27

2.7K 413 28
                                    

"Aku harus pulang, Bolt akan segera kembali dari perkemahan dan aku harus tiba di rumah sebelum dia." Hinata berujar lembut sambil menoleh.

Naruto sebetulnya masih enggan melepaskan genggaman tangannya pada wanita itu dan dia masih membutuhkan istrinya di sini untuk menemaninya namun dia tidak bisa egois dan membiarkan putranya kembali tanpa sambutan ibunya di rumah. "Baiklah."

Hinata mengusap punggung tangan suaminya di atas pangkuannya. Kini mereka duduk bersisian di tepi ranjang, dengan pria itu meletakan kepala di bahunya.

Separuh malam ini mungkin telah dihabiskan dengan keheningan namun Hinata merasa dirinya harus tetap ada di sana menemani suaminya yang sangat kalut semalam. "Beristirahatlah hari ini."

Naruto kini mengangkat kepalanya dari bahu wanita itu. "Terima kasih sudah menemaniku semalam."

Hinata kini duduk menyamping dan menatap suaminya dengan serius. Sebelum dia pergi, dia ingin meminta satu hal pada pria itu. "jika memang benar rasa sakit dan mimpi buruk itu terjadi akibat masa lalu, bukankah kita harus menyembuhkannya?"

"Maksudmu pergi ke Dokter?" Naruto tidak pernah melakukannya sebab dia selalu mengubur luka itu dalam-dalam dan selama ini dirinya selalu terlihat baik-baik saja di luar, namun begitu Hinata hamil dan Bolt lahir ke dunia, isi kepalanya terus berkecamuk.

Di satu sisi dia harus bertanggung jawab, namun di sisi lain dia menolak, lalu di sisi lainnya dia tak bisa kehilangan istrinya.

"Psikiater mungkin." Hinata berujar lembut sekali, dia tidak ingin membuat suaminya justru semakin kalut dan sungkan.

"Aku tidak berpikir bahwa itu akan membantu." Naruto bahkan lupa kapan terakhir kali dirinya merasakan ketenangan, sebab setiap harinya selalu terselip rasa takut dan bersalah dalam dirinya. Jadi dia pikir, dirinya telah terlahir dengan membawa luka ini.

"Tidak ada manusia yang terlahir dengan luka di hatinya, begitu pula denganmu." Hinata ingin merubah pola pikir pria itu, seperti dirinya yang selalu berpikir bahwa semua luka bisa sembuh.

Naruto tidak tahu apa dirinya akan sanggup membuka semua luka lamanya di hadapan orang lain, bahkan pada istrinya sendiri dia tak mengatakan segala hal yang terjadi, melainkan hanya secara garis besarnya saja.  "Aku tidak sanggup." Ujarnya putus asa.

Hinata kini menatap lurus ke depan, tepatnya  ke arah jendela kaca di hadapan mereka "kau tidak perlu melakukan itu untuk orang lain, entah itu untuk orang tuamu, untuk aku, atau untuk Bolt, tapi sembuhlah untuk dirimu sendiri." Dia rasa beban yang dipikul suaminya selama ini begitu berat.

Dari perbincangan yang mereka lalui semalam, Hinata menangkap satu hal, bahwa pria itu merasa tertekan selama ini dan mencoba menyembuhkan diri sendiri tanpa bantuan orang lain.

Trauma yang di derita suaminya mungkin adalah sebuah kesinambungan akibat luka yang diberikan orangtuanya di masa lampau hingga membentuk perasaan takut untuk memiliki seorang anak. Sedangkan pria itu, mau tidak mau harus menerima sebab Bolt sudah terlanjur ada di kandungan.

Sekarang Hinata mencoba memahami suaminya, memahani segala penolakan yang dia terima lima tahun lalu. Pria itu sebenarnya bukan menolak, tapi dia ketakutan.

"Hidupku sendiri sudah tidak ada artinya." Naruto kini membuka dirinya di depan Hinata. Apa yang orang lihat di luar sebenarnya tak seelok kenyataan di dalamnya. Hanya saja, selama ini dirinya terlalu pandai bersandiwara dan mengelabui rasa sakitnya.

Hinata menggeleng "you're matter." Baginya, eksistensi pria itu benar-benar penting dalam hidupnya dan juga putranya.

Naruto kini menatap istrinya dengan tatapan yang sama putus asanya seperti semalam, dia meraih wajah wanita itu dan menangkupnya "bahkan wanita sebaik dirimu lelah denganku." Dia ingat bagaiamana wanita itu meninggalkannya beberapa waktu lalu.

PlatonicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang