30. Tidak Menyerah

41.7K 6.2K 1.7K
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Terima kasih orang baik.
________________________________________

Hari ini Annisa memutuskan pergi seorang diri untuk mencari keberadaan anak dan menantunya. Ia tidak berpamitan pada Kiai Reyhan atau pada siapa pun, karena ia pergi secara diam-diam. Ia ingin segera bertemu dengan Gus Arfan dan Adzana.

Jika berpamitan, sudah pasti Kiai Reyhan tidak akan mengizinkan. Terlebih, ia kan tidak tahu di mana tempat tinggal anak dan menantunya sekarang.

Setelah berhasil keluar dari pondok pesantren Nurul Huda, Annisa berjalan mencari angkutan umum yang lewat, namun karena jam masih menunjukkan pukul dua dini hari, alhasil ia harus berjalan sampai pagi hari tiba.

Merasa kelelahan, Annisa duduk sebentar di trotoar jalan. Dalam benaknya ada sebuah pengharapan besar, berharap ia segera bertemu dengan anak dan menantunya.

"Ummi bahkan tidak tahu sekarang kalian ada di mana," gumam Annisa, ia menyeka air mata yang turun membasahi pipi.

Ia tidur sejenak. Tak terasa, adzan subuh telah berkumandang. Annisa segera melangkahkan kakinya menuju masjid terdekat untuk melaksanakan shalat subuh.

Selesai shalat, Annisa menengadahkan kedua tangannya, meminta diberi petunjuk oleh Allah SWT. Ia tahu kesalahannya sungguh besar, pun ia tahu bahwasanya apa yang sudah ia lakukan pada Adzana memang keterlaluan.

"Ya Allah, berikanlah petunjuk agar hamba bisa segera mengetahui di mana keberadaan anak dan menantu hamba. Hamba mohon, Ya Allah. Hanya kepada Engkau hamba meminta pertolongan, dan hanya Engkaulah yang bisa memberi hamba petunjuk. Hamba ikhlas jika nanti anak dan menantu hamba tidak bisa memaafkan kesalahan hamba. Hamba ingin sekali bertemu mereka. Kabulkanlah doa hamba. Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirat hasanah, waqina adzabannar. Aamiin yaa rabbal 'aalamiin."

Annisa segera bangkit dari duduknya tatkala ia telah selesai melipat mukenah dan membereskan khimar yang ia pakai.

Entahlah ia ingin ke mana, Annisa berjalan tanpa arah dan tujuan. Bertanya ke sana-kemari, namun tak ada satu pun dari mereka yang mengenal Gus Arfan dan Adzana.

"Permisi, Bu," ucap Annisa, ia berlari kecil mendekati orang itu kemudian memperlihatkan foto anak dan menantunya.

"Apa Ibu kenal mereka?"

"Maaf, saya tidak mengenal mereka."

Menghela napas panjang, Annisa kembali mengulas senyumnya. "Terima kasih banyak, Bu."

Hingga siang menjelang, sinar matahari terasa membakar kulit, itu semua tidak membuat Annisa kehilangan semangatnya. Meski rasa lelah mendera, tetapi Annisa tidak akan berhenti mencari Gus Arfan dan Adzana sampai mereka berdua ditemukan.

"Assalamualaikum, Bu," salam seseorang, membuat Annisa yang tengah duduk di bawah pohon rindang mendongakkan kepala.

"Wa'alaikumussalam. Ada apa ya?"

"Ibu sedang mencari seseorang, kan?Bolehkah saya melihat foto itu? Barangkali saya mengenalnya."

Dengan senang hati Annisa memperlihatkan foto tersebut. Ia mengerutkan keningnya samar kala perempuan itu terlihat terkejut saat melihat foto Gus Arfan dan Adzana.

"I--Ibu cari mereka?" tanyanya. "Ini kan ... tetangga saya, Bu. Tapi baru beberapa hari tinggal di rumah itu, mereka pindah lagi."

"Mereka anak dan menantu saya." Matanya sudah berkaca-kaca. "Apa kamu tahu sekarang mereka tinggal di mana? Saya ingin bertemu mereka."

Annisa mengatupkan kedua tangannya di hadapan perempuan tersebut, seketika air mata luruh begitu saja. "Tolong beritahu saya. Saya mohon."

"Setahu saya, mereka katanya mau pindah ke Cirebon. Di daerah mananya saya tidak tahu. Karena sebelum pindah, saya berkunjung ke rumah mereka, mereka kan tetangga baru saya. Dan saya baru tahu kalau mereka sebentar lagi bakalan pindah rumah dan memilih tinggal di Cirebon saat Bu Adzana memberitahu saya."

Dianggap Sang Pendosa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang