45. Melunjak

37.2K 5.1K 1.4K
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen.

Komen yang banyak ya, Bestie.
___________________________________

Sejenak Gus Arfan terdiam seribu bahasa, namun beberapa detik kemudian ia menjawab, "Arfan lagi nyanyi, Abi." Menunjukkan deretan gigi putihnya dengan wajah polos tak berdosa.

Menghela napas kasar, tatapan tajam serta jeweran masih senantiasa dilayangkan Kiai Reyhan untuk putranya. "Kalau itu Abi juga tahu! Tidak sepantasnya kamu bernyanyi lagu tadi di tengah lapangan, Arfan!" Ia semakin memelintir telinga Gus Arfan sampai memerah. "Lihat! Kamu menjadi tontonan para santri!"

"Afwan, Abi. Afwan." Barulah setelah dirasa jeweran sang abi terasa sakit, Gus Arfan berucap demikian sembari mengatupkan kedua tangannya menghadap ke arah Kiai Reyhan.

"Ini keinginan cucu Abi," timpal Adzana, ia menatap penuh kasihan pada suaminya itu. "Adzana ingin supaya Mas Arfan nyanyi lagu DJ. Maaf, Abi."

Kiai Reyhan mengerutkan kening samar, kemudian segera melepas jewerannya. "Jadi Arfan ngelakuin hal tersebut karena kamu lagi ngidam?" tanya Kiai Reyhan pada Adzana.

Adzana mengangguk mantap. Memang benar kan Gus Arfan melakukan itu demi anak yang tengah dikandung Adzana?

"Iya, Abi. Tolong jangan hukum Mas Arfan," ucap Adzana sambil memohon.

Mendengar penuturan Adzana barusan membuat Kiai Reyhan tertegun untuk beberapa detik. Ngidamnya aneh, batin Kia Reyhan. Untung nggak nyuruh Arfan buat nyanyi lagu rock.

"Bi, Abi. Kenapa Abi melamun?" Kini giliran Gus Arfan yang bersuara.

"Tidak papa, kembali ke ndalem sekarang, ajak istrimu juga."

"Baik, Abi. Terima kasih atas pengertiannya." Gus Arfan mengembangkan senyum termanis yang dimiliki lelaki itu lantas menolehkan pandangan ke arah Adzana. "Ayo kita ke ndalem, Humaira. Aku harap, kamu nggak ngidam yang aneh-aneh lagi." Menggenggam erat tangan kanan Adzana lekas berjalan menuju ndalem.

"Tapi, Mas ...." Langkah kaki Adzana terhenti yang juga berhasil membuat Gus Arfan menghentikan langkah kakinya.

"Kenapa?" Sungguh, untuk kali pertamanya Gus Arfan menerka bahwa Adzana ingin meminta sesuatu yang tidak-tidak lagi kepadanya. Ah, semoga pemikirannya itu salah.

"Aku pengen ngelus kepala botaknya Abi."

Kan ... apa yang dipikirkan Gus Arfan memang benar. Sumpah demi apa pun, rasanya Gus Arfan ingin menghilang saja sekarang dari hadapan Adzana.

"Humaira, jangan aneh-aneh!" tegasnya.

Adzana melirik terlebih dulu ke manik mata Gus Arfan, tatapan mereka saling bersitumbuk ke satu arah dan hanya beberapa detik, setelahnya Adzana mengalihkan pandangan ke arah lain seraya merajuk, tak mau bicara.

Tentu Gus Arfan harus ekstra sabar menghadapi istrinya ini. Gus Arfan tak marah, ia menoel bahu Adzana dengan senyum yang senantiasa terus mengembang sempurna.

"Humaira," panggil Gus Arfan, namun tak ada jawaban.

"Zaujati." Tetap, Adzana tak mau bersuara.

"Istriku yang paling cantik." Berkali-kali Gus Arfan menoel bahu Adzana, kedua alisnya naik turun, mencoba menggoda istrinya. Siapa pun yang melihatnya pasti merasa iri dengan sejoli itu.

"Apaan si, Mas?" Adzana masih tidak mau menatap Gus Arfan.

"Aku mau kok ngelakuin apa aja sesuai keinginan kamu, tapi hilangkan ya keinginan kamu yang tadi," ujar Gus Arfan, memiringkan kepala, menatap penuh harap pada sang istri.

Dianggap Sang Pendosa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang