10

2.8K 430 39
                                    

Naruto berbaring miring dengan lengan menyangga kepalanya, di hadapannya Hinata sudah terlelap lebih dulu. Jujur saja, ini bukan kali pertama dia mengamati wajah cantik wanita itu saat tidur, selama di Praha, mungkin wanita itu tidak sadar kala dia berbaring miring menghadap arah yang salah dan tidak saling memunggungi.

Tangannya tergerak, ingin menelusuri garis wajah cantik wanita itu. Entah apa yang wanita itu pikirkan soal dirinya selama ini hingga nampak begitu mencintainya dan berakhir tersiksa.

Sebenarnya Naruto sendiri tidak merasa begitu pantas untuk menerima cinta sebesar ini dari istrinya karena sejak awal pernikahan, ini hanyalah sebuah permintaan dari Ayah masing-masing. Bukan karena benar-benar menginginkan satu sama lain.

Mungkin dulu mereka pernah saling mengenal saat masih muda, usianya delapan belas sedangkan Hinata enam belas saat itu. Dia tidak berpikir bahwa Hinata akan terus mengingatnya karena mereka dulu juga cukup jarang bertemu.

Mungkin setahun hanya empat kali. Itu pun tak banyak yang mereka bahas karena tiap kali dirinya ke Jepang, suasananya begitu kalut akibat perkelahian dengan ayahnya yang rutin terjadi tepat sebelum berangkat.

Sekali dia mangkir dari kewajiban datang ke Jepang karena benar-benar muak, itu adalah musim dingin sembilan tahun lalu yang sempat Hinata singgung belum lama ini.

Meski pelariannya kali itu telah jadi musim dingin terbaiknya bersama teman-teman, dia sebetulnya menyesal karena sekembalinya dia dari Berlin, ayah telah memukulinya dengan stick golf yang sampai hari ini masih dia simpan di ruang kerja dan berakhir masuk rumah sakit. Sejak saat itu, hubungannya dengan ayah menjadi semakin buruk.

Perlahan kelopak mata putih wanita itu bergerak dan dia terjaga karena usapan lembut dari jemari suaminya. "Kau belum tidur?"

Naruto menghentikan usapan tangannya di wajah Hinata lalu menatap amethyst wanita itu. "Baru saja terjaga."

Hinata balas menatap mata biru suaminya "ada yang mengganggu pikiranmu?"

"Kenapa kau mau menikah denganku, Hinata?" Karena istrinya bertanya maka dia mengatakan apa yang ingin dirinya ketahui.

Hinata tak menyangka akan dapat pertanyaan seperti itu.

"Jangan jawab karena diminta ayahmu, aku butuh alasan lain." Naruto rasa kalau soal itu dirinya sudah tahu maka dia membutuhkan alasan lainnya.

Hinata pikir ini bukan waktu yang tepat untuk menyatakan cinta jadi dia mencari jawaban lain untuk dilontarkan. "Karena kau pria yang ayah yakini bisa menjagaku maka aku juga percaya."

"Alasan yang sangat klise." Naruto menyahut "lagipula selama di Praha aku tidak benar-benar menjagamu, kita berdua bahkan nyaris mati ditembaki perampok."

"Kurasa itu tidak harus diartikan secara harfiah." Hinata bergumam. "Setidaknya kau tidak menyakitiku."

"Kau yakin aku tidak menyakitimu hm?" Naruto bertanya pada wanita itu, karenna sejauh yang dia ingat Hinata beberapa kali menangis karenanya.

"Semoga tidak lagi." Hinata harap sikap suaminya akan terus begini.

Naruto kembali mengusap pipi wanita itu, entah kenapa dia ingin melakukannya. "Apa yang kau lakukan selama musim dingin sembilan tahun lalu saat aku tidak datang mengunjungimu?"

Hinata tersenyum sedih kalau ingat soal itu. "ayahmu bilang kau sakit, jadi aku berdoa untukmu agar kau bisa lekas sembuh dan datang ke Jepang."

Naruto hanya menarik sudut bibirnya. "Ayah tak sepenuhnya berbohong."

Hinata mengerutkan kening, tak mengerti dengan jawaban pria itu karena yang dia dengar, pria itu pergi selama musim dingin bersama kekasih pertama dan teman-temannya ke Berlin.

PlatonicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang