17

549 108 12
                                    

"Anda memanggil saya, My Lord?"

"Ya." River berujar singkat. Pria itu berdiri menghadap jendela besar ruang kerjanya. Pemandangan hutan yang tenang, serta langit yang mendung, memantul pada manik mata abu-abu miliknya. River tidak membalikkan tubuh, maupun menoleh untuk menghadap Duncan. Bunyi pintu yang ditutup dengan debaman pelan, terdengar nyaring di ruangan yang sunyi. Tidak ada yang bicara selama beberapa saat. Duncan menunggu dengan ekspresi datar, meski dia dapat menduga alasan River memanggilnya.

"Apa yang kau rencanakan, Duncan?" tanya River tanpa melepas pandangan dari jendela di hadapannya.

"Saya tidak mengerti maksud Anda, My Lord." Duncan berkata tenang.

River berbalik. Tak ada lagi emosi yang ditutup-tutupi. Raut wajah dingin pria itu, cukup membuat gentar bagi orang yang tidak mengenalnya. Namun Duncan telah mengenal River sejak kecil. Dialah yang mengasuh dan membesarkan pria itu. Amarah dingin River tidak membuatnya takut. Meski, dia menghormati pria itu sebagai majikannya.

"Apa. Yang. Kau. Rencanakan?" ulang River dengan penekanan pada setiap kata. Tatapannya mengintimidasi pria tua yang telah puluhan tahun melayani keluarganya.

"Saya tidak merencanakan apa-apa, My Lord. Saya hanya ingin Anda bersikap jujur."

Akhirnya, Duncan menyuarakan keberatannya yang telah dia rasakan beberapa hari belakangan. River tidak mengubah ekspresi wajahnya, tetap melempar sorot dingin pada Duncan.

"Cara aku bersikap bukan urusanmu."

"Tidak akan ada kebaikan yang datang dari kebohongan."

"Aku tidak meminta pendapatmu."

Duncan tidak menyerah. Masih teguh pada permintaannya. "Saya tahu Anda menyukai Lady Breevort. Tampilkanlah sosok Anda yang sebenarnya. Jika dia tidak bisa menerima, maka dia bukan untuk Anda ... My Lord." Pria itu menambahkan kata terakhir dengan hormat saat dilihatnya River mulai berubah kaku.

"Leigh cukup menyukai diriku yang sekarang."

"Karena Anda menampakkan apa yang ingin dia lihat. Bukan diri ... "

"Apa yang kau ingin aku lakukan?! Menunjukkan pada gadis cantik itu betapa aku tidak pantas bersanding dengannya!" River membentak keras. Amarah yang dia pendam sejak tadi tak terbendung lagi. Duncan berlagak seperti orang tua yang seakan mengerti hal yang terbaik untuknya. Pria itu bukan orang tuanya. Hanya karena Duncan yang merawatnya sedari dulu, tidak memberi pria itu hak istimewa untuk mengatur sikapnya.

"My Lord .... "

"Pergi dari hadapanku!"

River memutar tubuh, kembali pada posisinya semula di dekat jendela. Tetes demi tetes air memukul permukaan bening tersebut dari luar. Raut muka pria itu berubah seketika. Kemarahannya digantikan oleh hal lain. Emosi yang lebih kuat. River menempelkan telapak tangannya pada kaca yang dingin. Lalu suara kerasnya, berubah menjadi bisikan lirih.

"Hujan."

Duncan memahami perubahan pria itu yang tiba-tiba. Dia mengambil langkah mendekati River, mengulurkan tangan pada tubuh pria itu yang mulai gemetar.

"Jangan sentuh aku!" River memerintah kasar. Suaranya bagai desisan di antara giginya yang terkatup.

"Biarkan saya membantu Anda," ucap Duncan sabar. Tangannya kembali terulur, tapi River menepis keras.

"Aku ... tidak butuh ... bantuan!" River mengucapkannya dengan nada terputus-putus. Seluruh otot wajah pria itu menegang. Bulir keringat mulai muncul di pelipisnya, dan napas River mulai berderu. Semakin lama semakin cepat. Pria itu memegangi sisi kiri tubuhnya, meremas lengan sambil menggertakkan gigi.

Duncan tahu tidak akan ada gunanya meski dia memaksa. Jadi, pria itu hanya menatap tanpa kata saat River mulai berjalan ke arah pintu. Langkah kaki River tidak lagi mantap. Berkali-kali, dia terhuyung meski kedua kaki pria itu masih dapat menopang tubuhnya dengan baik. Napas River berdesing ketika dia berusaha melawan reaksi tubuhnya terhadap peristiwa alam yang biasa terjadi.

Bunyi hujan yang turun makin deras, bagai genderang yang memekakkan telinganya. River membencinya. Dia membenci suara hujan. Dia membenci aroma tanah saat hujan mengguyur. Dia mengutuk semuanya. Dia mengutuk setiap tetes air yang turun dari langit dan membasahi bumi tempatnya berpijak.

Duncan memperhatikan dengan pedih ketika River harus berjuang bahkan hanya untuk mencapai pintu. Namun dia hanya dapat melihat. Terlalu mengenal sifat majikannya yang keras kepala.

"Saya akan membawakan teh herbal ke kamar Anda." Kalimat Duncan lebih terdengar seperti pemberitahuan, karena dia tahu bahwa River membenci rasa simpati.

Tidak ada respon yang keluar dari bibir River. Hanya anggukan kepala yang disertai dengan langkahnya yang terus menjauh.

***

"Duncan."

Langkah kaki Duncan yang sedang menuju dapur, terhenti oleh suara lembut yang memanggil namanya. Everleigh segera mendekati pria itu yang kini berdiri di tengah koridor. Raut ceria yang ditunjukkan gadis itu, sangat bertolak belakang dengan majikannya yang baru dia temui beberapa saat lalu.

"Apa kau melihat River? Aku tidak menemukannya di mana-mana." Everleigh langsung melontarkan pertanyaan tersebut begitu telah berada di dekat Duncan.

"My Lord ada di kamarnya," jawab Duncan datar. Tak ada lagi senyum yang biasa menghiasi bibir pria itu. Akibat dari percakapan singkatnya dengan River yang tidak terlalu berjalan baik.

Everleigh tampak kecewa begitu mendengar jawaban Duncan. Dia tahu arti dari informasi tersebut. River tidak bisa ditemui. Pelukannya pada buku yang dia pegang, berubah longgar.

Sebersit rasa simpati menggugah Duncan, hingga dia tidak dapat menahan diri untuk bertanya, "Boleh saya tahu kepentingan Anda, My Lady?"

"Tidak terlalu penting." Everleigh mengatakannya dengan agak terburu. Takut Duncan salah paham akan keperluannya mencari River. "Aku hanya ingin bertanya sesuatu. Ada kata yang tidak kumengerti di buku ini."

Otak Duncan berpikir cepat. River telah memberinya peringatan yang sangat jelas tidak sampai beberapa menit yang lalu. Peringatan untuk tidak ikut campur dan berhenti memberi saran yang menurutnya benar. Pria itu bimbang sejenak. Dia tahu River akan murka. Marah luar biasa. Namun itu semua sepadan. River akan berhenti menyiksa diri dan berpura-pura menjadi sosok yang bukan dirinya. Duncan sudah memutuskan.

"Saya sarankan Anda menyusul Lord Courtlandt di kamarnya," saran Duncan.

Everleigh termangu. Jelas dia tidak mengira bahwa Duncan akan mengusulkan hal tersebut. "Bukankah sayap barat terlarang untuk didatangi? Kau sendiri yang bilang River benci jika privasinya terganggu," tukas Everleigh dengan ragu.

"Itu dulu. Sebelum Anda dan Lord Courtlandt sedekat sekarang. Saya rasa, saat ini dia tidak akan keberatan kalau Anda sesekali berkunjung ke sayap barat." Duncan berkata meyakinkan. Pekerjaannya sebagai pelayan, membuat pria itu terlatih untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya sejak dulu.

"Apa kau yakin?" Everleigh mulai cemas, meski tak dapat dipungkiri bahwa dia cukup penasaran untuk tahu area tempat tinggal River.

"Ya. Mari saya antar ke sana. Ikuti saya."

Duncan mulai berjalan menjauh. Setelah menghalau keraguannya untuk terakhir kali, gadis itu mengikuti langkah kaki yang telah lebih dulu mendahuluinya.

***

Beauty for The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang