20

606 106 17
                                    

Everleigh terkurung di kamarnya sendiri. Tidak. Lebih tepatnya dia yang mengurung diri di dalam. Gadis itu tenggelam dalam kesedihan serta rasa putus asa yang menderanya. Dia masih belum percaya bahwa Abram tega menukarnya demi sejumlah uang. Everleigh tidak mengira Abram membencinya sebesar itu. Menganggap gadis itu tidak lebih dari sekedar beban yang harus disingkirkan. Namun yang membuatnya terus meratap di dalam kamar adalah karena River.

Everleigh memeluk erat bantal di dalam pelukannya. Air mata gadis itu kembali luruh saat mengingat malam di mana dia mengetahui segalanya. Bekas luka di tubuh River. Sikap pura-pura yang selama ini pria itu tunjukkan. Semua dilakukan demi satu tujuan. Menahan Everleigh agar tidak pergi dari sisi River, karena gadis itu adalah jaminan. Lalu saat kenyataan terungkap di depan Everleigh, River memilih untuk memakai cara kasar agar gadis itu tidak bisa pergi. Ancaman bahwa hanya kematian yang akan membebaskan Everleigh dari belenggu pria itu.

Everleigh terisak. Bukan disebabkan oleh ketakutannya akan ancaman River, tapi karena hati yang hancur. Kepercayaannya dikhianati. Semua sikap baik River hanyalah ilusi yang sengaja pria itu buat. Everleigh tidak tahu alasan River begitu ingin menahannya di dalam kastil. Pria itu sangat yakin bahwa Abram tidak akan kembali dan mengembalikan uang yang dia pinjamkan. River bahkan tidak memberi Everleigh kesempatan sedikit pun untuk berusaha melunasi utang tersebut. Gadis itu tidak mengerti River. Dan, dia tidak lagi peduli setelah perlakuan River kepadanya.

"My Lady." Panggilan yang disertai ketukan di pintu kamar, membuat Everleigh mendongak dari bantal tempatnya menumpahkan tangis.

"Lord Courtlandt ingin Anda bergabung di ruang makan." Suara Duncan terdengar membujuk, tapi Everleigh tidak terpengaruh. Beberapa hari belakangan, makanan gadis itu selalu diantar ke kamar. Everleigh menolak untuk bertemu River atau sekedar berpapasan dengan pria itu. Malam ini, keinginannya masih belum berubah.

"Aku tidak mau!" seru gadis itu.

"My Lady ... "

"Aku tidak mau makan bersamanya, apalagi ada di dalam ruangan yang sama dengannya!"

Terdengar desahan panjang di balik pintu, sebelum Duncan kembali bicara. "My Lady, beri Lord Courtlandt kesempatan. Mungkin dia terdengar kejam, tapi dia tidak seburuk yang Anda duga."

"Dia mengancam untuk melemparku dari lantai dua kalau aku mencoba pergi dari sini! Dia pembohong! Penipu! Pria paling buruk yang pernah ... "

"Baiklah. Saya mengerti." Duncan memotong kalimat Everleigh sebelum ada lebih banyak cercaan untuk majikannya. "Akan saya sampaikan pada My Lord kalau Anda menolak bergabung untuk makan malam. Permisi."

Terdengar bunyi langkah kaki pria itu yang menjauh, hingga akhirnya benar-benar lenyap tanpa suara. Everleigh kembali mengubur wajah di dalam bantal. Dia tidak peduli jika harus kelaparan malam ini. Jauh lebih baik daripada dia harus bertatap muka dengan River. Setelah kejadian malam itu, Everleigh tidak sudi lagi.

***

"Di mana dia?" Pertanyaan bernada tajam River langsung menyambut begitu Duncan melangkahkan kaki ke dalam ruang makan. Pria tua itu mengangguk hormat, lalu menjawab dengan raut muka setenang mungkin.

"Lady Breevort sedang tidak enak badan dan ingin makanannya diantar ke kamar."

"Jangan membuat alasan untuknya!" River menggebrak meja.

Rambut pria itu berantakan, jatuh menutupi sebagian wajah. Tak ada rompi maupun cravat yang melengkapi penampilan River, hanya kemeja dengan tali-temali yang dibiarkan terbuka di bagian dada. Beginilah penampilannya sebelum Everleigh datang kemari. Dia tidak peduli meski para pelayan dapat melihat bekas lukanya karena kemeja yang tidak tertutup sempurna. Mereka sudah terbiasa dan selalu menundukkan pandangan dari pemandangan menjijikkan tersebut. Namun kedatangan Everleigh mengubah segalanya. River berusaha tampil lebih layak di depan gadis itu. Kembali kepada dirinya yang dulu, sebelum kebakaran merenggut segalanya. Orang tuanya. Teman-teman yang dulu memujanya. Fisiknya yang sempurna. Harga diri juga kepercayaan dirinya.

Duncan menegakkan punggung, menyatukan kedua tangan di belakang tubuhnya. Pose itu membuatnya tampak lebih berwibawa di samping posisinya yang hanya seorang pelayan. Dia sering menggunakan sikap tubuh tersebut jika harus menghadapi emosi River yang seringkali meledak seperti sekarang.

"Lady Breevort takut kepada Anda, My Lord. Setelah ancaman Anda kepadanya saat dia berkunjung ke sayap barat."

River maju dengan cepat, menghampiri Duncan yang belum juga berpindah dari tempatnya. Pria itu masih terlihat tenang meski tubuh besar River mendekatinya dengan pose mengancam.

"Kau yang mengirimnya ke sana," geram River penuh amarah. "Kau melakukannya dengan sengaja agar dia tahu betapa buruknya diriku!"

"Saya hanya ingin Anda berhenti bersembunyi di balik penampilan yang menipu."

"Kau benar-benar lancang. Seharusnya aku menendangmu keluar sejak dulu."

Duncan tidak membalas, tahu bahwa emosi yang membuat River berkata demikian. Raut muka pria itu melembut, tidak lagi datar dan tanpa ekspresi. "Kalau Anda meminta baik-baik, saya yakin Lady Breevort akan melunak."

"Aku sudah muak bersandiwara. Kau sendiri yang bilang bahwa aku harus menunjukkan sifat asliku," tukas River dengan sinis.

"Saya memang bilang begitu. Tapi mengancam seorang gadis juga bukan sifat Anda."

"Tutup mulutmu!"

Duncan tak lagi berkata-kata. Memilih untuk patuh daripada memancing emosi River lebih jauh. Saat melihat tak ada lagi bantahan dari pelayannya, River berderap meninggalkan ruang makan. Tidak peduli meski dia belum menyentuh makanannya sama sekali.

"My Lord, makan malam Anda ... "

Duncan menghentikan kalimatnya karena River mulai hilang dari pandangan. Dengan langkah tergesa, dia mengejar pria itu yang terus berjalan menjauh.

"Saya tahu apa yang ada di pikiran Anda, dan saya bisa pastikan bahwa itu bukan ide bagus," ujar Duncan seraya berusaha mensejejari langkah-langkah panjang River.

Pria itu tidak memperlambat langkah, masih fokus pada tempat tujuannya. Tidak ada yang bisa menghalangi River jika pria itu telah memiliki keinginan.

"My Lord ... "

"Diam, Duncan!"

"Sikap Anda tidak akan membuat Lady Breevort makin menyukai Anda."

River berhenti melangkah, balik menatap Duncan yang berada di sebelahnya. Manik baja itu menusuk Duncan dengan tatapannya.

"Aku tidak peduli pada perasaannya kepadaku, tapi aku punya peraturan untuk semua orang yang tinggal di kastilku. Saat aku memberi perintah, maka dia harus mematuhinya!"

Duncan menelan ludah. Bukan karena dia takut akan kemarahan majikannya, tapi dia lebih mengkhawatirkan nasib Everleigh jika gadis itu berada dalam jangkauan tangan River.

"Biar saya yang membujuk Lady Breevort agar keluar dari kamar. Anda tidak perlu menyusulnya." Duncan memberi saran yang dia harap akan disetujui River. Walaupun dia yakin pria itu tidak akan terlalu menghargainya.

"Kau sudah mendapat kesempatanmu." Balasan dingin River membenarkan dugaan Duncan. "Sekarang, aku akan melakukannya dengan caraku sendiri."

Duncan hanya dapat melempar tatapan cemas pada punggung lebar River yang kembali menjauh. Ini tidak bagus.

***

PS : Emg ada scene yg mirip ama cerita aslinya.. Harap maklum karena ini adaptasi y, jgn tuduh aq plagiat🙈

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang