39. Ayah dan kenangan

924 64 0
                                    

8 tahun yang lalu....

"Dojin-ah."

"Kenapa?"

"Boleh aku minta tolong?"

"Tentu saja, ada apa?"

"Tolong bantu aku mengurus berkas-berkas untuk pindah kewarganegaraan."

Lama suara diseberang sana tidak menyahut. Jiseok hampir saja menyerah mengharapkan bantuan orang lain. Karena sejak kejadian yang menimpa keluarganya, Jiseok tidak percaya lagi pada siapapun di dunia ini. Tapi, melihat bagaimana Dojin selalu ada untuknya selama ini. Entah bagaimana dia ingin mempercayai sahabatnya itu untuk terakhir kali.

"Kamu ingin menjadi warga Indonesia?"

"Hem." Jiseok merenung.

"Kenapa?"

"Sepertinya ini pilihan terbaik. Supaya aku tidak perlu pulang pergi Korea-Indonesia dan mungkin urusan sekolah Jaemin jadi lebih mudah."

Lama tidak terdengar suara dari seberang sana, hingga detik berlalu sampai Dojin kembali bersuara, "Baiklah, aku akan meminta anak buahku untuk mengurusnya. Atau apa perlu aku yang mengurusnya sendiri? Aku bisa datang ke Indonesia setelah mengurus semuanya dan menemuimu."

Jiseok terkekeh, ternyata Dojin masih orang yang sama seperti dulu. Dia akan melakukan apapun untuk membantu orang-orang terdekatnya yang sedang dalam kesulitan. Dan yang bisa Jiseok lakukan hanyalah menghela napas lega.

"Terima kasih, Dojin-ah. Tapi lebih baik kamu mengurus anak dan istrimu saja."

"Baiklah. Kalau begitu aku akan mengurusnya segera. Aku akan menghubungi anak buahku jika ada yang perlu kau lakukan."

Setelah panggilan itu ditutup, Jiseok menghela napas panjang. Di angsurkannya benda pipih itu kembali pada pemiliknya. Seorang pria muda yang selalu mengawasi ia dan juga Jaemin. Anak buah yang Dojin kirimkan untuk memastikan keamanan Jiseok dan juga anaknya.

"Terima kasih." Ucap Jiseok. Kemudian berlalu meninggalkan orang itu.

Hari ini, dia harus segara pulang ke kontrakan. Para penagih utang sudah waktunya datang. Jiseok harus bergegas sebelum mereka datang dan membuat keributan karena dia tidak ada.

Sedang diujung jalan menuju rumah kontrakannya, Jaemin berjongkok dibawah tiang lampu jalan. Anak itu terlihat begitu kecil dari kejauhan.

"Nana, kamu ngapain disini?" Tanya Jiseok setelah berlari kencang. Dengan napas yang sedikit ngos-ngosan, dia berjongkok. Memandangi Jaemin yang masih betah menunduk. "Ada apa, sayang?"

"Ayah?"

Senyum tipis merekah dibibir Jiseok, "Iya, sayang?"

"Ayah, tidak akan meninggalkan aku, kan?" Tanya anak itu dengan mata yang berembun. Dikedua pipinya jejak air mata tampak mulai mengering.

Melihat bagaimana kondisi Jaemin, membuat hati Jiseok tersayat-sayat. Rasanya sangat pedih. Tanpa perlu dijelaskan pun dia tahu, sama seperti kemarin-kemarin pasti ada anak-anak yang berkata tidak baik pada Jaemin.

Jadi, alih-alih bertanya, Jiseok menjawab, "Tentu saja. Ayah gak akan pernah ninggalin kamu. Selama kita hidup, ayah akan menjaga kamu dengan baik." Katanya.

Jaemin mendongak, menatap Jiseok dengan tatapan sendu. "Tapi, teman-teman bilang ayah juga akan ninggalin aku sama kayak mama. Apa karena aku nakal, ayah? Apa karena itu mama ninggalin aku? Apa ayah juga akan ninggalin aku?"

Bagai petir di siang bolong, perkataan Jaemin membuat hati Jiseok remuk redam. Dalam keheningan panjang itu dia tersenyum menyembunyikan pedih dari jiwanya yang hancur. Andai Jaemin tahu, andai anaknya itu cukup dewasa untuk mengerti. Mungkin dia tidak akan terluka seperti sekarang. Karena nyatanya apa yang anak-anak itu katakan tidak ada benarnya sama sekali.

The Twins ~ Jaemin x JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang