Ini akan jadi konsultasi terakhir, bagaimana perasaanmu?" Psikiater paruh baya itu tersenyum simpul.
"Aku merasa tenang sekarang." Naruto menghela napas lega.
"Luka masa lalu itu, bukan untuk diabaikan tapi untuk disembuhkan agar tidak ada lagi luka-luka baru yang tanpa sadar diakibatkan oleh luka lama itu." Psikiater itu meletakan kertas hasil pemeriksaan yang selalu dia bawa tiap kali konsultasi bersama pasiennya.
"Terkadang aku tidak sadar jika telah merefleksikan rasa traumaku pada orang lain." Naruto kini tahu, pengabaian yang selalu dia berikan untuk istrinya di Praha dulu adalah refleksi dari pengabaian yang dulu ayahnya berikan untuknya.
"Tapi kau harus sadar betul, bahwa tak satupun orang di dunia ini pantas mendapatkan rasa sakit yang sama." Psikiater itu berujar tegas, rasa trauma itu tak boleh dijadikan alasan untuk menyakiti orang lain.
"Aku mengerti." Naruto sekarang sudah sepenuhnya mengerti akan hal itu. Dengan terapi dan konsultasi yang dia jalani, dia menjadi lebih mengenali dirinya sendiri, mengenali luka yang ada di dalam hatinya, dan segala hal yang salah pada perilakunya selama ini.
"Pada akhirnya, luka yang diakibatkan keluarga akan bisa disembuhkan oleh keluarga pula. Ini hanya bagaimana kau melihat dari sudut pandang yang berbeda." Psikiater itu mengetukan jarinya di atas meja. "dulu kau sebagai anak dan sekarang kau sebagai ayah."
"Untuk bisa mengerti luka yang dialami ayahku, butuh waktu bagiku juga untuk bisa memposisikan diri." Naruto pikir, itu adalah bagian tersulit untuk mengerti kenapa dia harus menerima segala kekerasan itu.
"Itu sangat wajar bagimu, kau tumbuh dengan melihat bagaimana ayahmu mendidikmu, maka pasti berat untuk melihat dari sudut pandang lain, tapi yang perlu kau sadari adalah cara yang digunakan ayahmu adalah salah." Pada konsultasi terakhir ini, tak perlu banyak hal yang dibicarakan, hanya perlu memastikan pasien telah merubah pola pikirnya soal issue yang dia alami.
Naruto mengangguk, selama terapi dan konsultasi dia telah banyak merubah cara pandangnya baik sebagai ayah atau sebagai seorang anak.
"Sekarang kau punya istri dan anakmu, buatlah memori baru yang bahagia dan luka lama itu sembuhkan satu persatu bersama mereka." Psikiater tersenyum tipis saat mengatakannya.
"Terima kasih atas bantuanmu selama ini." Naruto lalu berujar tulus, mungkin dia tak pernah bisa sampai pada titik ini jika Hinata waktu itu tidak menyeretnya kemari.
Psikiater itu menghela napas lega lalu bangkit berdiri dari kursi. "kuharap kau bahagia, entah nanti kau kembali ke Eropa atau menetap di Jepang."
Naruto bangkit dari kursi konsultasi itu dan menjabat tangan Psikiaternya "semoga saja."
Pria itu lalu melangkah keluar dari ruang konsultasi, meninggalkan semua luka lamanya di sana dan membuka lembaran baru kehidupannya dengan sudut pandang yang berbeda.
"Sudah selesai?" Hinata bangkit berdiri dari kursi tunggu saat suaminya melangkah keluar.
"Ayah kenapa lama sekali?" Boruto berlari ke arah ayahnya dan mengangkat tangan tinggi-tinggi minta dipeluk.
Naruto tersenyum kala mendapati kini dirinya memiliki orang lain yang menunggunya dan membuka tangan untuknya, tak seperti penolakan yang dulu selalu dia dapatkan.
"Maaf jika membuatmu menunggu lama." Naruto lalu mengangkat tubuh anak itu ke dalam gendongannya menggunakan satu tangan dan tangan lain digunakan untuk menggenggam tangan wanita itu, wanita yang selalu membuka tangan untuknya dengan sabar, tentu saja itu Hinata-nya.
...
"Ayah tolong aku." Boruto menangis terisak karena kakinya masuk ke dalam lumpur yang ada di area danau pemancingan tempat perkemahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic
FanfictionHidup mereka seperti sebuah diorama, mainan milik Tuhan. Berada dalam sebuah hubungan yang kaku dan membingungkan, tapi Tuhan sepertinya senang kalau melihat mereka bersama.