan melakukan hal yang sama pada tirai lainnya. Hanya ada sedikit cahaya di dalam kamar, dan gadis itu menyalakan lebih banyak lilin agar suasana sekitarnya tidak gelap gulita. Everleigh kembali ke ranjang, melepas kelambu yang terikat di setiap kanopi, membuat suara hujan serta petir menjadi makin samar saat dia terlindung di balik lapisan kain. Dia mengambil sebuah bantal sebagai usaha terakhir, meletakkannya di sisi wajah River untuk menutupi telinga pria itu. Menghalangi pendengaran River dari bunyi deras hujan.

"Hujannya sudah berhenti. Kau baik-baik saja sekarang." Everleigh meraih tangan pria itu yang tadi terlepas, kini balik menggenggam erat.

"Usaha ... yang konyol .... " River melontarkan komentar sinis dari balik bantal yang menutupi wajahnya.

Pria itu masih gemetaran, tapi pegangannya pada tangan Everleigh tidak lagi sekuat sebelumnya. Everleigh tidak dapat melihat ekspresi River, meski dia yakin bahwa usaha konyolnya cukup berhasil setelah tidak lagi mendengar erangan kesakitan pria itu. Napas River mulai teratur. Otot-otot di tubuh pria itu menjadi lebih rileks, lalu pegangannya pada tangan Everleigh mengendur. Selama beberapa saat, tak ada gerakan dari River hingga Everleigh kembali cemas.

"River?" Dia memanggil nama pria itu hati-hati. Tidak ada jawaban yang dia harap akan River berikan.

Everleigh mengangkat bantal yang menutupi pria itu dengan sangat perlahan, mengintip wajah di bawahnya. River ... tertidur. Gadis itu sempat terpana saat melihat wajah damai yang ada di balik bantal. Pria yang dia lihat sama sekali tidak seperti River yang dia kenal selama ini. Tak ada lagi raut penuh amarah serta tatapan tajam. Pria itu tampak tentram dalam tidurnya.

Everleigh mengangkat bantal lebih tinggi, lalu dilihatnya River mengernyit. Dia menutup kembali wajah pria itu dengan cepat. Everleigh menunggu. Andai tindakannya barusan membuat River terbangun. Pria itu masih lelap hingga Everleigh langsung mengembuskan napas lega. Bunyi hujan memang nyaris tidak terdengar di balik kelambu yang menutupi mereka. Tak disangka, usaha gadis itu cukup membuahkan hasil.

Perlahan, Everleigh menarik tangannya yang masih berada dalam pegangan River. Tidak berhasil. Genggaman pria itu masih cukup kuat. Everleigh bisa saja memaksa untuk melepaskan diri, tapi dia takut gerakannya akan membuat River terbangun. Setelah usahanya untuk membuat pria itu tenang, dia tidak akan menyia-nyiakannya hanya karena masalah kecil.

Pada akhirnya, gadis itu berusaha membuat posisinya sendiri menjadi lebih nyaman. Dia ikut merebahkan diri di sebelah River, menatap lurus pada bantal yang menutupi wajah pria itu. Everleigh berbaring diam, hanya ditemani bunyi samar rintik air di luar sana. Tatapan gadis itu bergerak turun, pada dada serta perut River yang diliputi bekas luka bakar. Di tengah cahaya temaram, luka tersebut tidak tampak terlalu menyeramkan. Bahkan, Everleigh tidak pernah menganggapnya menakutkan. Namun River tidak akan pernah percaya. Pria itu akan selalu mencurigai Everleigh. Menganggap gadis seperti dirinya pasti jijik dengan bekas luka tersebut.

Kantuk menghinggapi Everleigh. Kelopak matanya terasa berat dan mulai layu. Kelambu di sekeliling tempat tidur, bagai pelindung yang membatasi mereka. Menciptakan dunia yang hanya mereka miliki. Everleigh tersenyum oleh pemikiran tersebut, sebelum ikut melayang ke alam mimpi.

***

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang