13. Keputusan

57K 8K 1.7K
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen di setiap paragraf. Terima kasih.
________________________________________

"A—apa, Kiai? Saya dikeluarkan?" tanya Rere dengan mata yang membulat sempurna.

"Iya, Rere. Kesalahan kamu sangat fatal, tidak seharusnya kamu mengatakan cinta kepada Gus Arfan yang notabene sudah mempunyai istri," ujar Kiai Reyhan. "Apakah kamu tahu jika hal tersebut sangat dilarang di pesantren ini? Bahkan seorang santriwati mendekati orang yang bukan mahramnya pun tidak diperbolehkan! Tetapi kamu malah melanggar."

Rere tak bisa berucap, lidahnya terasa kelu untuk mengatakan sesuatu. Padahal dirinya hanya ingin mengungkapkan isi hati pada Gus Arfan, apakah itu juga termasuk kesalahan? Memangnya siapa yang bisa mencegah datangnya cinta?

"Afwan, Kiai," lirih Rere diiringi isak tangis. "Tolong, beri saya kesempatan sekali lagi. Saya janji, saya tidak akan mengulangi kesalahan tersebut." Ia mengatupkan kedua tangannya di depan Kiai Reyhan, berharap Kiai Reyhan mau sedikit berbaik hati memberinya kesempatan walau kemungkinannya memang sangat kecil.

"Saya mohon, maafkan saya." Air mata terus saja turun dari pelupuk mata gadis itu.

Kiai Reyhan terdiam sejenak, sampai akhirnya ia kembali berkata, "Baiklah, saya akan memberimu kesempatan."

"Benarkah, Kiai?"

"Iya, tetapi kamu harus siap menerima hukumannya," ucap Kiai Reyhan kepada Rere, kemudian mengarahkan pandangan ke arah Ustadzah Mila yang tengah berdiri tak jauh dari tempat Rere berada.

"Ustadzah Mila," panggilnya.

"Iya, Kiai?"

"Beri hukuman yang setimpal atas kesalahan yang telah dilakukan Rere."

Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Kiai Reyhan barusan, sebenarnya Rere merasa sangat ketakutan. Namun mau bagaimana lagi? Daripada ia dikeluarkan dari pondok pesantren ini, lebih baik ia menjalankan hukumannya.

"Baik." Ustadzah Mila mengangguk takzim. Setelah mengatakan itu, ia segera mendekati Rere lalu menyuruhnya untuk keluar dari ruangan Kiai Reyhan.

°°°°°°

Sejak tadi Aira hanya mondar-mondir di depan asrama putri tanpa ada niat beranjak dari sana, membuat semua santriwati yang melihatnya merasa kebingungan.

Rasa khawatir begitu menyeruak dada, pun diikuti rasa takut yang menyelimuti kalbu. Aira sudah pasrah dengan semuanya.

"Mbak Aira," panggil seseorang.

Merasa dipanggil, Aira pun menoleh ke sumber suara. "Iya?"

"Mbak, disuruh ke ruangan Kiai Reyhan."

Benar, apa yang ditakutkannya benar-benar terjadi. Aira menghela napas panjang. "Iya, makasih banyak."

Dengan segera, Aira melangkah pergi ke ruangan Kiai Reyhan. Bukan hanya Kiai Reyhan dan dirinya yang berada di sana, melainkan abah dan ummah-nya.

"Assalamualaikum," salam Aira seraya menunduk sopan.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab ketiganya.

"Aira, masuklah!" ucap Kiai Reyhan.

Aira mengangguk, lalu mencium punggung tangan kedua orang tuanya kemudian ia duduk di dekat wanita paruh baya yang tak lain adalah ibunya.

"Ummah, bukannya Aira udah bilang kalau  ...."

Belum sempat Aira melanjutkan kata-katanya, Diana malah memotongnya terlebih dulu. "Ssttt. Kamu diem dulu, Aira. Biar masalah ini Abah kamu aja yang selesaikan."

Dianggap Sang Pendosa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang