38

746 94 5
                                    


Mungkin ini adalah hukuman untuknya. Karena mencintai hal yang terlalu indah. Karena menginginkan sesuatu yang tidak pantas dia dapatkan. Namun dia tidak akan pernah menyesal. Gadis itu memberi warna pada dunianya yang suram. Cahaya di tengah kegelapan yang menyelimutinya. Sejuk di antara api yang membakarnya.

River membuka mata ketika panas itu kembali menggelora. Kali ini bukan di tempat luka bakarnya berada. Namun menggerogoti bahu kanannya. Dia mengerang. Berusaha menghalau bara yang seakan melekat pada tubuhnya. Mendapati kelembutan menyambut tangannya yang terus menggapai.

"Jangan bergerak dulu. Dokter akan segera datang."

"Leigh... "

"Ya. Aku di sini. Aku... " Suara gadis itu pecah. Diikuti isakan pilu dari bibir yang kini bergetar.

"Kau sering sekali menangis... bila bersamaku... Maaf... "

"River, jangan bicara dulu... "

"Lilin... Nyalakan lilinnya... Di sini... gelap sekali... Gelap... "

"River? River!"

***

"Dia beruntung. Meleset sedikit saja, peluru itu pasti sudah melubangi paru-parunya."

Dokter yang dipanggil Duncan, telah selesai mengobati luka di bahu River. Pria itu telah tidak sadarkan diri sejak tadi karena kehilangan cukup banyak darah. Walaupun butuh usaha ekstra agar River tidak bergerak selama diobati, tapi pria itu kini terbaring pucat dan tidak lagi tampak sekuat sebelumnya.

"Dia kelihatan buruk." Everleigh berujar cemas seraya melarikan jemari di rambut hitam River. Mengamati dada pria itu yang bergerak naik turun dengan teratur.

"Dia baru saja tertembak dan berdarah lumayan banyak. Tapi lukanya tidak fatal. Pelurunya menembus tubuh dan tidak mengenai pembuluh darah vital. Kurasa dia akan pulih dengan cepat, asal mendapat asupan makanan dan istirahat yang cukup. Juga sedikit opium untuk mengatasi nyeri." Dokter tersebut, yang Everleigh ketahui bernama dr. Tallebaut, menambahkan kalimat terakhir sambil tersenyum kaku. "Aku akan datang tiap hari untuk merawat lukanya agar tidak bernanah dan mengurangi resiko infeksi. Pastikan Lord Courtlandt meminum obat yang sudah kuracik. Selamat malam."

Dr. Tallebaut pergi meninggalkan Everleigh yang masih duduk di sisi tempat tidur River. Dia tahu apa yang dr. Tallebaut pikirkan. Bahwa seharusnya gadis seperti dirinya tidak melihat seluruh proses pengobatan River. Meski berstatus tunangan, tapi Everleigh belum resmi menikah dengan pria itu. Tidak seharusnya dia melihat tubuh setengah telanjang River. Dr. Tallebaut tidak tahu sudah sejauh mana hal yang telah Everleigh lakukan bersama River. Dan lebih baik jika pria itu tidak tahu.

River bergerak sedikit di bawah belaian Everleigh, mengernyit sejenak, sebelum kembali diam dan bernapas lambat. Tangan Everleigh terkepal. Air matanya muncul tanpa dapat dicegah. Namun dia tidak ingin larut dalam kesedihan dan hanya bisa menangis di sisi ranjang River. Bara terpetik di kedua bola matanya, menggantikan genangan di kelopaknya. Pertama kali dalam hidup, dia yakin pada hal yang harus dia lakukan.

***

Abram sedang duduk dengan wajah tertunduk serta sepasang lengan menopang kepala. Dia mendongak cepat, mendapati Everleigh masuk ke dalam kamar tempat dia terkurung nyaris seharian. Ditemani sunyi dan rasa bersalah yang menggerogotinya. Di belakang Everleigh, adalah pria yang menjadi penyebab dia dikurung di sini. Duncan berdiri dengan punggung tegak dan tangan di belakang tubuh. Berwajah kaku seperti biasa, tapi menatap tajam ke arah Abram. Namun tidak seperti biasa, Abram mengabaikan tatapan tersebut. Memusatkan perhatiannya pada Everleigh.

"Leigh... "

"Kereta kudamu ada di luar. Kau akan pergi dan tidak pernah kembali lagi."

Kalimat yang diucapkan dengan dingin itu menyentak Abram. Membuatnya membelalak tidak percaya. Apalagi saat dia mendapati bahwa Everleigh yang mengucapkannya.

"Apa dia... mati?" Abram mengemukakan ketakutan yang menghantuinya sejak tadi. Dia tidak pernah bermaksud untuk benar-benar menyakiti siapa pun. Kalau sampai River mati, Abram akan mendapat masalah lebih besar daripada sekedar tuntutan perampokan.

"River hidup." Jawaban Everleigh membuat Abram membuang napas lega. Dia tidak sadar bahwa dia telah menahan napas sejak tadi, wujud kengerian atas konsekuensi perbuatannya.

"Jadi, tidak ada masalah, kan?"

Wajah datar Everleigh berubah. Diliputi amarah yang belum pernah Abram lihat sebelumnya. Namun gadis itu tetap diam di tempat. Tidak mengambil tindakan apa pun untuk melampiaskan kemurkaannya pada Abram.

"Seharusnya aku memanggil pihak berwenang. Dengan begitu, kau akan jera," tukas Everleigh. Abram tertegun. Apakah kebencian yang dia dengar dalam suara gadis itu? Kepada dirinya?

"Kau tidak mungkin serius, Leigh. Aku adikmu... "

"Pergi dari hadapanku."

"Leigh, kau tidak berpikir aku benar-benar akan menembakmu, kan? Kau pasti tahu kalau aku hanya menggertak. Aku melakukannya untuk kita. Agar kau dan aku bisa... "

"PERGI!" Everleigh berteriak. Marah. Sakit hati. Sedikit kasih sayang, kepedulian, semua perasaan berharga yang dia jaga agar tidak jatuh membenci adiknya, kini lenyap tak berbekas. Abram tidak akan berubah. Selama ini, Everleigh bisa menahan diri jika pria itu menyakitinya. Bertahan di antara ejekan serta sikap merendahkan dari Abram. Namun saat adiknya menyakiti pria yang dia cintai, bahkan tanpa rasa bersalah sedikit pun, Everleigh tidak lagi dapat tinggal diam.

Gadis itu mengangkat dagu tinggi, tahu bahwa Abram terkejut atas perubahan sikap serta perlawanannya. Abram tidak tahu jika Everleigh bukan lagi gadis penakut dan mudah gugup yang dulu dia tinggalkan.

"Duncan, antar dia keluar."

Abram tersentak. Tak menyangka kakaknya yang dulu selalu takut kepadanya, kini balik membuangnya. Abram tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Everleigh. Hanya tumpukan utang dan gelar tanpa harta yang melekat kepadanya.

Selama ini, dia menganggap keberadaan Everleigh sebagai beban. Saat kakaknya berbuat persis seperti yang pernah dia lakukan, Abram kini mengerti sakitnya penolakan. Namun dia bukan satu-satunya pihak yang bersalah di sini. Andai Duncan tidak menerjangnya, dia tidak akan kaget dan tidak sengaja menekan pelatuk.

"Semua salahmu." Kini, tatapan Abram berpindah kepada Duncan yang sedang berjalan ke arahnya. Geram. Hanya itu yang dapat menggambarkan emosinya saat ini.

"Anda yang menodongkan senjata kepada majikan saya dan membahayakan nyawanya." Duncan berkata tenang. Tak gentar dengan pelototan Abram.

"Aku tidak pernah bermaksud... "

"Cukup, Abram! Aku ingin kau pergi dari sini sekarang juga!" Everleigh memotong argumen Abram dengan muak. Bibir gadis itu menipis marah. Dia belum pernah merasakan kebencian sebesar ini dalam dirinya. Kebencian yang ditujukan pada adiknya yang tamak dan nyaris membunuh calon suaminya.

Wajah Abram tampak merana. Air mata membuat bola mata Everleigh berkilau. Akan tetapi yang dilihat Abram bukanlah air mata kesedihan, melainkan luapan kemarahan.

"Leigh, maafkan aku."

"Pergi dari hadapanku. Atau aku akan benar-benar-benar memanggil pihak berwajib untuk melaksanakan tugas mereka."

"Aku tidak pernah bermaksud menyakitinya," ucap Abram dengan suara tersekat. Penyesalan mulai menghinggapinya. Walaupun dia tahu semua sudah terlambat. Ego yang selama ini dia banggakan, berbalik memakan korban. Dirinya sendiri.

"Duncan, antar Lord Breevort ke pintu keluar. Dan pastikan dia tidak akan pernah menginjakkan kaki di kastil ini lagi. Selamanya." Suara Everleigh bergetar saat memberi perintah tersebut. Meski demikian, tak ada keraguan dalam setiap kalimatnya. Dia menatap Abram lurus, tanpa jejak ketakutan sedikit pun.

Duncan mengangguk singkat, lalu menggamit lengan Abram saat pria itu tak juga bergerak dari tempatnya. Abram menepis pegangan Duncan dengan kasar, mendelik marah. Namun kalimat terakhir Abram sebelum pergi terdengar tulus, kendati Everleigh tak lagi peduli.

"Maafkan aku dan... selamat tinggal."

***

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang