16. Seorang penyusup

1K 80 1
                                    

Happy Reading 💚

********


Satu setengah tahun yang lalu, saat dunia menjauhkan satu-satunya manusia berharga di hidup Jaemin. Memaksanya meninggalkan semua memori bersama sang ayah jauh dibelakang sana. Disebuah pinggiran kota Jakarta yang menyimpan banyak kenangan.

Jaemin yang baru berusia 15 tahun tidak punya pilihan lain selain ikut bersama keluarga baru sang mama. Ia terlalu kecil untuk hidup sendiri. Juga terlalu berat bagi Yura untuk membiarkan anak itu tinggal di panti asuhan. Padahal sang putra berulang kali meminta untuk ditinggalkan di rumah panti. Ia berulang kali mengatakan benci pada gagasan tinggal bersama keluarga sang mama.

Jaemin menghela napas dalam saat ingatannya kembali pada apa yang terjadi belakangan. Dipandanginya setiap sudut kamar yang entah bagaimana begitu sesuai referensinya. Ruangan bernuansa monokrom itu tertata rapi. Berbagai perabotan tersusun dengan pas seolah itu sesuai dengan permintaannya.

Jika ditanya apakah ia suka dengan kamar barunya, tentu Jaemin akan dengan cepat menyahut suka. Tapi, di rumah siapa dan dengan siapa dia tinggal, membuatnya melupakan kesenangannya itu. Apalagi setelah ayah meninggal dalam keadaan yang menurutnya tragis. Dia semakin merasa tidak berhak untuk menikmati semua kenyamanan ini.

Juga, jangan lupakan fakta bahwa Jaemin membenci mama. Wanita yang dengan tega meninggalkannya bersama sang ayah disaat-saat tersulit mereka.

Kenangan pahit itu masih bersemayam dengan nyaman didalam ingatan Jaemin. Bayang-bayang ketika Yura mendorongnya dengan sekuat tenaga. Membuat tubuh kecilnya terpelanting diatas lantai teras. Jaemin kecil meraung, meminta sang mama yang sudah mulai meninggalkan rumah untuk kembali. Mengiba pada pahlawan hidupnya itu untuk tidak pergi. Dan kembali mengusap jejak air mata di pipinya seperti yang sudah-sudah.

Tapi, tatapan kosong serta wajah tanpa ekspresi Yura tepat ketika hendak menaiki taxi sore itu membuat Jaemin kecil terdiam seketika. Dadanya terasa di hujami ribuan anak panah, mengiringi kepergian mobil itu dengan rasa sakit dihatinya yang perlahan membengkak. Mama tega meninggalkannya. Dan untuk pertama kalinya ia mulai membenci mamanya itu.

"Jaemin, boleh saya masuk?" suara dibalik pintu menarik kesadaran remaja laki-laki itu.

Ia menoleh, memandang ragu kayu jati yang saat ini masih tertutup rapat. Untuk apa papa sambungnya itu berada didepan kamarnya, ditengah malam ini?

Dengan berat hati Jaemin melangkah turun. Seragam sekolah yang masih melekat ditubuhnya itu menegaskan bahwa ia belum juga mandi.

Jaemin membuka kunci, lantas menarik turun knop pintu. Ditariknya perlahan pintu jati itu hingga menampakan sosok tinggi Dojin. Ditangan pria paruh baya itu terdapat sebuah nampan berisi sepiring nasi, dengan berbagai lauk diatasnya.

"Mama kamu minta saya nganter ini buat kamu." Dojin melenggang masuk, menerobos pintu yang belum terbuka sepenuhnya. "Di makan, Na, mumpung hangat." ujarnya setelah menyimpan nampan yang dibawanya keatas nakas disamping ranjang.

Jaemin yang masih mematung didepan pintu memandang dingin kearah pria itu. Ia pikir Dojin akan segera pergi setelah menyelesaikan keperluannya. Namun, pria itu justru duduk ditepi ranjang. Lantas memandangi Jaemin dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Duduklah." ujar Dojin, menepuk ruang kosong yang berada disampingnya.

Lama keduanya hanya saling menatap. Membiarkan hening nya tengah malam menjadi latar belakang ketegangan yang mereka buat.

The Twins ~ Jaemin x JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang