bab 2

59 10 0
                                    

"Bukannya ini tempat yang tadi? Yang bener dong, Ver!" seru Arvin heran.

"Ini gue udah bener, dari tadi gue udah lurus aja," sahutnya berusaha tenang.

"Coba kita putar balik lagi!" pinta Eve makin cemas.

River pun menurutinya, dan benar, beberapa menit kemudian tetap saja kembali ke tempat yang sama. Seakan-akan mobil mereka hanya berputar di satu tempat.

Arvin mulai kesal, dan mengambil alih tempat River, lalu mulai mengemudi. Arvin menaikkan kecepatannya, dengan wajah kesal ia fokus ke jalanan di hadapannya.

Tiba-tiba, ia melihat gerombolan burung yang melintas cepat tepat di depan wajahnya. Sehingga membuat Arvin malah memutar kemudinya dan menabrak pohon bambu yang sama dengan beberapa waktu lalu.

Semua yang berada di dalam mobil pun memekik, karena kepala mereka terbentur dengan keras. Asap menguap keluar dari depan mobil. Namun, untungnya tidak ada yang terluka.

"Lo gimana, sih, nyetirnya, Vin!" teriak Helsa kesal.

"Lo gak liat tadi ada burung," sahut Arvin tak kalah geram.

"Burung paan si?" Helsa bingung.

"Yaudah, kayaknya kita turun aja di sini, deh." River bersuara. Sebab, melihat tempat yang sama itu berulanh kali.

"Gila, ini apa-apaan, sih. Dari tadi kok baliknya ke sini terus!" pekik Helsa.

"Udah gue bilang, emang ada yang gak beres dari tempat ini," sahut Eve.

"Terus lo mau nyalahin siapa? Orang GPSnya dah bener gitu." Arvin membela diri.

Di tengah-tengah perdebatan mereka, Ailee berjalan ke arah jalan setapak di sana. Matanya berkelana melihat keadaan sekitar. Berharap ia menemukan sesuatu yang dapat membantu.

"Gue kayaknya lihat ada gubuk, gak jauh dari sini. Gimana? Apa mau ke sana dulu? Mungkin saja ada penghuninya, dan bisa bantu kita," usulnya.

Teman-temannya pun diam dan melihat tempat yang ditunjuk Ailee. Terlihat bagaimana gubuk itu berada di ujung sana, dengan pepohonan rindang dan besar berada di sekitarnya.

"Yasudah, gak ada cara lain. Lagian kayaknya mobilnya udah kek gini," terang River melihat kerusakan dari mobilnya yang lumayan parah.

"Sorry, bro!" seru Arvin merasa bersalah, dengan menepuk bahu River pelan.

"Gak papa. Yang penting kita gak ada yang terluka," sahutnya tenang.

Semuanya mengangguk. Bersiap-siap untuk membawa bawaan mereka masing-masing.

"Sudah?" Pertanyaan River dibalas dengan anggukan oleh teman-temannya. Lalu mereka melangkah masuk ke jalan setapak itu dengan waspada dan waswas.

Terlihat bagaimana jalanan ini seperti tidak pernah ada yang melewatinya. Tak terurus, bahkan ranting-ranting pohon menghalangi jalan.

Helsa yang berjalan di paling belakang itu pun mulai merasa tidak nyaman, matanya terus menyusuri sekeliling. Sarang laba-laba di mana-mana. Ketika ia merasakan ada pergerakan di sebelah kanannya. Tampak ada seseorang yang memerhatikan dari kejauhan. Ia pun memerhatikannya dengan saksama. Akan tetapi, tiba-tiba ada ular yang jatuh dari atas tepat di depan matanya. Ia pun berteriak. Hal itu membuat yang lain ikut panik dan berlarian karena menyaksikan ular besar di sana. Termasuk Ailee yang reflek memegang tangan River. Membuatnya gugup sesaat dan melepaskannya karena salah tingkah.

Ailee pun menemui Helsa yang berada di belakang, agar menenangkannya.

"Gue mau pulang!" jerit Helsa.

"Iya, bentar lagi, udah sampai, kok. Tuh di sana gubuknya," tunjuk Ailee.

Mereka berlima pun akhirnya sudah sampai di gubuk yang dilihatnya itu. River yang memimpin mulai mendekati gubuk itu dengan hati-hati.

"Permisi ...." ucap River sopan. Akan tetapi tidak ada sahutan.

River makin dekat ke pintu di sana, lalu mengucapkan kata permisi lagi untuk kedua kalinya. Namun, hasilnya tetap sama, tidak ada respon.

Arvin yang mulai mengintip dari jendela itu pun, melihat sesuatu yang aneh di dalamnya. Akan tetapi, ketika ia mulai menyingkap tirai penutupnya dengan lebar, tiba-tiba ada tangan yang menyentuhnya dari belakang, membuat Arvin terkejut.

"Kalian bagaimana bisa ada di sini?" Seorang gadis berparas manis dengan rambut yang diikat jadi satu itu kebingungan karena melihat mereka.

River menyahut, "Ah, apa kamu tinggal di sini?"

"Bukan, itu tempat terlarang di sini. Kalian kenapa bisa masuk ke desa ini?" tanyanya lagi.

"Aah ... kami tadi mau cari desa Sempena, apa di sini tempatnya?" tanya Arvin.

"Di sini bukan desa Sempena, tapi desa Hirap, Kak," jelasnya dengan sopan.

"Oh, desa Sempena di mana, ya?" Ailee ikut bertanya.

"Saya tidak tahu, Kak." Ia menggeleng membuat Ailee dan yang lain bingung.

Eve tampak berpikir sejenak. Lalu ia mulai bertanya, "Kalo keluar dari desa ini,  gimana caranya, ya?"

"Siapa pun yang masuk ke desa ini, tidak akan bisa keluar, Kak," jawabnya mantap.

"Maksudnya?" Semunya menyahut dengan wajah kebingungan.

"Makanya itu, saya tanya. Kakak semua kok bisa masuk ke sini? Sudah bertahun-tahun gak ada yang masuk ke sini," terang gadis yang membawa sejumlah sayuran di genggamannya.

"Jadi kita terjebak di sini selamanya gitu?" Eve mulai frustasi. Hal itu dijawab dengan anggukan saja oleh gadis polos di hadapannya itu.

"Ah, lelucon apa ini." Arvin menyahut.

"Kalau ada jalan keluar, saya pasti tidak akan bertemu kalian semua di sini, dan tidak akan hidup di tempat seperti ini, Kak."

Mereka pun, makin frustasi akan pernyataan  gadis itu.

"Lalu, di mana orang yang lain? Kamu tidak mungkin ada di sini sendirian 'kan?"

"Orang-orang hanya ada di malam hari, Kak."

"Maksud kamu?"

"Semua orang tertidur kalau siang. Dan terbangun ketika malam."

"Maksud kamu, ini desa vampir atau zombie gitu? Yang benar saja," kekeh Arvin tidak percaya.

"Jika kalian tidak memercayai saya, tidak apa-apa. Tetapi yang saya katakan benar adanya." Gadis itu pun pergi dengan membawa barang bawaannya. Meninggalkan sekelompok remaja yang baru ia temui itu.

Tiba-tiba River menghentikan langkah gadis itu dengan pertanyaannya, "Tunggu, jika benar apa yang kamu katakan. Lalu kenapa sekarang kamu berkeliaran?"

Gadis itu berbalik dan berkata, "Bahkan jika saya katakan, kalian tidak akan percaya." Lalu ia berjalan lagi.

"Setidaknya kamu buat kami percaya!" teriak River tegas.

Gadis itu menyahut, "Untuk apa susah payah meyakinkan. Lebih baik kalian  membuktikannya sendiri."

Mereka terdiam, lalu gadis itu berbalik dan berkata lagi, "Dan satu, lebih baik kalian jauhi gubuk itu!"




Desa Terkutuk|| SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang