53. Bekerja sama?

27.4K 4.7K 1.1K
                                    

Makasih untuk yang udah vote dan komen banyak di chapter sebelumnya. Maaf baru up karena sibuk di RL.

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Komen yang banyak ya. Vote juga sebelum membaca. Terima kasih.
___________________________________

Kedua mata Aira membulat sempurna, mulutnya masih menganga lebar, dan kerutan di keningnya terlihat jelas, menandakan bahwa ia benar-benar terkejut akan penuturan Syakila beberapa detik lalu.

"B--bukti? Bukti apa yang kamu maksud?!" tanya Aira, gugup.

Syakila melepas cengkeramannya dari khimar Aira, kemudian melipat kedua tangannya di bawah dada. "Bukti yang akan ngebuat pelakunya nggak bisa berkutik sama sekali!"

Tubuh Aira menegang di tempat. Bisa gawat jikalau benar Syakila sudah mempunyai buktinya. Sungguh, ia takut, takut kejahatannya selama ini terbongkar dan akan berujung sia-sia karena tidak berhasil menghancurkan rumah tangga Gus Arfan dan Adzana.

Melihat guratan ketakutan di wajah Aira, Syakila menyeringai. Ia menarik satu sudut bibirnya, menunjukkan senyuman sinis.

Padahal aku belum punya bukti apa pun, hahaha. Aku sengaja bilang kayak gini ke kamu, Aira. Mau cari tau dulu bener atau enggak kamu pelakunya. Tapi ngeliat wajah ketakutan kamu dan cara bicara kamu yang gugup, fiks si kamu dalang di balik ini semua, ujar Syakila dalam hati.

"Kenapa? Takut ya? Kamu kan nggak salah, Aira sayang. Kenapa harus takut? Udah, biasa aja. Relax," tutur Syakila, ia menepuk-nepuk bahu Aira dengan gemas.

Melihat hal tersebut, Adzana pun mendekati keduanya seraya berucap, "Syakila! Apa-apaan kamu?! Jangan kurang ajar ya sama Aira!"

Aira yang tadinya benar-benar merasa jengkel pada Syakila merasa senang luar biasa karena Adzana membela dirinya.

Sedangkan Syakila, ia menatap penuh tanda tanya ke arah Adzana. "Kurang ajar gimana? Jelas-jelas dia nuduh aku selingkuh dengan suamimu, Adzana! Jadi, siapa yang kurang ajar di sini? Aku atau wanita sok polos di depanku?"

"Aku bukan wanita sok polos!" Aira mulai mengangkat suaranya kembali, tentu ia harus membela diri.

"Lalu apa? Seorang ning yang kurang didikan? Punya gelar ning, tapi kok mulutnya nggak berkelas? Cih, pergi aja sana ke laut dan tinggal sama hiu-hiu di sana!!!" ujar Syakila saking geramnya.

Tatapan Adzana menajam, seakan menghunus netra Syakila. "Pergi dari rumah aku sekarang!" Ia menunjuk ke arah pintu, namun matanya masih fokus menatap Syakila.

"Tapi, Adzana ...."

"PERGI DARI SINI, SYAKILA!!! AKU LEBIH PERCAYA SAMA AIRA KETIMBANG PERCAYA SAMA KAMU. AIRA ITU SAHABAT AKU, DAN AKU YAKIN DIA NGGAK AKAN PERNAH BERKHIANAT!"

Lontaran kata demi kata yang Adzana ucapkan barusan membuat Syakila terperangah. "Oh ya?" Syakila semakin mendekati Adzana, bibirnya mengarah tepat ke telinga perempuan itu. "Hati-hati, Adzana. Terlalu percaya sama orang lain akan membuat dirimu berada di ambang kehancuran, sekalipun orang yang kamu percayai adalah sahabat kamu sendiri."

Kemudian tanpa permisi Syakila melangkah keluar dari rumah Adzana. Hah sudahlah, Adzana memang mudah dibodohi. Terlalu mengistimewakan arti sahabat, padahal banyak sekali kejadian teman dekat menusuk dari belakang.

Setelah kepergian Syakila, Aira memeluk Adzana. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba Aira menangis dalam dekapan tersebut. "Kamu lihat kan, Adzana? Perempuan itu memang sengaja ingin membuat persahabatan kita pecah, lalu perlahan-lahan dia juga akan merusak rumah tangga kamu. Alasannya jelas, dia masih sangat mencintai suami kamu."

Dianggap Sang Pendosa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang