bab 16

22 5 0
                                    

"Cepetan! nyusahin banget, lo!" perintahnya, sambil melihat sekitar.

"Sakit tahu!" pekiknya sambil meringis kesakitan memegang kakinya yang berdenyut-denyut di sana.

Sambil bersungut-sungut, Arvin menyusul Eve yang benar-benar meninggalkannya. Ia terkejut, ketika melihat seluruh lilin di setiap dinding lorong itu hidup kembali. Kendati merasa aneh, ia terus melanjutkan perjalanannya untuk menyusul Eve yang sudah berbelok ke lorong sebelah kiri.

Arvin bergidik ngeri ketika ia melihat  tumpukan tengkorak manusia yang menjadi hiasan di dinding. Walaupun tampak usang dan hampir tertutup tanah di sana, tak mengurangi keseramannya.

"Ev, lo gak takut?" Arvin terheran-heran sendiri melihat Eve yang begitu tenang memerhatikan pemandangan sekitar.

"Ssssstt!" Eve menyentuhkan jari telunjuknya ke mulut Arvin, yang terus saja mengoceh. Sedangkan ia saat ini tengah fokus untuk mengintip dari balik pintu di hadapannya. Ia memerhatikan Anna yang tengah berbicara dengan seseorang, yang ia tidak tahu siapa. Sebab pandangannya tertutup oleh punggung Anna yang memvelakanginya.

"Eyang tidak akan bisa keluar dari sini!" Samar-samar Eve mendengar ucapan Anna kepada seseorang itu, dan dapat dipastikan bahwa seseorang yang bersamanya adalah neneknya. Suara Anna, terdengar seperti menekan dan mengancam. Membuat Eve tertegun dan membalikkan badannya. Sebab, percakapan Anna berakhir sudah di sana. Eve pun bergegas untuk pergi. Kebetulan, di tempat itu ada lorong lain lagi. Sehingga membuat Eve dan Arvin dapat bersembunyi di sana tanpa diketahui oleh Anna.

Eve membekap mulutnya sendiri agar tidak mengeluarkan suara ketika sebuah langkah kaki mendekat ke arahnya. Ruangan gelap itu menyamarkan keberadaannya, tetapi kali ini, ia juga harus menahan seekor laba-laba yang lumayan besar merayap ke wajahnya. Ia tidak bisa apa-apa selain menahan diri dan menutup matanya.

Samar-samar, Arvin mendengar isak tangis yang tertahan oleh Eve. Dengan sigap ia menyalakan cahaya dari ponselnya, dan tampaklah seekor laba-laba tengah merayap di wajah Eve yang ketakutan itu. Gegas ia mengambilnya dari sana, lalu betkata, "Udah gak ada, buka aja mata lo," ucapnya pelan, lalu membuang laba-laba itu ke bawah.

Eve mendengar ucapan Arvin pun, ragu-ragu untuk membuka matanya. Sebab, ia memang phobia dengan laba-laba. Apalagi, saat ini ia harus benar-benar menahan diri agar tidak ketahuan oleh Anna.

Arvin kembali meyakinkannya lagi dan membuat Eve memberanikan diri untuk membukanya. Tampak matanya yang sedikit sembab menatap ke wajah Arvin yang begitu intim memerhatikannya.

Terlihat bagaimana pemilik mata sayu itu menatapnya dengan penuh perhatian. Membuat Eve kian membeku. Sebab, perlakuan ini sangat aneh untuknya. Arvin yang menayadari bahwa Eve merasa tidak nyaman pun ia gegas memalingkan wajahnya dan terbatuk-batuk yang dibuat-buat olehnya. Sedangkan Eve juga melakukan hal sama, agar memghilangkan kecanggungan ini.

"Yaudah, ayo keluar!" ajak Eve ke arah  arah yang salah. Sehingga membuat Arvin terkekeh sendiri melihat tingkah tak biasa dari seorang Eve.

Eve yang menyadari itu, membuatnya berbalik arah lalu mentoel kepala Arvin kasar, "Ngapain ketawa?"

"Aw! Ini nih mungkin yang dimaksud pepatah, air susu dibayar denga air tuba," ujarnya manggut-manggut kesal.

"Emang lo ngasih susu merek apa? Beruang apa bendera? Nanti gue ganti, deh," ejeknya, yang membuat Arvin geleng-geleng kepala.

Arvin tiba-tiba mendengar suara minta tolong dari balik pintu yang berada tak jauh di belakangnya. Ia berhenti seketika itu juga, begitupula Eve yang menyadarinya juga ikut berhenti. Tanpa ragu-ragu, mereka berdua mendekati pintu tersebut dan Eve sendiri hendak membuka pintunya. Sebab, ia tahu betul bahwa nenek tua di dalam sana tengah meminta bantuan dilihat bagaimana situasi sebelumnya ketika ia menguping percakapan mereka, antara si nenek tua dan Anna.

Arvin yang menyaksikan itu menghentikan tangan Eve yang tergerak untuk mendorong pintu tanpa gagang di hadapannya. Ia sedikit menggelengkan kepalanya untuk mengingatkan Eve agar sebaiknya tidak ikut campur. Akan tetapi, Eve yang memang keras kepala dan sangat penasaran dari sebelumnya itu pun, acuh tak acuh dengan permintaan Arvin.

Arvin sendiri tahu, bahwa ia tidak akan didengar, tetapi apa salahnya mengingatkan.

Eve perlahan sudah dapat melihat penampakan ruangan itu, yang hanya  sepetak ruangan saja, dengan adanya satu lemari kayu berwarna hitam tua dan ranjang kayu yang hanya beralaskan tikar terbuat dari rotan.

Tampak seorang nenek tua yang tertidur di sana. Tubuhnya kering kerontang dengan kedua kaki yang dibelenggu menggunakan rantai tua.

Eve dan Arvin syok melihat hal itu. Kondisi nenek tua di hadapannya yang mengenakan kebaya merah menyala serta bagian tubuh bawahnya hanya ditutupi oleh kain jarit berwarna cokelat tua. Wajahnya yang kriput penuh dengan lipatan kulit di sana itu kian terlihat sangat menyedihkan. Ditambah dengan rambut ikal yang sudah memutih dibiarkan tergerai begitu saja.

"Apa kalian tidak apa-apa? Mendekatlah, Eyang tidak akan menyakiti kalian," lirih nenek tua itu mengayun-ngayunkan tangan kanannya, agar membuat Eve dan Arvin mendekat.

Tanpa ragu-ragu, Eve mendekatinya. Arvin yang melihat itu tampak was-was, karena memang Arvin bukanlah orang yang mudah percaya dengan hal apapun yang baru ia lihat.

"Eyang ini, eyangnya Anna?" tanya Eve penasaran, dengan tatapan yang tidak tega. Melihat bagaimana kondisi nenek tua di hadapanya itu. Ditambah lagi dengan ruangan yang sedingin ini, ditemani tetesan air dari langit-langit sana.

Eyang menggeleng, lalu mendekat ke telinga Eve dan berkata sambil terbatuk-batuk, "Jangan percaya dengan apa yang kamu lihat. Eyang akan ceritakan semuanya, tapi sebelum itu, bebaskan Eyang dulu dari sini."


Desa Terkutuk|| SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang