Boruto berlari masuk ke dalam rumah besar dengan pintu kaca tersebut begitu ayahnya memutar kunci pintu dan membukanya.
"Bolt perhatikan langkahmu, awas terjatuh." Hinata memperingati.
Setelah lima tahun berlalu, rumah ini masih nampak sama. Yup, mereka memutuskan untuk kembali ke Praha.
"Iya Bu!" Boruto sibuk melihat-lihat di ruang tengah, ada sofa-sofa besar, jam dinding besar, lemari besar, dia pikir semua benda di sana sangat besar, berbeda dengan yang ada di mansion milik Oji-sama di Jepang.
Naruto meletakan dua koper milik mereka di dekat tangga dan dia menyalakan lampu-lampu, kebetulan sudah cukup sore saat mereka tiba di Praha.
"Bibi Pelayan merapikan ini sebelum kita tiba?" Hinata bertanya pada suaminya saat melihat buah-buah segar di meja makan. Dia dengar, pria itu menetap di Berlin selama ini, jadi keberadaan buah segar di atas meja sangat mencurigakan.
"Ya, aku sempat meneleponnya untuk membereskan rumah ini." Dua hari sebelum mereka berangkat, Naruto telah menghubungi Bibi Pelayan dan memintanya segera kembali bekerja dan membereskan rumah agar anak dan istrinya bisa beristirahat begitu tiba di sini.
"Ah, aku rindu dengan Bibi." Hinata bergumam sambil membuka pintu geser menuju dapur.
"Kau merindukan Bibi Pelayan, tapi tidak merindukanku hm?" Naruto melangkah ke dapur dan mengambil sebotol air. Dia juga telah meminta Bibi Pelayan mengisi kulkas, agar istrinya bisa memasak, sedangkan Bibi Pelayan akan datang besok untuk kembali bekerja.
"Kau cemburu dengan Bibi Pelayan?" Hinata terkekeh kecil sambil menyalakan lampu-lampu dapur.
Naruto bersandar di counter dapur sambil menarik sudut bibirnya. "Apa terdengar begitu hm?" Dia kini menatap istrinya yang langsung sibuk memeriksa isi kulkas.
"Sedikit." Hinata bergumam, dia terpukau saat melihat isi kulkas begitu penuh. Bibi Pelayan memang bisa diandalkan sejak dulu. "Ingin makan apa malam ini?"
Naruto melangkah menuju wanita itu dan memeluk pinggulnya dari belakang "istirahatlah malam ini, kita pesan makanan saja." Dia tentu tidak setega itu, meminta istrinya langsung memasak begitu tiba di sini.
Penerbangan dari Tokyo ke Praha memakan waktu belasan jam membuat mereka merasakan jet lag yang cukup parah, kecuali Boruto karena anak itu tertidur nyaris di separuh perjalanan.
"Baiklah." Hinata menoleh ke arah suaminya.
"Terima kasih sudah mau pulang denganku ke Praha." Bisik Naruto di telinga istrinya, dia tidak tahu bagaimana lagi harus mengucap terima kasih pada wanita itu.
Hinata mengangguk dan tersenyum tulus, dia mengusap lengan pria itu dengan lembut. Tentu saja keputusan ini pun telah dia pikirkan matang-matang karena Bolt harus pindah sekolah dan beradaptasi di tempat baru. Awalnya dia khawatir, takut anak itu kesulitan tapi Naruto terus meyakinkannya.
"Aku akan segera mengurus sekolah Bolt." Naruto mengusap helaian indigo istrinya "jangan khawatir."
Hinata menoleh dan menatap suaminya, pria itu terus saja meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja dan juga dia diberitahu oleh suaminya bahwa Shikamaru juga sudah memiliki seorang putra yang usianya sama dengan Boruto jadi mereka bisa mengirim Boruto ke sekolah yang sama agar dia tidak sendirian.
Menatap mata amethyst Hinata yang teduh selalu saja membuat Naruto terhanyut, ingin menyelaminya lebih dalam, dia lalu mendekap wanita itu dengan lebih erat dan mengecup bibir wanita itu yang kebetulan tengah menolehkan kepalanya.
Hinata memejamkan mata saat suaminya mengecup bibirnya dengan lembut.
Namun baru dua detik bibir mereka bertemu, suara debaman keras di belakang mereka menggema diikuti dengan suara tangisan anak kecil yang tentu saja adalah Boruto.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic
FanfictionHidup mereka seperti sebuah diorama, mainan milik Tuhan. Berada dalam sebuah hubungan yang kaku dan membingungkan, tapi Tuhan sepertinya senang kalau melihat mereka bersama.