29. Rencana

39.7K 6.3K 1.9K
                                    

Karena tembus vote sama komennya. Sesuai janji, aku up lagi.

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Makasih, Bestie.
________________________________________

Meski sedang mengandung, Adzana tetap memaksakan diri mengejar suaminya. Ia harus bisa menjelaskan sekarang juga jikalau lelaki yang bersama dengannya tadi adalah teman sahabatnya.

"Mas Arfan!" Berteriak sekencang apa pun rasanya akan percuma, karena Gus Arfan tidak berhenti.

Merasa kelelahan, napas Adzana memburu tak beraturan. Sudah cukup, ia tidak sanggup mengejar Gus Arfan, walau bagaimanapun saat ini ia sedang hamil. Ia harus bisa menjaga kandungannya.

"Kenapa kamu lari, Adzana? Siapa yang kamu kejar?" tanya Devan, ternyata dia pun ikut berlari di belakang Adzana.

"Menjauhlah!" Kini Adzana tidak lagi bersikap lembut pada Devan. "Lebih baik kamu pergi dari sini."

"Adzana ...."

"Aku bilang pergi ya pergi! Suamiku salah paham karena melihat kedekatan kita!" terang Adzana, ia masih enggan untuk menatap wajah Devan.

"Ja--jadi kamu udah punya suami?" Devan menatap tidak percaya ke arah Adzana.

"Iya, memangnya kenapa? Ada masalah?!"

Devan menggelengkan kepalanya, ia terkekeh kecil. Melihat itu tentu saja Adzana mengerutkan keningnya karena bingung.

"Nggak ada, cuma nanya. Sekarang kita pulang yuk, saya antar kamu pulang," ujar Devan.

"Sasa gimana? Kalau nggak ada dia, aku nggak mau pulang bareng kamu! Aku bisa naik taksi. Assalamualaikum." Di saat Adzana baru saja melangkah pergi, suara Devan lagi-lagi berhasil membuatnya berhenti.

"Tunggu! Biar saya saja yang mengantarmu pulang. Kalau tidak, apa yang akan saya katakan nanti pada Sasa?" Jeda beberapa detik, selanjutnya ia kembali berucap, "Oh ya, Sasa izin pulang lebih dulu. Ada keperluan penting katanya."

Duh! Kenapa Sasa nggak bilang sama aku si? ucap Adzana dalam hati. Keterlaluan sekali sahabatnya ini, seharusnya dia tidak pergi begitu saja meninggalkannya sendiri bersama seorang lelaki. Terlebih, lelaki yang baru saja ia kenal.

"Aku nggak mau pulang bareng kamu, aku bisa pulang sendiri!" tolak Adzana mentah-mentah.

"Tapi, Adzana ...."

Adzana menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. "Apa lagi?!"

"Saya tidak bisa membiarkanmu pulang sendiri, biar saya antar!" Setiap kata yang dilontarkan Devan penuh penekanan. "Tadi suami kamu salah paham, kan? Kalau begitu saya ingin menjelaskan yang sebenarnya pada dia, agar dia tidak salah paham lagi."

Benar apa yang dikatakan Devan, lelaki itu memang harus bertanggung jawab dengan menjelaskan pada Gus Arfan apa yang terjadi yang sebenarnya beberapa menit lalu.

"Ayo, Adzana. Kita ke parkiran, mobil saya ada di sana." Akhirnya, Adzana pun menganggukkan kepala.

Di dalam mobil hanya ada ada keheningan, tak ada yang berucap, pun keduanya seperti kalut dengan pikiran mereka masing-masing.

Sejak tadi Adzana hanya memainkan kuku-kukunya saja. Ia harap bisa segera sampai di rumah.

Sesampainya di rumah, cepat-cepat Adzana keluar dari mobil Devan. Ia berjalan ke arah pintu, mengetuknya berkali-kali, tetapi tidak ada sahutan dari dalam. Padahal Adzana yakin bahwasanya Gus Arfan berada di dalam, terbukti dari sepatu yang baru saja dipakai lelaki itu ada di luar rumah.

"Buka pintunya, Mas. Aku mohon, buka pintunya," ujar Adzana sedikit berteriak.

Beberapa menit kemudian, untunglah pintu tersebut terbuka. Tampak Gus Arfan yang terdiam tak berekspresi, tatapan matanya masih dingin seperti tadi pagi, juga ia terlihat sedang sangat marah.

Dianggap Sang Pendosa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang