bab 9

36 7 0
                                    

Langit di desa itu tampak indah. Angin bertiup dengan normal, bulan yang berbentuk bulat sempurna. Dan jangan lupa, tentang bintang-bintang gemerlapan menghiasi langit malam di atas sana.

Gadis berkulit eksotis itu tengah menghirup napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan, ditemani beberapa kunang-kunang yang melintasi ke arahnya.

Bayangan kejadian beberapa waktu yang lalu itu kembali mengusiknya.

Tiba-tiba ... bayangan tersebut berakhir ketika ia merasa ada seseorang di belakangnya.

Gadis bermata elang itu membeku ....

Ia menoleh perlahan ke  belakang.

Alangkah terkejutnya ia, ketika melihat kepala hewan di sana, dengan dua tanduk di atas kepalanya. Lalu, disertai dengan raungan ganas yang terdengar menakutkan.

Gadis itu, membelalak, sambil berteriak, "Aaaarrrgghhh!!!"

Saat itu juga, terdengar tawa seseorang dari balik topeng tersebut. Dan ternyata Arvin lah yang muncul dengan wajah jahilnya.

"Ck, gak lucu, tahu!" bentak Eve lalu berbalik membelakanginya dengan memasang wajah kesal.

"Iya, maaf. Lo ngapain di sini?" tanya Arvin, sambil menaruh kembali kepala rusa jantan itu ke dinding di sebelahnya.

Gadis yang memiliki nama lengkap Eve Brielle itu pun menoleh malas menanggapi pertanyaan Arvin, yang datang merusak ketenangannya.

"Lo jangan bilang mau lompat 'kan?" tanya Arvin lagi, ketika tak dapat jawaban dari gadis di hadapannya itu. Ia malah menarik tangan Eve dari sana, sehingga membuat Eve melepaskan tangannya dari cengkeraman Arvin kasar.

"Lo kira, gue selemah itu, huh?"

Arvin hanya cengengesan mendengar perkataan Eve.

"Lo ngapain, sih, ikutin gue?" tanya Eve malas.

"Emmm ... lo ada yang disembunyiin 'kan dari gue?"

"Sembunyiin apa?"

"Ya ... apapun itu, termasuk tentang kejadian tadi."

"Udahlah, Vin. Gue gak mau ngebahas itu lagi."

"Oke, kalo itu bikin lo gak nyaman. Gue bakal berhenti nanyain itu. Tapi, kalo emang ada sesuatu yang lo sembunyiin sendiri. Gue gak bakal segan-segan maksa, lo. You know! Gue orang pertama yang akan pasang badan kalo lo ngalamin kejadian kayak tadi. Gue siap 24 jam untuk menampung segala beban, lo."

"Huh." Eve mendengus kecil dengan sedikit menahan tawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sebab rasanya lucu saja bila Arvin yang mengatakannya.

"Eh, itu senyum apaan? Lo ngejek gue? Atau baper sama omongan gue?"

Senyuman Eve pun luntur seketika ketika mendengar kata-kata menyebalkan lagi dari mulut lelaki yang memiliki senyuman terjahil di hadapannya itu.

"Mending gue baper sama zombie di luar sana, dariapada harus baper sama orang kayak, lo!"

"Hei, masak gue seganteng dan berdamage gini dibandingin sama zombie?"

"Ya ... sebenernya emang gak bisa dibandingin, sih. Karena gak ada zombie yang tingkahnya narsis kayak lo."

"Oke, lo, emang pasangan yang serasi sama zombie. Sama-sama pemakan hati,"

"Emang zombie makan hati?"

"Hati ...." Arvin tampak berpikir sejenak, lalu melanjutkan perkataannya lagi, "atau ... otak, mana gue tau! Tanya aja sana sama pacar lo itu."

Eve mentoel kepala Arvin kasar mendengar ocehannya yang sudah tidak masuk akal. Sehingga membuat Arvin hendak membalasnya, tetapi secara tiba-tiba ada kawanan kelelawar yang terbang ke arahnya. Membuat lelaki pemilik nama belakang Dealova itu, bereaksi dengan mengusir kawanan kelelawar dari atas kepalanya.

Sementara berbeda dengan Eve, ia malah bingung memerhatikan tingkah Arvin yang mendadak aneh.

"Hei! Lo kok diem aja, sih? Bantuin!" tanya Arvin menyadari bahwa Eve hanya melihatnya bersusah payah mengusir kelelawar dari hadapannya.

"Bantuin apa?" tanya Eve bingung.

"Lo gak liat?" tanya Arvin sambil sibuk mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengusir kelelawar-kelelawar itu.

Eve mencari sesuatu di atas kepala Arvin, tetapi ia tidak melihat apapun di sana. Sehingga ia menyatukan alis, saking herannya dengan tingkah teman laki-lakinya itu.

Arvin mulai frustasi, ia pun menarik tangan Eve dengan tidak sabaran, dan masuk ke dalam ruangan yang berada di belakang mereka.

Lalu, cepat-cepat menutup pintunya dengan keras. Sehingga membuat kawanan burung itu tidak bisa mengikutinya lagi.

Akan tetapi, berbeda dengan Eve yang tidak menyadari situasi yang ia terima dari Arvin pun kesal sendiri.

"Lo apaan, si?" tanya Eve, makin bingung.

Arvin mengatur napasnya yang memburu itu perlahan dengan duduk di balik pintu yang tertutup rapat. Lalu, ia gegas menjawab pertanyaan Eve, "Lo gak liat?"

"Liat apaan, sih?"

"Kelelawar-kelelawar itu!" serunya dengan menunjuk ke arah luar.

"Hah?" Eve makin bingung, lalu ia melanjutkan perkataannya lagi, "oke! Sekarang satu temen gue lagi udah ada yang ngehalu."

"Gue gak halu, Ve!" Arvin berusa meyakinkan gadis di hadapannya itu. Sementara Eve sendiri malah terlihat tidak peduli, dan memilih untuk memegang gagang pintu di sana, hendak menggerakkannya. Akan tetapi, pintu tersebut tidak mau terbuka.

"Lo kira, gue tadi lagi ngedance gitu, huh?" Arvin berusaha meyakinkan Eve lagi.

Bukannya menjawab pertanyaan Arvin, Eve malah berkata, "Pintunya gak bisa dibuka!" pekiknya sambil berusaha untuk menggerak-gerakkan gagang pintu di sana. Sehingga membuat Arvin yang sedari tadi mengoceh untuk membela diri itu pun mulai menyadarinya, dan ikut panik.

"Lo, coba minggir, Ve!"

Eve pun menurut, Arvin gegas mengambil alih. Akan tetapi, hasilnya tetap sama. Sehingga membuat Arvin menendang pintu di hadapannya itu dengan keras dan menggedor-gedornya, berharap ada yang mendengar.

"Lo nutupnya kekencengan, sih!" teriak Eve makin dibuat kesal oleh Arvin.

"Ya ... maaf, gue mana tahu kalo pintunya rusak," belanya.

"Gue pokoknya gak mau terjebak di sini sama orang halu kayak, lo, ya!"

"Gue bilang, gue gak halu. Itu beneran!"

"Ya, ya, ya ... gue hargai usaha, lo, itu. Tapi gue harus keluar dari sini bagaimanapun caranya." Eve mengatakannya sambil mencari-cari benda yang bisa membantunya keluar dari sana.

Cahaya yang remang-remang di ruangan itu menghalangi pandangannya. Beberapa lukisan berjejer di sekitarnya.  Ternyata, ruangan ini adalah studio melukis. Barang-barang seperti kuas, kanvas dan lain-lain begitu tertata rapi di sana. Eve menemukan keunikan dari setiap lukisan tersebut, yaitu semuanya tentang alam, yang sangat indah dipandang.

Eve begitu terpesona dengan lukisan-lukisan di hadapannya. Begitu hidup dan memiliki suasana berbeda di setiap detailnya. Akan tetapi, pandangannya berhenti ke sebuah lukisan yang tampak ada bekas sobekan di ujungnya. Ia mengambil lukisan tersebut dan terlihat seorang wanita paruh baya, memegang pundak gadis kecil yang tampak tak asing baginya.

Eve pun berpikir keras, memerhatikan wajah gadis kecil bergaun putih di sana dengan saksama. Akan tetapi, hal itu terhenti ketika Arvin memanggil namanya. Ia pun reflek menoleh dan terlihat bagaimana wajah jahil Arvin terpampang dengan memegang beberapa kunci di tangannya.

Desa Terkutuk|| SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang