9. Tolong jangan marah..

1.6K 108 1
                                    

Happy Reading 💚

******

Keadaan diluar ruang operasi jauh lebih menegangkan dari operasi itu sendiri. Ketiga insan yang kini duduk berjauhan saling menatap dalam diam.

Satu diantara mereka masih dikuasai amarah. Kilat-kilat kebencian begitu jelas memenuhi pancaran sinar matanya. Duduk diujung kursi tunggu dekat pintu ruang operasi, Jaemin masih saja menatap tajam pada seorang remaja diujung kursi satunya.

Dengan tatapan yang seolah siap untuk menembus kepala yang sejak tadi tertunduk itu, Jaemin mendengus keras. Napas dan juga kekesalan di dadanya berlomba-lomba menguji kesabarannya yang tinggal setipis tissue.

Jika saja saat itu pintu ruang operasi tidak segera terbuka, dan menampilkan seorang dokter yang masih lengkap dengan jubah operasinya, mungkin kini Jaemin sudah kalap. Menghajar wajah yang katanya adalah kembarannya itu habis-habisan.

Potongan kenangan masa lalu, tentu saja menjadi alasan kuat kenapa Jaemin sangat bernafsu untuk menghajar remaja itu.

Jika saja.. jika saja dokter tidak menjadi penengah ketegangan itu. Sungguh.

"Keluarga Bapak Na Jiseok." Ucap sang Dokter menarik seluruh perhatian.

Di kejauhan, Mandor Dali tampak berlari kecil menghampiri. Ikut mengelilingi sang dokter bersama tiga orang pemuda yang sejak tadi tampak tengah berperang dingin. Dali bahkan enggan untuk mendekat saat melihat ketiganya beberapa saat lalu.

"Sa-saya anaknya, Dok." ucap Jaemin, lalu tatapan Dokter seakan ragu untuk berkata kemudian.

Dokter Yadi, namanya. Dokter spesialis saraf yang cukup tersohor di dunia medis. Dan jangan tanyakan bagaimana orang hebat bisa muncul disana. Semua karena koneksi Jeno, atau lebih tepatnya Papa tiri Jeno, Dojin.

"Bicara saja, Dok. Mereka anak-anak pasien, dan mereka berhak tahu kondisi Ayahnya." ucap Dali, setelah menangkap keraguan pada wajah Dokter Yadi.

Dengan berat hati, setelah menimbang sesaat, Dokter Yadi berbicara mengenai kondisi Jiseok. Mulai dari vonis singkat, dan keputusan yang tim-nya buat untuk sang pasien.

"Cedera dikepala pasien tergolong kedalam cedera otak berat. Pendarahannya cukup hebat dan kami sudah berusaha sebaik mungkin untuk menanganinya. Pasien saat ini dalam keadaan koma dan kita hanya bisa menunggu. Saat ini kita hanya bisa pasrah kan semuanya pada Tuhan." Dokter Yadi diam sesaat, memberi waktu 4 pasang telinga dihadapannya untuk mencerna apa yang baru saja ia sampaikan. "Dan untuk malam ini, pasien akan kami pantau intensif di ruang ICU."

Setelah mengatakan hal itu, Dokter Yadi melenggang pergi, meninggalkan keheningan yang mencekam. Raut-raut wajah lega saat ruang operasi terbuka, seakan sirna digantikan dengan pupusnya sebuah harap.

Tubuh Jaemin bahkan luruh diatas lantai, kedua pipinya kini sudah basah oleh air mata. Anak berusia 15 tahun itu terisak pilu ditengah sunyi. Meraung memanggil nama seseorang yang saat ini berjuang diujung jurang hidup dan mati.

"Ayah, jangan tinggalin aku. Kalau Ayah sampai pergi aku gak punya siapa-siapa lagi. Terus buat apa aku hidup, Ayah?" lirih Jaemin, disela isak tangisnya yang terdengar pilu, menggema di seluruh lorong ruang operasi.

The Twins ~ Jaemin x JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang