41. Anak tangga ketiga

880 64 2
                                    

"Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuk keluargaku. Meskipun aku tidak bisa lagi bersama Meraka, aku mau mereka hidup dengan baik. Aku mau Jeno-ku sembuh dan bermain seperti anak-anak lain.

Aku mungkin akan hancur untuk beberapa saat. Dan duniaku tidak akan pernah sama lagi. Tapi, aku pasti bisa melaluinya. Demi anak-anakku dan juga Yura. Aku mau dia kembali pada keluarganya. Pada sebuah 'rumah' yang pernah aku renggut sebelumnya.

Dojin-ah, kamu bilang kamu mencintai Yura, bukan? Kalau kamu benar-benar mencintainya, tolong jaga dia untukku. Buat dia lebih bahagia dibandingkan saat bersamaku. Dia wanita yang baik, dan karena itu dia mungkin mau menerimaku yang jauh dari kata sempurna ini.

Tolong jaga sahabat kita dengan baik, Dojin-ah. Dan aku menitipkan anakku pada kalian. Tolong, jaga dia juga, ya?"

Jeno meremas surat itu hingga tidak berbentuk. Giginya bergemeletuk menahan gemuruh yang seakan mengoyak jiwa dan raganya. Dia menunduk kemudian, membiarkan tangis perlahan menguasai kesadarannya. Diantara isakan tangis itu dia mengerang. Tubuhnya bergetar hebat menahan seluruh amarah yang seakan ingin tumpah ruah bersamaan.

"Lee Jeno."

Jaemin merengkuh tubuh Jeno dengan erat. Mengusap punggung tegap yang saat ini terkulai lemas itu dengan lembut. Jaemin mungkin kecewa pada keadaan yang membuat keluarganya hancur seperti sekarang. Tapi, dibanding dirinya, Jeno lebih terluka. Bagaimanapun anak itu pasti akan menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi.

"Andai gue gak penyakitan. Pasti keluarga kita masih utuh, kan?" Dia terisak, "Ayah pasti gak akan biarin mama pergi. Meskipun pada akhirnya kita harus hidup dalam kemiskinan, tapi keluarga kita pasti tetap sama. Ini semua salah gue, Na. Kenapa gue harus terlahir cacat kayak gini?"

Tangis Jeno meraung di pagi menuju siang itu. Setelah kepergian Dojin, keduanya memutuskan untuk naik kelantai atas. Menuju kamar Jaemin dan mencocokkan puluhan kertas surat itu.

"Suutt, lo gak boleh ngomong kayak gitu. Lo gak salah, Lee Jeno. Kita hanya gak tahu bagaimana cara berpikir orang dewasa. Mungkin apa yang ayah lakuin saat itu benar-benar yang terbaik menurutnya."

Dibalik dekapan Jaemin, Jeno semakin terisak hebat. Dadanya malah semakin terasa sesak seiring tangis yang ia tumpahkan.

"Jeno, sama seperti gue yang selalu ingin yang terbaik buat ayah. Mungkin, ini juga cara ayah memberikan kita yang terbaik yang dia bisa." Jaemin memberi sedikit jarak agar bisa leluasa melihat wajah sang kembaran yang memerah karena tangis. "Sama seperti lo yang sayang sama dia. Mungkin ini juga cara dia menyayangi lo, Jen. Dia mungkin gak bisa selalu ada buat lo, tapi keputusan yang dia buat bikin lo sehat seperti sekarang."

Jeno mengusap air matanya dengan kasar. "Tapi karena itu ayah sama mama harus pisah. Karena itu juga lo harus hidup menderita dan karena itu juga mama harus sakit kayak sekarang. Kenapa mereka gak biarin gue mati aja, sih? Udah penyakitan, ngerepotin doang kan anak kayak gue?"

Plak..

Satu tamparan mulus mendarat di pipi Jeno. Wajahnya yang sudah memerah akibat tangis, semakin merah oleh bekas tamparan itu. Rasa panas bahkan merangkak menjalari pipinya yang berdenyut.

"Lo orang yang selalu berpikir rasional, Jen. Gue gak nyangka lo bisa ngomong sepicik itu. Apa kalau misal gue yang ada diposisi itu, lo bakal ngomong hal yang sama? Lo bakal bilang sama ayah buat biarin gue mati, iya?"

Sentakan keras dari nada suara yang naik beberapa oktaf itu mampu menyeret kembali kesadaran seorang Lee Jeno. Pemuda yang satu jam lebih muda dari Jaemin itu lantas mengerang frustasi.

The Twins ~ Jaemin x JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang