Naruto menerima sodoran tisu dari istrinya dan mengusap air mata yang menggenang di pelupuk matanya, rasa kalutnya lebih besar dari rasa malu.
Dia baru saja menyelesaikan konsultasi pertamanya dengan seorang Psikiater yang Hinata tunjukan untuknya. "Diagnosanya adalah PTSD." Ujarnya dengan suara baritone nyaris bergetar.
Naruto tahu bahwa akhirnya luka masa lalu itu bisa sampai di titik ini. Post Traumatic Stress Disorder, gangguan mental yang dapat terjadi setelah mengalami kejadian yang traumatis. Meski sudah terjadi bertahun-tahun lalu, semua kejadian itu seperti masih segar dalam ingatannya. "Aku harus mengikuti terapi."
Kini mereka duduk di ruang tunggu yang sepi.
Hinata mengusap punggung pria itu dengan lembut, dia sengaja tak ikut masuk ke dalam ruang konsultasi karena ingin membiarkan pria itu mengatakan segalanya pada Psikiater dan tak ingin pria itu merasa sungkan jika ada orang lain di dalam.
"Aku lelah." Naruto kini menyandarkan kepalanya ke tembok di belakang kursi yang dia duduki sambil memejamkan mata.
"Tak apa, ini akan berlalu." Hinata tidak akan membuat pria itu mengelak dari rasa sakitnya lagi karena itu memang tidak untuk dihindari namun untuk dilalui.
Naruto meraih tangan istrinya dan meletakannya di atas dada. Dia ingin Hinata mengerti seberapa sulitnya ini untuk dilalui seorang diri. "Jangan tinggalkan aku lagi, kumohon."
"Tentu." Hinata mengangguk dan menatap wajah suaminya yang memang nampak semakin lesu setelah dua jam penuh pria itu berkonsultasi di dalam sana bersama Psikiater. "Untuk saat ini, fokuslah pada terapimu, aku akan selalu ada di sini."
Naruto menggeleng "untuk terapi berikutnya, aku ingin kau ada di sampingku."
Hinata lalu mengangguk "baiklah." Dia lalu mengusap lembut dada suaminya dan bangkit dari kursi tunggu itu sambil menggenggam tangan suaminya. "kita harus menebus obat."
Naruto lalu bangkit berdiri dengan tarikan tangan wanita itu menuntunnya. Dirinya beruntung, di tengah perasaan sesal yang nyaris membuatnya gila, wanita itu sudi menoleh kembali dan menemani sekaligus menuntunnya untuk sembuh.
...
"Sampai bertemu besok." Hinata melepaskan genggaman tangan Naruto di tangannya begitu mereka sudah dekat dengan gedung Daycare.
Naruto dengan berat hati melepaskan genggaman tangan wanita itu, salju tipis mulai turun lagi, musim dingin memasuki puncaknya jadi hujan salju turun nyaris setiap hari.
Saat istrinya melangkah pergi, dia masih terhenti dan berdiam di ujung jalan. Awan mendung, jalanan sepi, dan udara dingin menusuk tulang menjadi latar suasana.
Bibir kecokelatannya tersenyum sendu saat melihat Hinata setengah berlari menghampiri Boruto yang sepertinya memang telah menunggu dijemput di depan gedung Daycare.
Sepasang bola mata biru Naruto tak bisa lepas dari anak dan istrinya. Keduanya berjalan bersisian dengan tangan saling menggenggam dan mereka melangkah ringan bersama, meninggalkannya seorang diri jauh di belakang.
Kalau bisa dia memutar waktu, dirinya ingin kembali ke masa-masa di mana saat dulu dirinya dan Hinata habiskan berdua di Praha. Dia ingin memberikan memori yang indah untuk wanita itu kenang dan bukan malah menyakitinya setiap saat.
Di saat wanita itu dulu selalu menatapnya dengan tatapan penuh cinta dan tangan terbuka untuk menyambutnya pulang, dia ingin membalas itu.
Namun pada akhirnya semua telah terlambat, lima tahun terbuang sia-sia, saat di mana harusnya dia memeluk wanita itu dalam keadaan hamilnya, menemani wanita itu melahirkan bayi mereka, dan mengurus bayi itu bersama-sama seperti semua orang tua di luar sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic
FanfictionHidup mereka seperti sebuah diorama, mainan milik Tuhan. Berada dalam sebuah hubungan yang kaku dan membingungkan, tapi Tuhan sepertinya senang kalau melihat mereka bersama.