21

2K 378 6
                                    

"Lepas!" Toneri berontak kasar kala lengannya dicekal dengan kasar oleh dua orang Polisi yang tiba-tiba datang menangkapnya di hotel tempat dia bersembunyi beberapa waktu terakhir. "Aku bisa jelaskan soal tuduhan itu."

"Kau bisa memberikan penjelaskan di kantor, bersama Pengacaramu." Polisi itu terus menyeret tersangka kasus pembakaran perkebunan dan pembunuhan berencana dari Ceko itu menuju ke mobil polisi yang sudah menunggu di lantai dasar.

Ini kasus internasional, tentu pihak Jepang harus tegas mengambil langkah, tak akan biarkan nama negara mereka tercoreng akibat perilaku salah satu warganya yang berbuat onar di negara lain.

"Siapa yang memerintahkan kalian!?" Toneri berujar murka sambil menghentak lengannya.

"Kami telah menerima laporan dan limpahan kasus dari Ceko." Polisi tak akan menjelaskan lebih lanjut di sini tentu saja.

"Keparat!" Toner menggeram marah. Bagaimana bisa mereka tahu persembunyiannya di Jepang. Hukuman atas delapan orang tewas itu pasti akan memakan waktu sangat lama di penjara atau bahkan seumur hidup.

"Tutup mulutmu dan segeralah ikut kami ke kantor, Pamanmu sudah menunggu di sana sejak sore tadi." Ujar anggota kepolisian itu sambil memasangkan borgol di lengan tersangka karena pria itu terus mengelak.

Toneri rasanya ingin mengumpat, Hamura kenapa bisa begitu bodoh, mereka harusnya berpencar ke negara berbeda agar sulit dilacak, bagaimana bisa dia ada di Jepang?

Tamat sudah riwayatnya sekarang. Tak dia sangka kalau pekerjaan itu akan berujung neraka baginya.

...

Hinata mengerang kesakitan di atas ranjangnya. Entahlah, dia merasa sejak sore tadi perutnya  kram. Dokter pernah bilang bahwa kram perut saat usia kehamilan yang masih begitu muda adalah hal yang lumayan wajar terjadi tapi sampai tengah malam ini kondisinya belum membaik juga.

Wanita itu beranjak bangkit dari ranjang, sepertinya dia harus pergi ke rumah sakit dan memastikan bayinya baik-baik saja.

Pelayan yang kebetulan tengah melintas di lantai dua mansion untuk memeriksa seluruh jendela tertutup, terkejut saat mendapati putri tuannya berjalan terhuyung di lorong sambil memegangi perutnya.

"Hinata-sama, baik-baik saja?" Pelayan merangkul pundak wanita muda itu sambil menahan tubuhnya agar tak terhuyung.

Saat Hinata mencoba berjalan keluar kamar, kepalanya terasa sangat pening sekaligus penglihatannya mengabur, mungkin sebab darah rendahnya kambuh lagi lalu perutnya terasa semakin kram sejak dia bangkit dari ranjang dan bahkan dia sekarang kesulitan untuk menjawab ucapan Pelayan. "A-apa Tou-sama ada di rumah?"

"Hiashi-sama, pergi ditemani Tuan Asuma ke kantor polisi karena ada urusan." Jelas Pelayan secara terburu-buru karena dirinya panik.

Sebenarnya Hinata merasa sungkan kalau harus membuat orang lain kerepotan, terutama ayahnya. Baru dua hari yang lalu, ayahnya kembali dari Praha untuk menemui Naruto dan sejak kembali, ayahnya nampak sangat sibuk karena ikut mengurus soal kebun anggur di sana sekaligus membantu menyelesaikan persoalan hukum untuk menjerat Toneri dan Hamura yang katanya lari ke Jepang.

Mungkin sudah saatnya Hinata tidak merepotkan orang lain lagi, tapi yang dia alami malam ini malah membuat kekacauan lain.

Pelayan dengan sigap membawa kembali putri tuannya ke kamar dan mendudukannya di atas ranjang. "Hinata-sama, tunggulah sebentar aku akan meminta supir bersiap ke rumah sakit."

Hinata lalu berpegangan pada tepi ranjang dan bersandar karena dia rasa kesadarannya perlahan menipis sebab rasa pening yang mendera kepalanya.

Samar-samar dia melihat Pelayan berlari melesat pergi keluar dari kamarnya dan hanya itu yang bisa dia ingat sampai kesadarannya benar-benar menghilang serta tubuhnya kembali terkulai di atas ranjang.

PlatonicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang