Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote sama komen. Komen yang banyak ya! Vote juga sebelum membaca. Terima kasih.
___________________________________Cepat-cepat Gus Arfan melepas seatbelt-nya kemudian membuka pintu mobil sebelah kiri, agar saat ia jatuh tak berguling ke tengah jalan. Tanpa ragu ia pun lompat dari mobil tersebut dan meringis kesakitan kala keningnya terbentur trotoar jalan.
Sementara mobil milik Gus Arfan menabrak pohon besar yang tak jauh dari tempat lelaki itu berada. Andai Gus Arfan tak melompat tadi, bisa dipastikan dirinya mati mengenaskan.
Beberapa menit kemudian, suara deringan ponsel membuat Gus Arfan mau tidak mau harus mengambil ponsel yang berada di saku celananya. Perlahan ia mengubah posisinya menjadi duduk. Meski rasa pusing mendera, namun sebisa mungkin ia menahan rasa pusing itu.
"Ha--halo, Humaira. Aku sebentar lagi sampai rumah, tunggu ya," ucap Gus Arfan sembari memegangi keningnya yang berdarah.
"Arfan, ini Ummi. Sekarang Ummi mau bawa Adzana ke rumah sakit, kamu hati-hati bawa mobilnya, jangan ngebut," ujar Annisa dari seberang sana. "Adzana mau ngomong katanya."
"Iya, Ummi."
"Mas Arfan, nanti kamu temenin aku di rumah sakit ya, Mas. Temenin aku melahirkan."
Gus Arfan tahu bahwasanya sekarang istrinya itu tengah menahan kesakitan. Alhasil ia pun berucap, "Jangan banyak bicara, Humaira. Aku janji akan ke rumah sakit sekarang juga dan menemani kamu melahirkan anak kita. Aku janji."
"Aku pegang janji kamu. Udah dulu ya, Mas. Aku tunggu kamu di rumah sakit Pelita Harapan. Assalamu'alaikum."
"Iya, Humaira. Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," balas Gus Arfan. Setelah itu, ia segera memasukkan ponsel ke dalam saku celananya, kemudian berdiri dan berjalan mencari taksi.
"Kenapa nggak ada taksi yang lewat?" Sungguh, sekujur tubuh Gus Arfan terasa sangat sakit, belum lagi kepalanya yang terasa pusing. Jujur, ia sudah tidak kuat berjalan.
Lelaki itu merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel. Ia ingin memesan taksi online. Namun sayang, saat ia mencoba menyalakan ponsel, ponsel miliknya malah tidak mau menyala. "Baterai ponselnya habis."
Terpaksa Gus Arfan harus tetap melangkah meski langkahnya terkesan berat. "Nggak papa, demi Humaira. Harus yakin kalau nanti bakalan ada taksi atau angkutan umum yang lewat, lagian sekarang masih jam delapan, jadi belum terlalu malam."
Lima belas menit berjalan kaki, tetapi belum ada taksi yang lewat. Sekali lagi, Gus Arfan memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut nyeri. "Kenapa sesakit ini? Padahal cuma kebentur trotoar."
Menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan, ia mencoba terlihat biasa. Menoleh ke kanan dan ke kiri, hendak menyeberang jalan. Tepat saat di tengah jalan, rasa pusing melanda kembali. Gus Arfan tidak tahu kalau dari arah barat ada sebuah mobil truk melaju dengan sangat cepat.
Tanpa bisa dihindari, mobil truk tersebut menabrak Gus Arfan hingga lelaki itu terpelanting jauh dari tempatnya berada.
Darah segar mulai merembes keluar dari kepala Gus Arfan, tubuhnya lunglai seperti mati rasa. "Hu--Humaira." Sedetik kemudian, kesadarannya pun mulai menghilang.
°°°°°°
Adzana terus mengembangkan senyumnya kala ia melihat betapa indahnya taman yang sedang ia pijak.
Rumputnya terlihat begitu hijau, kupu-kupu beterbangan ke sana-kemari, juga banyak bunga mawar di taman tersebut. Benar-benar indah, Adzana sangat menyukai tempat ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/295224747-288-k749158.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dianggap Sang Pendosa (Sudah Terbit)
General Fiction(TERSEDIA DI GRAMEDIA DAN TBO) Ini tentang kejujuran yang hanya berujung penghinaan. Tentang kesalahan di masa lalu yang menjerat sampai sekarang. Fitnah selalu terdengar setiap hari. Takdir seolah tidak pernah memihaknya. Kisah ini adalah kisah seo...