16. Cemburu

54.7K 6.7K 189
                                    

Karena vote sama komennya beneran tembus, jadi hari ini aku double up.

Maaf telat, nggak ada yang ngingetin buat up si soalnya😂🤭

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Terima kasih.

Komen yang banyak ya☺️
_______________________________________

Sejak tadi Riyan tak henti-hentinya memikirkan Adzana, memikirkan betapa bodohnya dia telah mempermainkan perempuan itu.

Kenyataan menampar telak batin dan juga pikirannya, sehingga rasa sesal terus saja menyeruak dada.

Mengapa? Mengapa Riyan tak mempercayai ucapan Adzana jikalau dia memang masih perawan.

"Gue harus gimana?" gumam Riyan, ingin kembali pada Adzana, namun rasanya tidak mungkin. Mengingat, sekarang Adzana telah menjadi istri sepupunya.

"Gue yakin kalau gue sebenernya cinta sama dia, gue yakin rasa nggak terima gue atas pernikahan Adzana sama Arfan itu karena gue udah punya rasa buat adzana." Riyan terus saja meracau, menyesal, juga merutuki diri sendiri. Karena hal tersebutlah yang kini begitu membayang jelas di benaknya.

Mengembuskan napas kasar, Riyan memilih bangkit dari duduknya lalu berjalan keluar dari asrama putra, tentu ia berniat untuk menemui Adzana.

Namun anehnya, tatkala ia berada di luar asrama, banyak santriwan yang membicarakan Adzana dan Gus Arfan, mengenai kepergian mereka berdua dari pondok pesantren Nurul Huda.

"Ana nggak tau apa masalahnya, tiba-tiba ngeliat kalau Gus Arfan sama Adzana pergi dari sini," ucap salah satu santriwan.

"Gus Arfan sama istrinya pergi, pasti ada masalah yang besar."

"Iya, sayang banget Gus Arfan pergi, padahal cara ngajar dia mudah dipahami sama kita."

Penasaran dengan apa yang terjadi, Riyan melangkahkan kaki menghampiri para santriwan yang sedang berkumpul itu. "Apa maksud kalian?" tanyanya yang spontan membuat yang mendengar sedikit terkejut atas kedatangan Riyan.

"Ngucap salam dulu kalau mau ikut nimbrung," ujar Diky.

"Ah kelamaan! Ayo cepet jelasin apa maksud kalian ngomong kalau Arfan sama Adzana pergi dari sini?!" Dengan nada suara meninggi Riyan berkata demikian.

Sebenarnya santriwan-santriwan itu merasa tak nyaman dengan datangnya Riyan di antara mereka, karena Riyan selalu saja bertindak otoriter alias mau menang sendiri.

Hilmi menghela napas kasar. "Ana tadi ngeliat Gus Arfan sama Adzana pergi bawa koper, dan ana rasa mereka berdua bakalan pergi dan nggak akan kembali lagi ke sini."

"Kenapa bisa begitu?!" Kedua tangan Riyan mengepal kuat, kedua alisnya saling bertaut, pun rahangnya mengeras.

"Kalau ente mau tau Alasannya, tanya aja sama Kiai Reyhan. Ana nggak tau."

"Bodoh!!!" maki Riyan. Setelahnya ia segera berlari ke ndalem, mencari keberadaan Kiai Reyhan dan juga istri beliau.

"Pakde! Bude!" Tak ada yang menyahut, rumah seketika terasa sunyi dan sepi.

"Pakde!!!"

"Bude!!!"

Tatkala Riyan melewati kamar Annisa, ia mendengar isak tangis dari dalam sana. Tanpa menunggu waktu lama, cepat-cepat ia membuka pintu kamar tersebut.

Di sana, terlihatlah Annisa yang sedang duduk di tepi ranjang, ia menangis sesenggukan sembari memandangi foto Gus Arfan.

Perlahan, Riyan pun mendekati Annisa kemudian duduk di samping wanita paruh baya itu.

Dianggap Sang Pendosa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang