Suara bantingan barang pecah belah itu masih terdengar begitu nyata di telinganya, pukulan-pukulan yang dulu dia terima juga masih terukir jelas dalam memorinya. Lima tahun, sepuluh tahun, atau bahkan dua puluh tahun dia tidak akan melupakannya.
Jika seorang anak bisa memilih untuk tidak dilahirkan, dia pasti akan memilih itu daripada hidup tapi harus menjalani hal yang tidak dia inginkan.
Tubuhnya yang kecil berdiri di sudut ruangan yang adalah ruang kerja milik ayahnya, lalu dengan jelas dia ingat saat ayahnya berjalan ke arahnya membawa stick golf di tangan dan memukulnya lagi.
Dan pukulan keras di kakinya itu telah menyentaknya untuk terbangun dari mimpi buruk itu.
Kelopak mata tannya terbuka cepat, dia lalu mengusap buliran keringat dingin yang membasahi keningnya. Ah, lagi-lagi mimpi itu. Meski belasan tahun berlalu, rasanya seperti baru kemarin terjadi.
Naruto lalu bangkit dari ranjang, menyingkap selimut yang dia gunakan bersama istrinya. Dia lihat wanita itu masih tertidur di sampingnya, tentu saja karena ini jam dua pagi.
Pria itu melangkah ke kamar mandi yang ada di sudut kamar mewahnya, hendak membasuh wajah untuk mengenyahkan mimpi buruknya dan bayangan ketakutan yang masih menghantuinya hingga kini.
Mungkin dirinya egois, mungkin dirinya juga adalah pria brengsek yang tidak bertanggung jawab karena berencana menyeret istrinya ke Dokter dan meminta pil untuk mencegah kehamilannya tapi satu yang mungkin semua orang tidak mengerti, dia sebetulnya hanya ketakutan.
Di detik dia membasuh wajahnya dengan air dingin yang mengalir di washtafel, dia mendapati sebuah ketenangan. Seperti yang dulu selalu dia lakukan, terduduk di kamar mandi, merenungi apa yang salah dia lakukan hingga membuat ayahnya begitu marah karena dia tak menemukan satupun kesalahan yang dia lakukan.
Seperti malam ini, dia hanya perlu meyakini diri bahwa keberadaannya di sini bukan suatu kesalahan, bukan juga sebuah kesialan bagi ayah dan ibunya.
Setelah dia mengusap wajahnya dengan handuk, Naruto kembali ke ranjang dan berbaring di sana, memeluk tubuh istrinya yang masih terlelap. Entah sejak kapan tapi Hinata telah menjadi obat dari rasa takut dan resahnya saat malam tiba dan mimpi buruk itu menghantuinya lagi.
Hinata terjaga saat merasakan pelukan erat di pinggulnya dan beban berat yang menumpu di atas tubuhnya, itu suaminya tengah memeluknya lagi. Dia mengusap punggung pria itu dan berbisik "mimpi buruk lagi hm?"
Sebetulnya, Hinata tahu bahwa suaminya terkadang mengalami mimpi buruk bahkan sejak mereka baru menikah dulu. Pernah dia terjaga sepanjang malam untuk merajut dan tiba-tiba saja pria itu nampak resah dalam tidurnya kemudian terbangun dengan sentakan yang mengejutkan bersamaan dengan tubuhnya yang penuh dengan peluh.
Pria itu tak pernah mengatakan apa sebabnya, dia hanya bilang itu mimpi buruk. Namun belakangan ini, intensitas mimpi buruknya jadi semakin sering terjadi.
"Ya." Naruto berujar dengan suara berat, kemudian menenggelamkan wajahnya di atas dada wanita itu.
Hinata hanya memeluk pria itu dan mengusap punggungnya. Meski belakangan ini hubungan mereka kembali meregang akibat perbedaan pendapat soal memiliki anak, tapi Naruto tak mengabaikan istrinya, begitu pula Hinata yang tak begitu menunjukan kesedihannya di depan pria itu karena dia yakin suaminya akan menerima nanti.
"Kau jangan pernah meninggalkan aku, Hinata." Untuk pertama kalinya, dia membiarkan dirinya terdengar begitu putus asa di hadapan istrinya. Sejujurnya dia benci berada di rumah ini sendirian, seperti saat dulu semasa kecil dia habiskan di sini berdua dengan Pelayan, menunggu ayahnya pulang bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic
FanfictionHidup mereka seperti sebuah diorama, mainan milik Tuhan. Berada dalam sebuah hubungan yang kaku dan membingungkan, tapi Tuhan sepertinya senang kalau melihat mereka bersama.