4

800 104 4
                                    

Pagi itu, Everleigh terbangun dengan tubuh pegal. Meski sangat lelah, dia selalu sulit tidur nyenyak di tempat asing. Berbeda dengan penginapan murah yang biasa dia tinggali sepanjang perjalanan, kamar tempatnya berada sangat nyaman. Luas dengan berbagai perabot mewah di setiap sudutnya. Ranjang berkanopi tempatnya berbaring, empuk dan hangat. Selimut yang membungkus tubuhnya lembut serta halus, memberi perlindungan dari udara dingin selain dari yang diberikan oleh perapian di dalam kamar. Bara di dalam perapian itu masih berpendar lemah, pertanda bahwa api baru padam beberapa saat yang lalu.

Everleigh membawa dirinya turun dari tempat tidur, menjejakkan kaki di lantai yang dingin. Gadis itu selalu bangun saat matahari baru muncul, tidak peduli selarut apa pun dia tidur. Kebiasaan tersebut telah dimilikinya sejak dulu, karena tanggung jawabnya mengurus rumah tangga bersama para pelayan.

Everleigh membasuh wajah dengan air di baskom kecil yang disediakan Duncan semalam. Air tersebut tidak lagi hangat seperti tadi malam, meski Everleigh telah meletakkannya di dekat perapian. Tidak masalah. Air dingin adalah kejutan yang bagus di pagi hari, memberinya kesegaran yang dia butuhkan.

Gadis itu mematut diri di depan cermin besar yang memantulkan seluruh tubuhnya. Rambut pirang ikalnya jatuh sepanjang pinggang, kini kusut dan tidak teratur. Tak ada lagi rona di pipi putihnya, hanya wajah kuyu dengan kantung mata hitam serta mata biru yang menyorot sayu. Everleigh mendesah, berjalan ke arah kopernya untuk mengambil gaun bersih. Dia tidak membongkar barang-barangnya, karena Lord Courtlandt bisa saja menyuruh dia dan Abram pergi pagi ini. Dia tidak bisa berpegang pada janji Duncan yang notabene adalah pelayan dan tidak memiliki kekuasaan.

Everleigh mengganti gaun tidurnya dengan gaun katun sederhana berwarna lembayung muda. Dia hanya membawa gaun yang mudah dipakai tanpa bantuan pelayan. Everleigh tahu bahwa dirinya tidak akan lagi mendapat kemewahan dilayani oleh orang lain, jadi dia mulai beradaptasi. Gadis itu menepuk rok gaunnya, berusaha menghilangkan kerutan yang timbul. Dia mengambil sisir dan mulai mengurai kekusutan yang juga dialami oleh rambutnya. Everleigh tidak memiliki cukup semangat untuk berkutat dengan jepit rambut pagi ini. Jadi, dia hanya menjalin rambutnya dan membiarkannya jatuh di punggung.

Everleigh kembali mengamati pantulan bayangannya di cermin. Helaan napas gadis itu terdengar lagi. Tidak banyak yang bisa Everleigh lakukan agar penampilannya bisa lebih layak saat bertemu tuan rumah. Andai dia bertemu kembali dengan tuan rumah. Meski Everleigh berdoa dalam hati bahwa dia tidak perlu berpapasan dengan Lord Courtlandt saat dia sedang sendiri. Abram pasti masih tidur nyenyak di tempat tidurnya.

Koridor lengang adalah hal pertama yang menyambut Everleigh saat membuka pintu kamar. Dia mengedarkan pandangan pada lorong tempatnya berdiri, tidak menemukan seorang pun kecuali dirinya di sana. Everleigh mulai melangkah, sesekali mengerling ke arah jendela yang berderet. Hutan di luar kastil, tidak lagi tampak terlalu mencekam. Matahari pagi bersinar lembut di atas dedaunan. Bunyi kicau burung melewati jendela yang tidak tertutup rapat. Everleigh menarik napas dalam, menghirup aroma segar udara pagi. Seulas senyum tercetak di bibir merah muda alaminya.

Aroma lain menelusup penciuman Everleigh. Gabungan antara kopi serta roti yang baru matang. Perut Everleigh bergemuruh. Dia belum mendapat makanan layak beberapa hari belakangan. Bayangan yang timbul karena aroma yang dia cium, menggugah selera gadis itu. Everleigh menelusuri tiap ruangan yang dia temui, mencari asal bau yang memancing rasa laparnya. Langkah kaki gadis itu terhenti di ambang pintu ruang makan. Bermacam hidangan telah tersaji di atas meja. Roti dengan berbagai bentuk, setumpuk pancake, telur rebus, serta buah-buahan. Everleigh tidak akan ragu untuk masuk ke ruang makan dan menyantap semua hidangan tersebut, andai tidak ada sosok di ujung meja.

Lord Courtlandt sedang menikmati sarapan, sendirian dan tanpa gangguan. Pria itu tidak menyadari kedatangan Everleigh yang berdiri ragu di ambang pintu, yang kini sedang menatap penuh nafsu pada berbagai jenis makanan di atas meja.

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang