22

2.3K 414 37
                                    

Naruto melangkah masuk ke dalam ruang rawat besar itu dan mendapati istrinya berbaring di atas ranjang pasien, wajahnya nampak pucat, tapi dia tetap cantik seperti biasanya.

"Hinata." Dia duduk di kursi tepat di samping ranjang wanita itu dan meraih tangan kanannya yang terkulai di atas perut. Untuk beberapa saat hanya keheningan menemani mereka berdua di ruang rawat besar nan sepi itu.

Naruto merindukan istrinya, rindu wanita itu ada di rumah mereka di Praha. Ya, dia akan sebut rumah itu sebagai milik mereka sekarang karena sejak wanita itu ada di sana, tempat itu terasa benar-benar seperti rumah baginya.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, ada orang lain yang menunggunya pulang ke rumah dengan senyum tipis yang tak pernah luntur di bibirnya. Jauh dalam lubuk hatinya dia merasa senang kalau ada orang lain yang  bisa jadi tempat dia pulang namun rasa terkejutnya akan segala hal baru tersebut jauh lebih besar daripada jatuh cintanya.

Hinata tersentak saat perlahan dia mendapati kesadarannya, seseorang tengah mengusap punggung tangannya dan seperti sebuah mimpi yang lagi-lagi menghantui Hinata, seseorang itu adalah suaminya. "Naruto."

"Ya, aku di sini." Naruto menangkup tangan wanita itu dan menatap wajahnya lekat-lekat.

Hinata memalingkan wajahnya dan menarik tangan kanannya, enggan di genggam oleh pria itu, dia meraba perutnya dengan lembut merasakan kram perutnya mulai membaik.

Mendapati reaksi penolakan semacam itu, membuat Naruto kecewa. "Kau pergi begitu saja dari Praha, apa sebab anak itu atau soal kebun anggur?"

"Berhentilah menyebutnya dengan sebutan anak itu." Mungkin dirinya sensitif tapi sebutan anak itu terdengar asing baginya seolah bayi ini bukan bagian dari mereka.

"Aku minta maaf soal perbincangan terakhir kita di rumah, aku tidak bermaksud menyudutkanmu saat itu aku hanya marah." Naruto ingin meminta maaf pertama-tama soal kebun anggur itu.

Hinata tidak mengatakan apa-apa karena menurutnya permintaan maaf adalah hal yang tidak perlu. Kebun anggur itu memang terbakar sebab kelalaiannya.

"Sekarang masalahnya akan selesai, pelakunya sudah ditangkap." Naruto memberitahu istrinya agar dia tidak terus merasa bersalah.

"Syukurlah." Hinata bergumam kali ini, dia bersyukur kalau akhirnya Toneri berhasil ditemukan. Meski mereka adalah teman lama, dia berharap Toneri bisa menebus kesalahannya dan bertanggung jawab atas apa yang sudah dia lakukan.

Naruto meraih lagi tangan wanita itu untuk di genggam, dia rasa wanita itu tadi hanya terkejut sehingga menepis tangannya. "Ayo, kita pulang ke Praha."

Hinata kini menoleh ke arah suaminya karena dirinya terkejut mendengar ajakan itu. "Naru, apa yang kau maksud adalah hanya aku dan anakku sedangkan kau pergi ke Berlin?"

Naruto merasa sedih saat Hinata menyebut anak itu sebagai anaknya seolah hanya wanita itu yang memilikinya, tapi itu bukan masalah sebab dia paham apa yang wanita itu rasakan setelah berbagai penolakan dia terima. "Bukankah kita sudah sepakat?"

"Kau belum berubah." Hinata kini menatap mata biru suaminya dengan perasaan sedih yang berkecamuk. "Kau masih tidak menginginkan anakku."

"Hinata." Naruto kini menangkup tangan istrinya. "Aku minta maaf."

"Apa sebabnya?" Bisik Hinata dengan suara parau, dia ingin tahu kenapa pria itu bisa sebegini kerasnya.

"Aku ketakutan, Hinata." Naruto memejamkan mata, mungkin dia harus bicara pada Hinata meski hanya sekali soal alasannya. Meski berat untuk terbuka pada orang lain, dia ingin Hinata mengerti.

PlatonicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang