19. Aresa Putri Wijaya

37.9K 1.2K 5
                                    

Di rumah, Ardan menidurkan sang putri di keranjang bayi.

"Bi. Mulai sekarang tugasnya Risa untuk mengurus dia. Dia harus tidur disini, karena dia sudah berpengalaman mengurus bayi." ucap Ardan, masih terus menatap wajah tenang sang putri.

"Baik." jawab Bi Imah namun disangkal Risa, yang tiba-tiba datang sambil menggendong Aldy dan membawa koper-kopernya.

"Maaf tuan, tapi saya mau mengundurkan diri." iamasuk ke kamar anak itu menghampiri Ardan dan Bi Imah.

"Tapi kenapa Risa?" tanya Bi Imah. Lalu Ardan menegakkan diri dan sama-sama menunggu jawaban dari Risa.

"Saya bekerja disini untuk melayani ibu Elisa. Ibu Elisa sudah tidak ada disini sekarang, terus untuk apa saya masih disini?"

"Kamu bisa urus anaknya." ucap Ardan dengan muka datar.

"Jika saja. Jika saja saya disuruh mengurus anak tuan bersama ibu Elisa, saya akan bersedia. Tapi, jika ibu Elisa pergi. Saya juga akan pergi." putus Risa mengabdi pada sang majikan.

"Terserah kalau begitu. Kamu bisa pergi." setuju Ardan lalu ia kembali fokus pada sang anak.

"Kalau begitu saya permisi." saat Risa akan pergi, tangannya di pegang bi Imah.

"Kamu yakin, Ris?" Risa mengangguk pertanda yakin. "Ayo ikut saya." Bi Imah pun mengajak Risa keluar dari kamar itu dan membiarkan ayah dan anak itu berduaan saja.

"Ini, pesangon untuk kamu." Bi Imah menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah pada Risa

"Nggak usah bi. Lagipula saya banyak salah disini, saya juga nggak enak sebenarnya. Tapi saya lebih nggak enak sama Ibu Elisa. Saya pengen sama ibu Elisa aja, bantu-bantu dia." pernyataan Risa membuat Bi Imah iba.

"Udah ambil aja. Kamu niatnya buat bantu nona Elisa kan, bukan nyusahin dia. Kalau kamu nggak punya uang nanti kamu malah nyusahin dia lagi. Udah ambil aja."Bi Imah pun menyusupkan uang itu kedalam tas yang Risa tenteng.

"Yaudah kalau gitu, makasih ya bi, untuk semuanya." Risa mencium tangan Bi Imah dan diikuti oleh sang anak, Aldy.

"Iya. Maaf juga bibi udah sering marah-marah. Juga, tolong jaga non Elisa ya." Risa mengangguk lalu ia pun pergi.

||

Di depan rumah sakit. Elisa masih mematung dengan ungkapan cinta Dhika yang secara tiba-tiba itu.

"Tapi aku... "

"Aku nggak minta kamu jawab sekarang. Aku cuman, pengen kamu tau.. Kamu bisa jawab kalau kamu udah selesai nifas nanti." El pun hanya menatap Dhika yang terlihat gugup itu.

"Mbak Elisa!!" teriak Risa yang membuat El dan Dhika langsung menoleh.

"Risa... Kamu ngapain disini?" tanya El dan Risa pun sudah ada dihadapannya dengan sang anak.

"Risa ngundurin diri mbak."

"Apa? Tapi kenapa?"

"Gimana Risa bisa kerja disana tanpa mbak. Risa akan ikut kemanapun mbak El pergi. Tolong izinin Risa ikut ya mbak," Risa memegang tangan El memohon.

"Tapi... Sebenarnya ini juga saya bingung mau pulang kemana."

"Bingung? Kalian bisa tinggal di rumahku." ucap Dhika menatap kedua wanita itu.

"Tapi gimana bisa... " ucapan El di potong Risa.

"Setuju!!" kata Risa lantang. "Itu mobilnya kan? Ayo berangkat!!" Risa yang menuntun Aldy pun berjalan sambil membawa koper juga ke arah mobil Dhika.

"Makasih ya.. Saya janji ini cuma untuk sementara pak Dhika.." El merasa tak enak.

"Gak papa. Untuk selamanya juga gak papa. Ayo." Dhika membawakan koper El lalu pergi kedalam mobil Dhika.

||

Malam hari.

Keranjang bayi di pindahkan ke dalam kamar Ardan karena ia ingin tidur dengam sang putri kalau malam. Baru kalau siang, ia bekerja dan putrinya diurus bi Imah dan yang lain dirumah.

"Ooaaak!!!  Ooaaakkk!!!  Oooaakkk!!!" sang tuan putri terbangun. Jam menunjukan tengah malam.

Dengan sigap Ardan pun bangun dan langsung membuatkannya susu di botol bayi. Sebenarnya Ardan sudah belajar dari bi Imah tentang takaran-takaran susu bayi dan juga mengganti popok atau pakaian bayi.

Jadi sekarang Ardan sudah bisa sendiri untuk mengurusnya di malam hari tanpa membangunkan yang lain.

"Iya, sebentar sayang. Ini papah lagi buatin susunya." setelah selesai membuatkan susu, Ardan pun menggendongnya dan duduk di atas ranjang sambil memegang botol yang ia minumkan.

Ardan menatap wajah sang putri yang tengah menyusu di botol.

'Maafin papah ya sayang. Papah pisahin kamu dari mamah, karena papah nggak percaya sama siapapun di dunia ini, termasuk mamah kamu' batin Ardan. Lalu ia mengingat beberapa bulan lalu saat Elisa masih mengandung putrinya.

Ia sering melihat El dengan Dhika. Tidak membuatnya cemburu, hanya saja kalau spekulasinya selama ini benar. Kalau wanita tak akan cukup dengan satu pria saja. Yang dimana sama dengan ibunya.

Ia tak mau sang anak mengalami apa yang ia alami. Ia tak mau putrinya nanti malu mempunyai ibu seorang tukang selingkuh dengan banyak pria.

Jadi lebih baik kalau dia membiarkan El dan Dhika bersama dan tidak melakukan hubungan terlarang dii belakangnya. Walaupun Ardan tidak bisa menyangkal kalau ia mulai menyukai Elisa. Karena ia selalu ada bersamanya beberapa bulan ini.

"Papah janji. Papah akan jadi papah dan mamah buat kamu. Kamu nggak akan pernah merasa kekurangan, seperti papah dulu. Ya, Aresa Putri Wijaya." putusnya, nama dari El ia ambil dan ia pakai untuk sang putri.

Di sisi lain, El terbangun dari tidurnya. Karena memimpikan sang anak, ia pun mulai menangis lagi.

Pagi-pagi, sejak ia terbangun dari tidurnya, ia tidak bisa tidur lagi Ia malah pergi ke dapur dan mencari bahan-bahan di dapur untuk ia masak.

Tapi ia tak menemukan apa-apa selain sayuran yang sudah layu karena tergeletak begitu saja di kulkas dan selain itu di kulkas hanya ada telur, yougurt dan air mineral.

"Yah, beginilah rumah seorang bujangan. Aku tidak heran, kalau rumah pak Dhika seperti ini. Karena kan dia hanya tinggal sendirian," El membersihkan kulkasnya dari sayur-sayur yang layu.

"Mmm,,, apa yang harus ku masak, hanya dengan bahan telur dan minyak.. Omelete? Ok, kita buat omelete saja." El pun memutuskan untuk membuat omelete. Dan segera membuat adonannya.

***

Hamil Anak Boss(REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang