20

2.3K 410 32
                                    

"Duduklah, Hinata. Tidak baik bagi Ibu hamil jika terlalu kelelahan." Wanita itu menegur dengan nada bicara yang lembut.

Hinata baru menyadari bahwa sejak tadi dirinya terus berdiri gelisah sambil menatap ke luar jendela ruangan washitsu di mansion. "Aku khawatir."

Kurenai tersenyum tipis lalu menepuk bantal duduk di atas tatami tepat di sampingnya. "duduklah dulu."

Hinata kemudian beranjak dari depan jendela dan duduk di samping Kurenai, wanita itu adalah istri dari ajudan setia ayahnya yang bernama Asuma.

Asuma telah bekerja pada keluarga Hyuuga sejak Hinata masih sangat muda. Ayahnya bilang, paman Asuma bekerja padanya sejak berusia delapan belas tahun sehingga sudah dianggap seperti bagian dari keluarga Hyuuga.

Usia Hinata enam tahun saat ibunya meninggal dunia dan pada saat itu, Kurenai sering dibawa kemari oleh suaminya untuk menemani anak tuannya yang baru saja kehilangan Ibu, sehingga mereka kini memiliki hubungan yang begitu dekat, layaknya Ibu dan anak sungguhan.

Kurenai mengusap punggung Hinata dengan lembut "tidak perlu khawatir, ayahmu pergi ke sana untuk membantu Naruto membereskan masalahnya."

"Bagaimana kalau semua justru semakin rumit?" Hinata takut, ayahnya salah mengartikan ucapannya tempo hari dan menyalahkan Naruto atas kegagalan hubungan pernikahan mereka di Praha.

"Ayahmu tahu betul apa yang harus dia lakukan, percayalah padanya." Kurenai mencoba menepis gundah dalam hati Hinata.

Hinata menarik napas dalam setelah itu, tentu dia sangat percaya pada ayahnya. Apapun yang ayahnya lakukan pasti untuk kebaikannya karena hanya ayahnya yang paham betul kondisinya saat ini.

"Pikirkan bayimu, jangan terlalu stress, kasihan dia." Kurenai mengusap punggung tangan Hinata.

Hinata terenyuh saat seseorang memperhatikan bayinya, karena saat dia di Praha bahkan dia kadang lupa bahwa dirinya sedang mengandung, tentu saja karena tak ada satupun yang peduli. "Terima kasih, Bi."

Kurenai meletakan alat rajutnya di atas meja lesehan di hadapannya lalu menatap Hinata dengan serius. "Suamimu itu, apa dia sudah keterlaluan selama di Praha?" Dia bisa bertanya begini karena Hinata sudah dia anggap seperti putri sulungnya.

Hinata menggeleng "dia tidak keterlaluan. Seperti yang selalu aku ceritakan pada Bibi, dia masih sama sempurnanya seperti sepuluh tahun lalu." Dia tak akan mengelak dari kenyataan, betapa dulu dia sangat jatuh cinta pada pria itu, pada setiap kelebihan dan kekurangannya meski sekarang semua sudah jadi kacau berantakan, rasa yang dulu biarlah tetap seperti itu.

Kurenai mengusap helaian indigo Hinata dengan lembut "Hinata, jika kau sakit karenanya kau tidak perlu terus bertahan."

Hinata terpekur sejenak saat mendengar ucapan Bibi Kurenai.

"Bukan hanya dia yang layak dicintai, tapi kau juga." Sejak awal Kurenai sudah tahu bahwa perjodohan dan pernikahan itu semua adalah sepihak. Hinata berusaha terlalu keras untuk suaminya sedangkan pria itu sepertinya tak menaruh hati.

"Awalnya kupikir semua akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu." Hinata menatap Bibi Kurenai dengan tatapan sendu. Sejak dulu, Bibi Kurenai yang selalu mendengarnya, pengganti sosok Ibu yang telah lama tak dia miliki.

Bicara dengan ayahnya tentu rasanya berbeda dengan bicara dengan Bibi Kurenai yang mana mereka sama-sama seorang wanita, lebih paham dan lebih terbuka soal perasaan. "Sekarang aku tahu, aku salah."

"Seperti yang dulu Bibi pernah katakan, jika tak mendapatkan balasan sama tulusnya, pahamilah kapan harus berhenti." Sebelum pernikahan itu terjadi, Kurenai sudah pernah mengatakan pada Hinata untuk tak memaksakan dirinya terlalu keras.

PlatonicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang